Bootstrap

Etika Kerja (Tinjauan Umum)

Artikel / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Ethics at work

Catatan: Artikel "Tinjauan Umum" merupakan eksplorasi lengkap tentang topik-topik utama dalam teologi kerja. Jika Anda tertarik pada aspek tertentu topik itu, Daftar Isi bisa membantu Anda menemukannya dengan cepat.

Pendahuluan

Etika adalah tentang mengetahui dan melakukan apa yang baik atau benar, dan etika kerja adalah tentang mengetahui dan melakukan apa yang baik atau benar di dunia kerja. Bagi orang Kristen, ini berarti menggunakan Alkitab dan sumber-sumber iman Kristen lain dalam membantu memutuskan dan melakukan apa yang etis atau bermoral di dunia kerja. (Dalam artikel ini, "etika" dan "moralitas" digunakan secara bergantian)

Ada tiga pendekatan umum etika yang sudah digunakan secara luas dalam pandangan moral Kristen maupun di dunia pada umumnya. Pendekatan-pendekatan itu adalah 3C

  1. Command/ Perintah — Bagaimana cara bertindak yang benar menurut aturan?

  2. Consequences/ Konsekuensi — Tindakan apa yang paling memungkinkan hasil terbaik?

  3. Character/ Karakter — Ingin menjadi orang bermoral seperti apakah saya? [1]

Yang membedakan etika Kristen bukan karena pendekatan yang digunakannya berbeda, tetapi karena membawa nilai-nilai alkitabiah dalam setiap pendekatannya. Ada perintah-perintah alkitabiah (yang juga disebut prinsip-prinsip), hasil-hasil yang diinginkan secara alkitabiah, dan ciri-ciri karakter alkitabiah (yang juga disebut kebajikan) yang perlu dibawa orang Kristen dalam keputusan, tindakan, dan perkembangan moral mereka.

Dalam mengembangkan etika Kristen, kita akan memikirkan bantuan apa yang disediakan dan diberikan Alkitab untuk setiap pendekatan ini. Kemudian kita akan meneliti apakah kita perlu menggabungkan ketiga pendekatan ini dengan cara tertentu untuk memberi kita pendekatan yang lebih seimbang dan terpadu. Akhirnya, kita akan memikirkan bagaimana hidup dengan realita bahwa dunia ini sudah jatuh atau tidak sempurna, dan bahwa hampir tidak pernah ada solusi yang sempurna.

Kita akan membahas pendekatan etika Kristen yang diterapkan di dunia kerja, tetapi kita tidak akan mencoba memberi jawaban atas isu-isu utama dalam etika kerja. Sebaliknya, kita akan mengembangkan prinsip-prinsip dan metode-metode etika Kristen yang dapat digunakan pembaca untuk menerapkan prinsip-prinsip itu pada berbagai masalah dan kasus.

Di sini kami memberi Anda pilihan dua presentasi yang berbeda dalam menyampaikan pendekatan-pendekatan ini. Ada pilihan untuk membaca narasi yang berupa studi kasus kehidupan nyata atau ada juga pilihan presentasi yang lebih sistematis tentang beberapa pendekatan yang berbeda. Pendekatan sistematis lebih singkat dan lebih abstrak. Pendekatan naratif lebih panjang dan menerapkan pendekatan-pendekatan ini pada situasi kehidupan nyata yang dihadapi penjual mobil bekas bernama Wayne Kirkland.

Klik untuk melanjutkan membaca

Presentasi Etika Sistematis

Klik untuk melanjutkan membaca

Presentasi Etika Naratif (Kasus)

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, David. Pastoral Ethics. Oxford: Lynx, 1994.

Atkinson, David, dan David H. Field. New Dictionary of Christian Ethics and Pastoral Theology. Leicester, England, dan Downers Grove, IL: IVP, 1995.

Boulton, Wayne G. serta Thomas D. Kennedy dan Allen Verhey, penyunting. From Christ to the World: Introductory Readings in Christian Ethics. Grand Rapids: Eerdmans, 1994.

Burkett, Larry. Business by the Book. Nashville: Thomas Nelson, 1990.

Chewning, Richard C., John W. Eby and Shirley J. Roels. Business Through the Eyes of Faith. London: Apollos, 1992.

Cook, David. Moral Choices: A Way of Exploring Christian Ethics. London: SPCK, 2000.

Farley, Benjamin W. In Praise of Virtue: An Exploration of Biblical Virtues in a Christian Context. Grand Rapids: Eerdmans, 1995.

Gardner, E. Clinton. Biblical Faith and Social Ethics. New York: Harper and Rowe, 1960.

Gill, Robin. Churchgoing and Christian Ethics. Cambridge: Cambridge University Press, 1999.

Grenz, Stanley J. The Moral Quest. London: Apollos, 1997.

Hauerwas, Stanley. Vision and Virtue. Notre Dame: Fides/Claretian, 1974.

Hauerwas, Stanley. Character and the Christian Life: A Study in Theological Ethics. San Antonio: Trinity University Press, 1975.

Hauerwas, Stanley. A Community of Character: Toward a Constructive Christian Social Ethic. Indiana: University of Notre Dame, 1981.

Higginson, Richard. Called to Account. Guildford: Eagle, 1993.

Higginson, Richard. Questions of Business Life. UK: Spring Harvest, 2002.

Hill, Alexander. Just Business: Christian Ethics for the Marketplace. Downers Grove: IVP, 1997.

Hollinger, Dennis P. Choosing the Good: Christian Ethics in a Complex World. Grand Rapids: Baker, 2002.

Mackenzie, Alistair and Wayne Kirkland. Just Decisions. New Zealand: NavPress NZ, 2008.

Mackenzie, Alistair dan Wayne Kirkland. Where’s God on Monday? Christchurch, NZ: NavPress NZ, 2002.

MacIntyre, Alasdair. After Virtue: A Study in Moral Theology. Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984.

McLemore, Clinton W. Street Smart Ethics. Louisville/London: WJKP, 2003.

Maxwell, John C. There’s No Such Thing as “Business” Ethics. USA: Warner Books, 2003.

Murdock, Mike. The Businessman’s Topical Bible. Tulsa: Honor Books, 1992.

Murdock, Mike. The Businesswoman’s Topical Bible. Tulsa: Honor Books, 1994.

Nash, Laura. Believers in Business, Nashville: Thomas Nelson, 1994.

Rae, Scott B. and Kenman L. Wong. Beyond Integrity: A Judeo-Christian Approach to Business Ethics. Grand Rapids: Zondervan, 1996.

Rae, Scott B. Moral Choices: An Introduction To Ethics. Grand Rapids, MI: Zondervan, 1995.

Sherman, Doug and William Hendricks. Your Work Matters to God. Colorado Springs: NavPress, 1987.

Sherman, Doug dan William Hendricks. Keeping Your Ethical Edge Sharp. Colorado Springs: NavPress, 1990.

Stackhouse, Max L. “The Ten Commandments: Economic Implications” dalam On Moral Business, Max L. Stackhouse, Dennis P. McCann dan Shirley Roels, penyunting. Grand Rapids: Eerdmans, 1995.

Stassen, Glen H. dan David P. Gushee. Kingdom Ethics. Downers Grove: IVP, 2003.

Zigarelli, Michael. Management by Proverbs. Chicago: Moody Press, 1999.

    Presentasi Etika Sistematis

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Pendahuluan

    Pandangan Kristen tentang kerja agak unik/khas karena menekankan bahwa pekerjaan manusia pada akhirnya mendapatkan makna dan tujuannya dari karakter dan tujuan-tujuan Allah. Siapa Allah dan apa yang dilakukan-Nya itulah yang membentuk cara kita memandang dunia, tempat kerja dan pekerjaan kita di dunia, serta nilai-nilai yang kita pegang dalam bekerja. Dasar pemikirannya adalah menyadari bahwa Allah terus bekerja di dunia ini dan kita adalah para pekerja yang diciptakan menurut gambar- Nya dan diundang untuk bekerja sebagai mitra dalam pekerjaan Allah yang masih terus berlangsung. Kita bekerja untuk mendukung penggenapan tujuan-tujuan Allah melalui pekerjaan kita dan mencerminkan karakter Allah dalam cara kita bekerja. Pemahaman kita tentang realitas inilah yang membawa masuk perspektif-perspektif Kristen yang khas ini ke dalam pandangan kita tentang etika kerja. Namun, kita akan memulai dengan beberapa tinjauan etika yang lebih umum.

    Definisi

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Kata "etika" berasal dari kata Yunani ethos, yang memiliki dua arti dalam pemakaian umum bahasa Yunani: kebiasaan atau adat, dan aturan atau hukum. Penggunaan di Perjanjian Baru mencakup kedua dimensi ini. Contohnya, di Kisah Para Rasul 25:16 kata itu biasanya diterjemahkan menjadi “kebiasaan" ("bukanlah kebiasaan pada orang-orang Roma untuk menyerahkan seorang"), sedangkan di 1 Korintus 15:33 diterjemahkan sebagai "moral" atau "karakter" ("Pergaulan yang buruk merusakkan moral yang baik" – diterjemahkan dari Alkitab bahasa Inggris versi NIV).

    Kedua kata ini — etika dan moral — sering digunakan secara bergantian. Anda bisa berkata bahwa etika adalah studi atau ilmu tentang prinsip-prinsip moral yang mengatur atau memengaruhi perilaku kita. Dennis Hollinger berkata bahwa etika adalah “…studi sistematis tentang norma-norma yang benar dan salah, adil dan tidak adil, baik dan jahat, dengan tujuan menerapkan norma-norma ini dalam realitas hidup kita.”[1]

    Kehidupan Kristen yang etis berkaitan dengan “…mengatur langkah-langkah kita dalam setiap situasi kehidupan berdasarkan komitmen-komitmen iman mendasar yang kita anut sebagai orang Kristen.”[2] Atau, menurut definisi lain: “Etika Kristen adalah upaya memberikan kerangka dan metode dalam membuat keputusan-keputusan yang akan menghormati Allah sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci, mengikuti teladan Yesus dan menanggapi Roh Kudus, untuk mencapai hasil yang mendukung tujuan-tujuan Allah di dunia.”[3]

    Berbagai Pendekatan Etika

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    TINJAUAN UMUM

    Kita perlu menempatkan pendekatan etika Kristen kita pada kerangka pemahaman berbagai pendekatan etika yang berbeda dan penalaran moral secara umum.[1] Ada tiga pendekatan berbeda yang paling sering diidentifikasi. Ketiganya dapat digambarkan secara singkat sebagai pendekatan perintah, konsekuensi, dan karakter.[2]

    Pendekatan Perintah

    Pendekatan perintah bertanya, "Apakah tindakan ini sendiri pada hakikatnya benar atau salah, menurut hukum/aturan?" Pendekatan ini sering disebut pendekatan deontologi (dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban atau aturan [3]). Pendekatan ini didasarkan pada proposisi bahwa tindakan-tindakan pada dasarnya benar atau salah, sebagaimana ditentukan oleh seperangkat aturan atau kewajiban. Perangkat kewajiban/aturan ini bisa diberikan oleh perintah ilahi, hukum alam, logika rasional, atau sumber lain. Dalam etika Kristen, kita tertarik pada perintah-perintah yang diberikan Allah atau yang disimpulkan secara logis dari penyataan-diri Allah dalam Alkitab.

    Pendekatan Konsekuensi

    Pendekatan konsekuensi bertanya, "Apakah tindakan ini akan mendatangkan hasil yang baik atau buruk?" Pendekatan ini sering disebut pendekatan teleologi (dari kata Yunani telos yang berarti akhir [4]) karena pendekatan ini berkata bahwa hasil akhir menentukan tindakan apa yang benar secara moral. Tindakan paling bermoral dapat ditentukan oleh:

    • Apa yang akan menghasilkan kebaikan terbesar? Salah satu contoh pendekatan teleologis yang terkenal adalah Utilitarianisme,[5] yang mendefinisikan kebaikan terbesar sebagai apa saja yang akan mendatangkan kebahagiaan terbesar bagi sebagian terbesar manusia.

    • Apa yang paling mendukung kepentingan pribadi seseorang? Sebagai contoh, sistem yang dikenal sebagai Egoisme Etis [6] berasumsi bahwa cara yang paling memungkinkan untuk mencapai kepentingan terbaik semua orang adalah dengan setiap orang mengejar kepentingan terbaiknya sendiri, dalam batas-batas tertentu.

    • Apa yang akan mendatangkan hasil akhir yang paling sesuai dengan maksud Allah atas ciptaan-Nya? Pendekatan ini dapat berfokus pada tujuan yang lebih rendah, seperti mencapai kualitas hidup yang lebih baik bagi orang cacat, maupun tujuan tertinggi/utama, seperti memuliakan Allah dan menikmati-Nya selamanya. Dalam hal situasi yang rumit, pendekatan ini berusaha memperhitungkan tindakan-tindakan mana yang akan memaksimalkan keseimbangan kebaikan atas kejahatan.

    Karena kebahagiaan maupun kepentingan pribadi bukanlah hasil tertinggi yang Allah inginkan bagi ciptaan-Nya, maka Utilitarianisme maupun Egoisme Etis biasanya tidak dianggap sebagai bentuk etika Kristen. Namun, ini tidak berarti konsekuensi-konsekuensi tidak penting secara etis bagi Allah, sama seperti fakta bahwa adanya sistem-sistem aturan yang tidak akitabiah tidak berarti perintah-perintah yang etis tidak penting bagi Allah.

    Pendekatan Karakter

    Pendekatan ini bertanya, “Apakah pelaku orang baik dengan motif-motif yang baik?” Dalam pendekatan ini, tindakan paling bermoral ditentukan oleh pertanyaan-pertanyaan tentang karakter, motif, dan kesadaran bahwa individu-individu tidak bertindak sendiri karena mereka juga bagian dari komunitas-komunitas yang membentuk karakter, sikap, dan tindakan mereka. Pendekatan ini sering disebut etika kebajikan.[7] Sejak permulaan era Kristen, kebajikan telah diakui sebagai unsur esensial dalam etika Kristen. Namun, sejak zaman Reformasi sampai akhir abad ke-20, etika kebajikan — seperti halnya etika konsekuensi — tertutupi oleh etika perintah di banyak pemikiran etika Protestan.

    Lalu bagaimana ketiga pendekatan yang berbeda ini diterapkan pada etika Kristen?

    Penerapan Pendekatan Perintah

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Orang Kristen dari sebagian besar tradisi gereja mengakui bahwa Alkitab sangat berperan penting dalam membentuk pemahaman kita tentang perintah-perintah dan prinsip-prinsip itu.

    Apa Aturan Allah? Adakah Perintah untuk Setiap Situasi?
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Orang Kristen dari sebagian besar tradisi gereja mengakui bahwa Alkitab sangat berperan penting dalam membentuk pemahaman kita tentang perintah-perintah dan prinsip-prinsip itu. Dan tidak sulit untuk menemukan ayat-ayat Alkitab yang berbicara tentang kerja.

    • Di dua pasal pertama Alkitab, manusia laki-laki dan perempuan diberi pekerjaan yang harus dilakukan, baik untuk merawat maupun mengolah sumber daya alam yang diberikan Allah (Kejadian 1:26-29; Kejadian 2:15; Kejadian 2:18-20).

    • Allah mencontohkan pola bekerja dan beristirahat tujuh hari (enam hari bekerja, satu hari beristirahat) yang harus ditiru oleh umat Allah (Kejadian 2:2; Keluaran 20:9-11; Markus 2:27). Ada juga pola bekerja dan beristirahat harian (Mazmur 104:19-23).

    • Mencari nafkah dengan bekerja jujur/sungguh-sungguh dianjurkan (Mazmur 128:2; 1 Tesalonika 2:9; 2 Tesalonika 3:7-10).

    • Kitab Amsal berisi banyak nasihat untuk bekerja keras dan peringatan terhadap kemalasan (contohnya Amsal 6:6).

    • Pekerjaan manual (dengan tangan) tak boleh dipandang rendah. Raja pun bekerja dengan tangannya (1 Samuel 11:5). Yesus melakukan pekerjaan keterampilan sebagai tukang kayu (Markus 6:3).

    • Para nabi mengecam orang kaya yang malas (contohnya Amos 6:3-6).

    • Seperti nabi-nabi sebelum Dia (lihat Yesaya 5:7-8; Mikha 3:1-3; Amos 5:21-24), Yesus mencela orang-orang yang mengaku beriman tetapi berlaku tidak adil (Matius 23:23).

    • Rasul Paulus menafkahi dirinya sendiri dengan menjadi pembuat tenda untuk menjaga kemandirian dan harga dirinya, serta memberi teladan ketekunan dan kemandirian kepada orang-orang yang menjadi percaya melalui pemberitaan Injilnya. Paulus mendorong mereka untuk berbagi kepada orang lain yang membutuhkan (Efesus 4:28). Ia memandang bekerja jujur/sungguh-sungguh sebagai cara menghormati Injil (1 Tesalonikna 4:11). Ia menegur orang-orang antusias yang ingin meninggalkan pekerjaan mereka sehari-hari untuk melakukan yang mereka anggap sebagai pekerjaan Injil yang lebih mendesak, namun akhirnya mereka hanya hidup dengan bergantung pada orang lain (2 Tesalonika 3:10 dst.).

    • Bekerja harus dipandang sebagai tindakan ibadah/penyembahan (1 Korintus 10:31; Kolose 3:17, 23).

    Alkitab juga menunjukkan kepedulian terhadap masalah-masalah kerja.

    • Kita bekerja bukan hanya untuk menyenangkan atasan kita di dunia. Kita bekerja untuk Tuhan. (Kolose 3:23; Efesus 6:5-8). Bekerja harus dengan sepenuh hati dan dijalani dengan baik (PengKotbah 9:10; Kolose 3:22-24).

    • Allah mau manusia mendapat upah yang layak atas pekerjaan yang dilakukan dan menikmati makanan, tempat tinggal dan pakaian sebagai bagian dari hasil kerja itu (Lukas 10:7; 2 Tesalonika 3:10; Mazmur 128:1-2).

    • Para majikan harus memperlakukan pekerjanya dengan adil dan pantas, karena mereka sendiri juga memiliki majikan yang akan meminta pertanggungjawaban mereka (Kolose 4:1).

    • Mereka harus tahu bahwa “pekerja patut mendapat upahnya” (Lukas 10:7; 1 Timotius 5:18).

    • Para pekerja diingatkan akan tanggung jawabnya terhadap majikan mereka (1 Timotius 6:1; Titus 2:9).

    Di samping perintah-perintah ini, ada banyak ayat Alkitab lain yang berbicara tentang masalah-masalah relasi dan integritas di tempat kerja. The Businessman’s Topical Bible (Alkitab dengan topik-topik untuk Pengusaha) [1] (dan versi pelengkapnya untuk Wanita Pengusaha [2]) mengidentifikasi 100 masalah dunia kerja yang umum dan kemudian memakai 1550 ayat Alkitab untuk menunjukkan jawabannya. Topik-topik itu meliputi apa yang harus dilakukan ketika pelanggan tidak puas, ketika Anda kehilangan karyawan penting, ketika Anda merasa dikhianati, ketika Anda merasa tergoda untuk berbuat curang, dan ketika karyawan Anda membutuhkan motivasi.

    Meskipun demikian, upaya untuk merumuskan buku aturan yang lengkap berdasarkan ayat-ayat Kitab Suci yang akan berbicara tentang setiap masalah etis yang mungkin terjadi tampaknya merupakan usaha yang mustahil. Tak ada kumpulan perintah yang bisa cukup luas untuk mencakup setiap masalah yang muncul. Dan situasi-situasi di tempat kerja saat ini banyak yang tidak memiliki preseden di zaman Alkitab. Apakah etis memberikan opsi-opsi untuk membeli saham berdasarkan kinerja? Apakah etis mengiklankan produk untuk menarik orang supaya membeli lebih banyak? Apakah etis memiliki preferensi-preferensi dalam perekrutan terhadap kelompok-kelompok etnis yang kurang terwakili? Apakah etis membeli perusahaan pesaing? Tidak satu pun dari situasi-situasi ini yang tampaknya tercakup dalam perintah Alkitab.

    Lagipula, persoalan inilah yang dihadapi para ahli Taurat dan orang-orang Farisi ketika mereka berusaha membuat suatu aturan yang komprehensif, yang akhirnya membuat orang bukan hanya kewalahan dengan hal-hal sepele, tetapi juga kehilangan hal-hal penting. Namun, pada saat yang sama, tidaklah bijak jika kita mengabaikan fakta bahwa Kitab Suci memang memberi kejelasan tentang banyak hal: mencuri, berbohong, mengasihi orang lain termasuk musuh, berlaku adil, peduli terhadap orang miskin dan tertindas, dll. Sebagaimana dikatakan Chris Marshall, "Pengabaian terhadap otoritas normatif atas perintah, hukum, atau prinsip Kitab Suci juga bisa mengancam merusak karakter Kristen yang khas dari etika Kristen dan memberi terlalu banyak ruang untuk penilaian subyektif."[3] Alkitab tidak dapat diubah menjadi buku aturan komprehensif tentang etika kerja masa kini. Namun itu tidak berarti Alkitab tidak memiliki beberapa aturan yang penting dan masih relevan.

    Mencari Prinsip-Prinsip Panduan
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi banyaknya perintah Alkitab menjadi hanya beberapa perintah atau prinsip yang menyeluruh. Beberapa contohnya menekankan pentingnya Sepuluh Perintah Allah yang diberikan kepada Musa [1] atau Ucapan Bahagia yang disampaikan Yesus [2] atau kutipan-kutipan dari Kitab Amsal.[3]

    Buku Larry Burkett, Business by the Book, dengan subjudul yang tampaknya agak berlebihan, The Complete Guide of Biblical Principles for Business Men and Women (Panduan Lengkap Prinsip-prinsip Alkitab bagi Pria dan Wanita Pengusaha) [4] mengumumkan Enam Standar Minimum Bisnis Yang Alkitabiah:

    • Mencerminkan Kristus dalam perilaku-perilaku bisnis.

    • Bertanggung jawab.

    • Menyediakan produk berkualitas dengan harga yang wajar.

    • Menghormati para kreditor.

    • Memperlakukan karyawan dengan adil.

    • Memperlakukan klien dengan adil.

    Ada banyak upaya lain untuk melakukan hal serupa. Sebagian besar berisi banyak wawasan yang berguna, tetapi seringkali juga berakhir dengan menyajikan skema yang dibuat-buat daripada menyatakan pandangan Alkitab mendasar yang benar-benar membantu memfokuskan perhatian kita pada inti permasalahan.

    Bertolak dari beberapa prinsip Alkitab yang lebih mendasar, Business Through the Eyes of Faith [5] menganggap perintah untuk mengasihi sesama sebagai persoalan etis utama. Hal itu lalu dikembangkan dengan memakai Mikha 6:8 sebagai prinsip yang mengatur dalam menentukan bagaimana Allah mau kita menerapkan kasih dalam bisnis: “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Apakah yang dituntut TUHAN darimu selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?”[6] Dengan demikian, kasih yang diterapkan melalui keadilan, kebaikan, dan kesetiaan menjadi prinsip etika yang mendasar. Dan kita mendapati Yesus sendiri menekankan pentingnya ketiga unsur yang sama ini di Matius 23:23, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu memberi persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.” Hal ini tampaknya lebih mendekati inti etika Kristen sekaligus mengatasi pemisahan/perbedaan besar yang seringkali ada di antara etika pribadi dan sosial. Jika mematuhi beberapa perintah mendasar tampaknya menjadi pendekatan yang lebih baik daripada mencari perintah spesifik untuk setiap hal, maka pertanyaannya menjadi, "Adakah satu perintah Alkitab yang mendasari semua perintah lainnya?"

    Dari Prinsip-Prinsip Panduan Menjadi Satu Perintah Yang Jelas
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Ada daya tarik yang tak terbantahkan untuk mereduksi seluruh perintah moral Alkitab menjadi hanya satu perintah yang menyeluruh. Bagi John Maxwell, ini adalah Aturan Emas, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 7:12). Pendekatan ini hanya perlu mengajukan satu pertanyaan, “Bagaimana saya ingin diperlakukan dalam situasi ini?”[1] Maxwell mengakui bahwa dalam penerapannya mungkin juga diperlukan sejumlah prinsip lain, seperti:

    • Memperlakukan orang lain lebih baik daripada mereka memperlakukan Anda.

    • Berjalan sejauh dua mil.

    • Menolong orang yang tidak dapat menolong Anda.

    • Melakukan yang benar ketika melakukan yang salah itu wajar.

    • Menepati janji sekalipun hal itu menyakitkan.

    Sayangnya, cara ini justru menambah dan bukannya mengurangi jumlah perintah yang mendasar. Cara ini juga bisa memasukkan prinsip-prinsip yang tidak secara langsung berasal dari Alkitab.

    Joseph Fletcher, dalam Situation Ethics [2] menundukkan segala sesuatu di bawah “Hukum Kasih” Yesus: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39). Ia kemudian menghadapi masalah yang sama, dipaksa menemukan sejumlah prinsip lain (empat pra-asumsi dan enam proposisi), untuk menjelaskan bagaimana hal yang paling mengasihi bisa ditentukan. Maxwell ingin menjauhkan diri dari “relativisme moral” Etika Situasi dan, tidak seperti Fletcher, ia tidak berkata bahwa Hukum Kasih adalah satu-satunya prinsip moral absolut dengan cara mereduksi semua aturan moral lainnya menjadi hanya sebagai “pencerahan” yang berguna. Tetapi Maxwell dan Fletcher sama-sama menunjukkan bahwa meskipun kesederhanaan meninggikan satu prinsip itu menarik dan berguna dalam beberapa hal, tetapi cara itu terlalu menyederhanakan dan cukup menyesatkan dalam hal lain.

    Mereka juga menunjukkan ketidakcukupan menggunakan satu pendekatan saja dalam melakukan etika, yang dalam kasus mereka, pendekatan perintah. Kedua contoh ini dimulai dengan meninggikan satu perintah Alkitab absolut, tetapi kemudian beranjak dengan cepat memikirkan berbagai situasi dan konsekuensi untuk menentukan perintah-perintah memenuhi syarat lainnya yang diperlukan untuk memberi kejelasan. Dan cara mereka berbicara tentang kasih menunjukkan bahwa penerapannya bagaimana pun akan sangat bergantung pada karakter pelaku.

    Tiga Prinsip Penyeimbang
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Bagi Alexander Hill, “dasar etika Kristen dalam bisnis adalah karakter Allah yang tidak berubah.”[1] Perintah atau prinsip yang harus dipatuhi manusia ditentukan oleh karakter Allah. Perhatikan bahwa meskipun Hill memulai dengan karakter Allah, metodenya tidak dianggap sebagai bentuk etika berbasis karakter, seperti yang akan dibahas sebentar lagi. Hal ini karena dalam menentukan bagaimana manusia harus bertindak, metode Hill mengembangkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip. Aturan dan prinsip adalah ciri khas etika dengan pendekatan perintah.

    Gambaran karakter Allah yang paling sering dimunculkan berulang-ulang di Alkitab adalah kudus, adil, dan kasih. Hukum, aturan, dan tindakan kita harus menunjukkan kekudusan, keadilan, dan kasih. Hill berpendapat bahwa etika Kristen menuntut ketiga prinsip itu diperhatikan setiap waktu. Setiap prinsip, sama seperti setiap kaki pada bangku berkaki tiga, menyeimbangkan kedua prinsip lainnya. Terlalu menekankan pentingnya yang satu dan mengabaikan yang lain akan selalu menimbulkan distorsi dalam pemikiran etika. Sebagai contoh, terlalu menekankan kekudusan bisa dengan mudah memunculkan aturan-aturan yang membuat orang Kristen menarik diri dari dunia dan masuk ke dalam isolasionisme yang tiada guna. Terlalu menekankan keadilan bisa dengan mudah mendatangkan hukuman-hukuman yang terlampau keras karena melanggar aturan. Terlalu menekankan kasih kadang bisa menyebabkan kerancuan dan kurangnya akuntabilitas.

    Pendekatan Hill tampaknya memberikan keseimbangan yang lebih baik daripada pendekatan yang hanya berfokus pada satu prinsip saja. Pendekatan ini memberi semacam bantuan untuk menjelajahi dimensi-dimensi etika pribadi maupun sosial. Tetapi konsep kasih, keadilan, dan kekudusan masih perlu dijelaskan dengan merujuk pada prinsip-prinsip lain. Harapan mereduksi sedemikian banyak aturan menjadi hanya beberapa prinsip utama saja lagi-lagi tak bisa dicapai.


    Pendekatan Konsekuensi

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Pertanyaan mendasar yang diajukan pendekatan konsekuensi adalah, "Apakah ini akan mendatangkan hasil yang baik?” atau "Opsi mana yang akan mendatangkan hasil terbaik?" Tidak seperti pendekatan perintah (yang opsi terbaiknya ditentukan oleh aturan yang menentukan kebaikan yang melekat pada suatu tindakan), pendekatan konsekuensi ditentukan oleh hasil. Hasil akhirlah yang menentukan tindakan apa yang paling bermoral. Ini melibatkan upaya mengantisipasi dan memperhitungkan hasil-hasil dari berbagai tindakan yang berbeda dan memilih yang benar-benar baik atau seterbaik mungkin.

    Alkitab dan Konsekuensi
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Karena begitu banyaknya orang yang memikirkan etika dalam kerangka Sepuluh Perintah Allah, dan menganggap Alkitab sebagai buku aturan, mungkin mengejutkan mendapati betapa sering Kitab Suci sendiri mendorong pembacanya untuk memikirkan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan mereka dan membiarkan hal ini memengaruhi pengambilan keputusan mereka.

    Sebagai contoh, kitab Amsal berisi banyak peringatan dan janji-janji — pepatah-pepatah sarat makna yang memaparkan kemungkinan hasil dari tindakan tertentu. Contohnya, Amsal 14:14 berkata, "Orang yang murtad hatinya akan kenyang dengan langkah-langkahnya, dan orang yang baik dengan apa yang ada padanya."

    Yesus juga memperingatkan para pendengar-Nya untuk menimbang dengan hati-hati konsekuensi dari setiap keputusan mereka. "Dari buahnyalah kamu akan mengenali mereka" (Matius 7:16). Bahkan, dalam satu hal, seluruh kehidupan dan pelayanan Yesus dapat dipandang sebagai contoh nyata tentang membuat keputusan untuk kebaikan yang lebih besar.

    Ucapan Bahagia juga memperlihatkan aspek konsekuensi yang tersirat — jika kamu ingin "dipuaskan" maka haus dan laparlah akan kebenaran, dst. (Matius 5:6). Begitu pula dengan banyak pesan Kotbah di Bukit lainnya, seperti:

    Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga. (Matius 5:16)
    Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pengawal dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. (Matius 5:25)
    Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. (Matius 6:3-4)
    Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu. (Matius 6:15)

    Memikirkan konsekuensi merupakan pendekatan alkitabiah yang penting dalam kita mengambil keputusan etis. Namun, ada juga sejumlah potensi jebakan dalam pemikiran itu ketika akan menjawab, "Apa yang baik?" "Baik untuk siapa?" "Apakah tujuan yang baik selalu membenarkan cara?" "Apakah konteks memengaruhi apa yang baik?" Mengukur yang baik tidaklah sesederhana yang kelihatan.

    Klik di sini untuk bergabung dalam pembahasan mendalam tentang penerapan praktis etika pendekatan konsekuensi yang terdapat dalam narasi studi kasus Wayne. Setelah membacanya, Anda akan menemukan tautan untuk kembali ke sini. (Tautan ke bagian studi kasus "Mengukur Yang Baik").

    Pendekatan Karakter

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Alih-alih bertanya "Apa aturan-aturannya?" atau "Apa yang akan mendatangkan hasil terbaik?" dalam setiap situasi tertentu, pendekatan kebajikan bertanya, "Akan menjadi orang seperti apakah saya?" Asumsinya, jika seseorang memiliki karakter yang baik, ia kemungkinan akan lebih melakukan hal yang benar/baik dalam berbagai situasi sepanjang hidupnya. Karena itu, pendekatan ini lebih merupakan etika tentang “menjadi” daripada tentang “melakukan”.

    Pendekatan ini juga mengakui bahwa mengetahui hal yang benar — dengan menggunakan pendekatan etika konsekuensi atau perintah — tidak menjamin Anda benar-benar akan melakukan hal yang benar itu. Melakukan hal yang benar membutuhkan karakter. Etika karakter mengembangkan kebiasaan melakukan hal yang benar dengan disertai kemampuan mengetahui hal yang benar. Etika ini tentang karakter Allah yang membentuk karakter kita — tentang apakah kita akan menjadi orang yang lebih kudus, adil, dan mengasihi - tiga ciri karakter yang menonjol dalam Alkitab. Dan ini bukan lagi sekadar prinsip-prinsip yang membimbing kita dalam pengambilan keputusan. Ini adalah sifat-sifat karakter yang menjadi tertanam dalam diri kita sebagai setelan bawaan. Ada beberapa alasan mengapa hal ini sangat penting.

    Pertama, karena cara kita berbicara tentang masalah-masalah etis sejauh ini menunjukkan bahwa kita memiliki waktu dan juga kemampuan untuk berpikir logis dalam menghadapi masalah-masalah yang pelik dan membuat keputusan yang tepat. Dan kita kadang memang berlaku seperti itu. Namun, bagaimana dengan waktu-waktu pada umumnya? Bukankah sebagian besar keputusan kita dibuat dalam sepersekian detik ketika kita terburu-buru? Bagaimana kita berelasi dengan orang ini, atau menyelesaikan masalah itu, menasihati klien, atau memotivasi orang atau tim yang kinerjanya buruk?

    Kedua, mungkinkah berbagai pilihan etis yang kita buat sebenarnya sudah ditentukan sebelum kita membuat keputusan? Bahwa karakter kita secara otomatis memengaruhi banyak hal yang akan kita putuskan? Dan karena itu, keputusan-keputusan etis kita kebanyakan ditentukan oleh siapa kita (karakter dan nilai-nilai yang kita anut) daripada proses pengambilan keputusan yang kita gunakan.

    Ketiga, apakah kita benar-benar orang yang membuat keputusan pribadi dengan bebas, atau apakah keputusan kita banyak ditentukan oleh komunitas-komunitas kita? Apakah karakter dan komunitas terjalin erat dengan nilai-nilai kita secara tak terpisahkan saat berbicara tentang etika?

    David Cook berpendapat bahwa kita jarang membuat keputusan moral yang disadari.[1] Kita sering tidak berpikir dalam hal moral, kita hanya berespons secara spontan. Jika demikian halnya dan reaksi kita sebenarnya hanya bersifat naluriah, maka pentingnya mengembangkan karakter ilahi semakin kuat, karena kita sedang membuat begitu banyak pilihan etis secara otomatis. Orang baik memiliki peluang yang lebih besar untuk membuat pilihan-pilihan yang baik.

    Kebajikan Yang Mana?
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Sebagaimana pendekatan perintah dan konsekuensi harus menentukan perintah dan konsekuensi yang mana yang benar-benar baik, pendekatan karakter harus menentukan kebajikan yang mana yang baik. Aristoteles mengajarkan kebajikan Yunani klasik: keadilan, ketabahan, kebijaksanaan, pengendalian diri. Santo Ambrosius (339-397) mengakui kebajikan-kebajikan ini tersirat dalam Alkitab, tetapi ia juga menambahkan tiga kebajikan "teologis" spesifik lain dari Alkitab — iman, pengharapan, dan kasih. Teolog abad pertengahan Thomas Aquinas kemudian membandingkan kebajikan-kebajikan ini dengan sifat-sifat buruk yang sepadan - yang kita kenal dengan tujuh dosa maut.

    Etika kebajikan tetap menonjol dalam pemikiran Katolik, tetapi para teolog Protestan baru akhir-akhir ini mulai antusias menjelajahi pendekatan karakter. Kebanyakan mereka sudah memandang Alkitab sebagai sumber kebajikan. Kita telah melihat Alexander Hill mengidentifikasi kebajikan-kebajikan alkitabiah seperti kekudusan, keadilan, dan kasih sebagai kebajikan-kebajikan utama Allah. Meskipun demikian, ia menempatkan pendekatan kebajikan di bawah pendekatan aturan. Ia tidak berkata bahwa manusia harus mengembangkan kebajikan-kebajikannya sendiri. Sebaliknya ia berkata bahwa manusia harus mengembangkan aturan-aturan yang sesuai dengan kebajikan-kebajikan Allah.

    Para teolog Protestan yang mencoba mengidentifikasi kebajikan-kebajikan Kristen yang harus dikembangkan manusia cenderung berfokus secara khusus pada kehidupan dan pengajaran Yesus. Stassen dan Gushee berkata:

    Alkitab tidak datar; Kristus adalah puncak dan pusatnya. Tidak ada masalah moral yang layak dibahas tanpa memikirkan makna Yesus Kristus sebagai bahan pertimbangan untuk masalah itu. [1]

    Bagi Stassen dan Gushee, titik awal yang jelas untuk memikirkan kebajikan-kebajikan spesifik yang harus didambakan para pengikut Yesus adalah Kotbah di Bukit, khususnya Ucapan Bahagia. Miskin rohani, murah hati, haus/lapar akan kebenaran, lemah lembut/rendah hati, pembawa damai, berbelas kasihan - adalah beberapa kualitas utama yang harus dikembangkan. Bagi Yesus, tindakan dan perilaku kita adalah manifestasi dari sikap hati, motif, dan kualitas karakter yang jauh lebih mendasar (Markus 7:21-22). Rasul Paulus juga menekankan pentingnya pengembangan karakter. Sebagai contoh, di surat Galatia, ia menasihati orang-orang yang telah menjadi milik Yesus agar tidak memuaskan keinginan "daging", tetapi mempersilakan Roh Kudus menumbuhkan "buah" seperti kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Galatia 5:16-25). Kepada jemaat di Filipi, Paulus menulis, "Hendaklah kamu… tanpa mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri.... Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus" (Filipi 2:3-5).

    Yesus adalah teladan kita. Teladan-Nyalah yang harus kita tiru. Karakter-Nyalah yang harus kita kembangkan melalui pekerjaan Roh-Nya. Referensi-referensi ini menunjukkan penekanan yang sangat kuat di Perjanjian Baru untuk menumbuhkan karakter Yesus.

    Klik di sini untuk pembahasan mendalam tentang penerapan praktis etika pendekatan konsekuensi. Setelah membacanya, Anda akan menemukan tautan untuk kembali ke sini. (Tautan ke bagian studi kasus "Bagaimana karakter bertumbuh dan berkembang dalam hidup kita”).

    Siapa Yesus Yang Sebenarnya?
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Sebagai orang Kristen, kita ingin menjadi seperti Yesus (1 Yohanes 3:2). Karena itu, kita harus benar-benar menyadari bahaya yang kita hadapi ketika kita “membingkai ulang” perintah-perintah Yesus, konsekuensi-konsekuensi dan karakter yang diinginkan, dengan cara yang kurang menantang gaya hidup dan pandangan dunia kita sendiri. “Menjadikan” Yesus menurut gambaran kita sendiri adalah godaan yang kita semua hadapi. Sangat mudah, terutama di komunitas-komunitas yang relatif makmur, untuk secara tidak sadar memfilter dampak kehidupan dan pengajaran Yesus yang sangat besar pada lingkungan, sosial, ekonomi, dan politik, sehingga yang tersisa hanyalah Yesus yang menangani sejumlah kecil isu moral “pribadi” saja. “WWJD - What Would Jesus Do“ (Apa Yang Akan Yesus Lakukan) bisa dengan mudah diremehkan. Riset menunjukkan bahwa kebanyakan orang yang pergi ke gereja secara teratur hanya menunjukkan pemahaman etis yang berbeda dari kebanyakan orang dalam beberapa hal yang terkait isu perilaku seksual, kejujuran pribadi, dan penumpukan kekayaan saja.[1] Dalam banyak hal lainnya, kita lebih dibentuk oleh nilai-nilai budaya kita daripada etika Yesus.

    Yang menggembirakan dari riset ini adalah penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa pergi ke gereja membuat perbedaan dalam pemahaman etis kita. Namun sayangnya, hanya dalam beberapa hal tertentu saja, karena persoalan etis yang disampaikan di gereja secara teratur tidak mencakup sebagian besar masalah etis di dunia kerja dan bisnis. Fakta bahwa para CEO Enron dan WorldCom bisa mengaku menjadi orang Kristen yang taat karena dukungan gereja menunjukkan beberapa titik buta? Kita harus berusaha lebih keras untuk mengatasi lebih banyak masalah di dunia kerja dengan cara kita menceritakan, merayakan, dan mengeksplorasi cerita Kristen.

    Karakter Kristen berkembang bukan hanya sebagai hasil transformasi pribadi. Karakter Kristus berkembang terutama dalam konteks komunitas. Sebagaimana ditulis Benjamin Farley:

    Perjanjian Baru, selaras dengan Alkitab Ibrani, menekankan konteks yang tak tergantikan dalam komunitas orang percaya….Di dalam konteks iman, pengharapan, dan kasih yang merawat inilah … kehidupan Kristen, sebagai sebuah proses, berlangsung. Bukan persoalan pribadi saja, tetapi dihadapkan pada budaya asing dan bermusuhan itulah yang membentuk tindakan moral Kristen [2]

    Kita jauh lebih mungkin menjadi orang baik jika kita berkomitmen pada komunitas yang berusaha menceritakan kembali, memahami, menerima, dan menghidupi cerita Injil – terutama jika komunitas ini juga berkomitmen untuk menemukan gambar karakter Yesus yang lebih jelas, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan tidak mengenakkan yang membantu kita menghadapi pandangan kita yang terbatas tentang kehidupan yang baik. Jika hal ini terjadi, kita kemungkinan tidak akan meniru banyak contoh menyedihkan tentang orang Kristen yang berbisnis dengan cara yang tidak Kristen.

    Menggabungkan Semuanya

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Nah, kita sudah membahas tentang Perintah, Konsekuensi, dan Karakter. Tiga pendekatan etika yang berbeda. Pada kenyataannya, beberapa gabungan pendekatan ini sering muncul saat menghadapi situasi nyata sehari-hari. Sebagai contoh, sulit untuk memikirkan penerapan perintah atau aturan tertentu tanpa juga memikirkan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan itu. Sementara pada saat yang sama, memilih di antara berbagai konsekuensi yang diantisipasi bergantung pada mengetahui prinsip-prinsip apa yang kita prioritaskan dalam menentukan yang terbaik. Dan, apa pun yang ditentukan dalam teori itu, karakterlah yang akhirnya menentukan bagaimana seseorang memilih untuk bertindak.

    Oleh karena itu, dalam membuat keputusan moral, kita akan mendapati diri kita berada dalam tarian etis yang melibatkan interaksi-interaksi yang saling memengaruhi di antara berbagai pendekatan ini.

    Rangkuman Ketiga Pendekatan

    Deontologi

    Teleologi

    Kebajikan

    Konsep Kunci

    Perintah/Aturan

    Konsekuensi/Hasil

    Karakter

    Pertanyaan Utama

    Apa aturan yang berlaku?

    Apa yang akan mendatangkan hasil terbaik?

    Apakah saya akan menjadi orang baik?

    Seringkali, pendekatan yang kita gunakan tergantung pada sifat situasi yang kita hadapi. Sebagai contoh, apakah kita sedang berusaha menyelesaikan persoalan moral yang besar ataukah memutuskan pilihan moral sehari-hari yang lebih sederhana. Mari kita jelaskan maksudnya.

    Menyelesaikan Persoalan Moral Yang Besar
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Banyak pengajaran tentang etika bisnis dibangun dengan menelaah studi-studi kasus yang penting dan dikembangkan sebagai respons terhadap persoalan moral yang besar; khususnya tantangan-tantangan yang muncul ketika prinsip-prinsip penting saling berbenturan dan tampaknya mengarahkan kepada solusi yang berbeda-beda. Usaha menyelesaikan masalah semacam itu cenderung dimulai dengan menekankan pentingnya mengembangkan metode penalaran moral dalam menghadapi tantangan itu. Model itu biasanya menekankan pentingnya memikirkan aturan-aturan yang relevan dan memperhitungkan kemungkinan hasilnya dengan tujuan membandingkan dan mempertimbangkannya untuk menemukan opsi tindakan terbaik dalam konteks itu. Penekanan pada kebajikan dan karakter dalam hal ini terutama berkaitan dengan memastikan ada cukup motivasi dan tekad untuk menjamin dihasilkannya tindakan yang tepat. Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:

    Model Prioritas Aturan/Konsekuensi (keputusan-tindakan)

    Menentukan hal apa yang benar yang harus dilakukan dalam setiap situasi →

    Menetapkan aturan (perintah) yang berlaku

    Menemukan hasil (konsekuensi) terbaik

    Menjadi orang baik dengan melakukan hal yang benar dalam segala situasi →

    Melakukan yang Anda tentukan benar (karakter)

    Jenis metode yang dianjurkan biasanya terlihat seperti ini:[1]

    1. Mengumpulkan semua fakta yang relevan.

    2. Memperjelas masalah-masalah etis utama.

    3. Mengdentifikasi aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang relevan untuk kasus itu.

    4. Merujuk ke sumber-sumber panduan yang penting — terutama Alkitab, dengan keterbukaan pada cara terbaik dalam membaca Alkitab untuk mengatasi situasi ini. Namun juga merujuk ke sumber-sumber yang relevan lainnya.

    5. Meminta bantuan orang-orang di komunitas yang mengenal Anda dan situasi itu. Ini akan membantu Anda terhindar dari penipuan diri atau terlalu memperhatikan kecenderungan/ prasangka tertentu Anda.

    6. Membuat daftar semua tindakan alternatif.

    7. Membandingkan alternatif-alternatif itu dengan prinsip-prinsip.

    8. Menghitung kemungkinan hasil dari setiap tindakan dan memikirkan konsekuensi-konsekuensi.

    9. Merenungkan keputusan Anda dalam doa di hadapan Tuhan.

    10. Membuat keputusan dan menindaklanjutinya.

    11. Membangun sistem dan kebiasaan praktik yang membentuk karakter organisasi/masyarakat agar cenderung melakukan yang telah Anda tentukan benar sebagaimana yang seharusnya.

    12. Menemukan cara-cara untuk terus-menerus melakukan aktivitas-aktivitas yang memang bagian dari melakukan hal yang benar seperti yang telah Anda tentukan.

    Pilihan Moral Sehari-hari
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Model kedua mengakui bahwa sebagian besar keputusan etis dalam kehidupan dan pekerjaan kita sehari-hari dibuat secara instan, seringkali di bawah tekanan dan tanpa banyak kesempatan untuk berpikir panjang. Keputusan-keputusan ini adalah hasil dari kebiasaan-kebiasaan seumur hidup dan juga dipengaruhi oleh budaya tempat kita bekerja, kelompok sebaya dan komunitas iman kita. Sejauh mana kebajikan dan karakter Kristen telah tertanam dalam diri kita juga ikut memengaruhi. Inilah pemuridan Kristen yang umum. Tetapi pentingnya “menjadi” sebagai dasar untuk kita “melakukan” tidak berarti penalaran moral tidak diperlukan. Dalam kehidupan yang baik, masih ada tempat untuk memahami aturan-aturan dan memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi. Namun dalam hal ini, aturan dan konsekuensi berada di bawah kebajikan dan dipandang sebagai pelayan, bukan tuan. Ini memutarbalik prioritas yang ditunjukkan pada diagram sebelumnya:

    Model prioritas-karakter (perkembangan etis)

    Menjadi orang baik →

    Mengembangkan karakter yang baik agar memiliki kebijaksanaan dan ketekunan untuk mematuhi aturan dan menemukan hasil (karakter) terbaik

    ↓ ↓

    Menentukan hal yang benar untuk dilakukan ketika situasi tidak jelas →

    Menentukan aturan yang berlaku dalam setiap situasi (perintah)

    Menemukan hasil terbaik dalam setiap situasi (konsekuensi)


    Ini tidak berarti bahwa penekanan pada kebajikan juga tidak menimbulkan masalah moral, karena kita bisa saja menemukan kebajikan-kebajikan saling bersaing dan menarik ke arah yang berbeda-beda. Contohnya, keberanian dan kehati-hatian dapat menarik ke arah yang berbeda, atau keadilan dan kedamaian, atau kesetiaan dan kebenaran. Membuat keputusan moral yang baik dalam hal-hal seperti ini bukan tentang mencari satu jawaban yang benar karena ada kemungkinan jawabannya tidak hanya satu. Membuat keputusan moral yang baik di sini lebih tentang melihat alternatif-alternatif sebagai ketegangan yang dapat memunculkan respons-respons kristiani yang seimbang.

    Membuat Keputusan Etis di Dunia Yang Telah Jatuh
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Sejauh ini kita sudah berbicara seolah-olah kita memiliki kemampuan untuk mematuhi aturan-aturan Allah, mencari hasil yang dicari Allah, menjadi karakter yang diinginkan Allah pada diri kita. Padahal biasanya kita sangat jauh dari kemampuan itu. Kita bisa tidak memiliki kekuatan atau posisi untuk melakukan hal yang benar. Kita bisa tidak memiliki keberanian. Kita bisa tersandung oleh keinginan, sikap, ketakutan, relasi-relasi, dan faktor-faktor lain diri kita sendiri yang tidak benar.

    Terkadang kita tidak hanya kekurangan kemampuan, tetapi juga pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan yang benar. Mungkin aturan Allah tidak jelas ketika menyangkut perang atau bioetika, misalnya. Mungkin kita tidak tahu hasil yang mana yang dikehendaki Allah ketika pilihannya adalah bekerja sebagai pelacur atau melihat anak-anak kita kelaparan. Mungkin kita tak dapat membayangkan karakter seperti apa yang Yesus inginkan dari kita di tempat kerja ketika orang-orang tampaknya kompeten namun berpikiran sempit, atau tidak kompeten namun baik hati.

    Dalam banyak situasi kerja dan kehidupan, kita benar-benar tak dapat mencapai solusi yang sempurna. Kita sering menghadapi pilihan bukan antara yang lebih baik dan terbaik, tetapi antara yang buruk dan lebih buruk. Meskipun demikian, Allah tetap bersama kita. Pendekatan etika Kristen tidak menghukum kita untuk gagal jika kita tidak dapat menggapai kesempurnaan. Sebaliknya, pendekatan ini memberi kita sumber daya untuk melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan, atau setidaknya melakukan yang lebih baik daripada yang biasanya kita lakukan. Dalam sistem yang korup, mungkin tidak banyak yang dapat kita lakukan untuk membuat perbedaan nyata. Meskipun demikian, Alkitab memberi kita gambaran tentang maksud Allah dalam segala sesuatu, meskipun kita tak dapat menggapainya dalam waktu dekat. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi alasan untuk berharap, bukan merasa bersalah. Allah telah memilih memasuki kehidupan manusia — dalam diri Yesus — di tengah rezim yang korup. Dia menderita konsekuensi terburuk, tetapi muncul sebagai pemenang oleh kasih karunia Allah. Kita pun dapat mengharapkan hal yang sama sebagai pengikut Yesus. “Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan supaya dunia diselamatkan melalui Dia” (Yohanes 3:17).

    Pada akhirnya, semua bermuara pada kasih karunia. Kasih karunia Allah dapat memperjelas bagi kita apa itu hal yang benar. Kasih karunia Allah dapat membuat kita mampu melakukan yang kita tahu benar. Bahkan jika kita gagal, kasih karunia Allah dapat mengampuni kita dan memungkinkan kita untuk mencoba lagi.

    Kejatuhan dunia adalah salah satu alasan terpenting untuk menganggap pendekatan karakter sangat penting. Kita mungkin tidak dapat mematuhi semua aturan Allah atau menginginkan semua hasil yang diinginkan Allah. Namun, dengan kasih karunia Allah, kita dapat berlatih melakukan sesuatu yang lebih baik hari ini daripada yang kita lakukan kemarin. Jika kita tak melakukan apa-apa pun selain mengatakan kebenaran satu kali pada hari ini ketika kita sudah akan berbohong kemarin, karakter kita telah menjadi sedikit lebih seperti yang Allah inginkan. Pertumbuhan seumur hidup secara etis untuk menjadi lebih baik, sedikit demi sedikit, membuat perbedaan yang nyata.

    Kesimpulan

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Alkitab adalah sumber utama perintah-perintah yang harus kita patuhi, konsekuensi-konsekuensi yang harus kita inginkan, dan karakter-karakter yang harus kita bentuk sebagai pengikut Yesus Kristus. Meskipun perintah-perintah Alkitab adalah hal pertama yang mungkin terlintas di pikiran saat kita berpikir tentang etika Kristen, konsekuensi dan karakter juga merupakan unsur-unsur esensial dalam etika Kristen. Bagi kebanyakan dari kita, cara paling efektif untuk menjadi lebih etis mungkin adalah dengan lebih memerhatikan bagaimana tindakan dan keputusan kita di tempat kerja membentuk karakter kita. Keputusan etis terbaik di tempat kerja dan tempat-tempat lainnya adalah keputusan yang membentuk karakter kita menjadi makin seperti Yesus. Pada akhirnya, oleh kasih karunia Allah, “kita akan menjadi sama seperti Dia” (1 Yohanes 3:2).

    Presentasi Etika Naratif (Kasus)

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Klik di sini jika Anda hendak kembali ke bagian awal artikel Etika Kerja.

    Kasus Transmisi Yang Rusak

    Wayne adalah seorang Kristen pedagang mobil. Lebih dari dua belas bulan yang lalu, Wayne menjual Toyota Camry bekas kepada seorang klien yang beritikad baik. Mobil itu telah diperiksa secara menyeluruh sebelum dijual dan dipastikan dalam kondisi di atas rata-rata untuk kisaran harganya. Sekarang, dua belas bulan kemudian, klien itu menelepon Wayne. Ada masalah yang baru muncul pada transmisi otomatisnya. Apa yang akan dilakukan Wayne untuk menyelesaikan masalah itu? Penjualan mobil itu sudah lama, tetapi Wayne juga bersimpati pada kesulitan klien itu. Haruskah ia (Wayne bertanya-tanya) bertanggung jawab atas masalah itu dan menanggung biaya perbaikan transmisi? Secara realitanya, ini berarti memilih untuk menanggung kerugian finansial atas mobil Camry itu. Menambah biaya perbaikan akan membuat mobil itu lebih mahal bagi Wayne daripada harga jual yang ia berikan. Alih-alih langsung berkomitmen untuk melakukan tindakan tertentu, Wayne memberi tahu klien itu bahwa ia akan menghubunginya lagi dalam waktu satu hari.

    Saat Wayne menutup telepon, sejumlah keresahan mulai berkecamuk di benaknya. Siapa yang harus menanggung biayanya, Wayne atau kliennya? Atas dasar apa Wayne harus membuat keputusan? Dan dengan cara apa iman Kristennya memengaruhi yang ia pilih untuk dilakukan?

    1. Perintah-perintah apa yang seharusnya dipatuhi orang Kristen?

    2. Konsekuensi-konsekuensi apa yang seharusnya diinginkan orang Kristen?

    3. Karakter seperti apa yang seharusnya ditunjukkan orang Kristen?

    Kita akan tetap bersama Wayne sementara ia memikirkan setiap pendekatan ini.

    Pendekatan Perintah

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Ketika Wayne memikirkan masalahnya dengan mobil itu, ia bertanya-tanya apakah ada aturan atau perintah sederhana yang dapat membantunya menentukan hal yang benar untuk dilakukan. Satu titik awalnya cukup jelas — apakah hukum negara memberikan jawaban yang jelas? Bagaimana aturan hukum itu?

    Apa Saja Kewajiban Wayne Menurut Hukum Itu?

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Wayne tahu bahwa Undang-undang Perlindungan Konsumen (di Selandia Baru) memberikan enam garansi kepada konsumen tentang kendaraan yang dibeli. Yang terpenting adalah kendaraan itu harus memiliki kualitas yang sesuai. Kendaraan itu harus:

    • Sesuai dengan tujuan penggunaan jenis kendaraan itu.

    • Dapat diterima dari segi ‘finishing’ (hasil pengerjaan akhir) dan penampilan.

    • Bebas dari cacat-cacat kecil.

    • Aman.

    • Tahan lama — dengan kata lain, kendaraan itu dapat digunakan untuk pemakaian normal selama jangka waktu yang wajar setelah pembelian.

    • Usia dan harga kendaraan harus diperhitungkan saat memutuskan apakah kendaraan itu memenuhi kualitas yang layak.

    Jadi, berapa lama yang dianggap sebagai jangka waktu yang "wajar" setelah pembelian? Tidak ada jawaban yang ditentukan dengan jelas untuk pertanyaan ini, sehingga kewajiban hukum Wayne tidak pasti. Tetapi, untuk mobil Camry umur tujuh tahun dengan jarak tempuh sedang seperti yang dijual Wayne, tiga bulan atau 5000 kilometer (km) akan dianggap sebagai jangka waktu yang "wajar" bagi Wayne untuk secara hukum berkewajiban memperbaiki mobil itu. Klien bisa saja berpikir bahwa enam atau dua belas bulan itu "wajar". Tetapi jangka waktu dua belas bulan kemungkinan tidak akan diakui jika suatu saat diproses secara hukum di pengadilan.

    Wayne bertanya kepada klien itu berapa kilometer ia telah mengendarai mobil itu selama dua belas bulan. Jawabannya adalah 22.000 km. Hal ini menunjukkan pada Wayne bahwa ia sebenarnya tidak memiliki kewajiban hukum untuk memperbaiki kerusakan itu. Jangka waktu setelah penjualan maupun jarak yang sudah dilalui jauh melampaui batas garansi yang "wajar" untuk mobil dengan usia dan jarak tempuh seperti ini.

    Perintah Hukum dan/atau Moral?

    Meskipun Wayne merasa yakin ia tidak memiliki kewajiban hukum untuk membayar biaya perbaikan, keresahannya tentang masalah itu belum berakhir. Ia tahu bahwa legalitas dan moralitas bukanlah hal yang sama. Hukum biasanya menetapkan standar moral minimum masyarakat untuk melindungi orang-orang. Wayne teringat pada suatu kejadian yang diceritakan temannya baru-baru ini. Dewan Direksi perusahaan tertentu sedang rapat membicarakan sebuah proposal bisnis. Tanggapan awal yang dibahas adalah tentang legalitas proposal itu, yang segera menjadi jelas bahwa usulan itu tidak melanggar hukum. Namun kemudian seorang direktur berkata, "Memang legal, tetapi apakah itu benar?"

    "Begitu pertanyaan itu diajukan," kata teman Wayne, "keheningan menyelimuti ruang rapat, karena kami semua tahu jawabannya adalah 'Tidak', bahkan sebelum kami sempat membahas alasannya."

    Wayne tahu bahwa yang dikatakan hukum itu jelas tidak cukup. Tetapi, berpikir melampaui standar minimum hukum tidak selalu mudah. ​​Standar lebih tinggi apa yang harus dipatuhi sebuah perusahaan? Ada suatu masa di masyarakat Barat ketika prinsip-prinsip etika Kristen menjadi standar yang lebih tinggi yang diterima secara luas — jika tidak secara universal. Di Amerika, perusahaan J.C. Penney — jaringan toserba besar — ​​dikenal sebagai "Toserba Aturan Emas," dan dianggap tepat untuk membuat ketentuan layanan pelanggan yang didasarkan perintah-perintah Alkitab. Tak diragukan hal serupa berlaku (atau masih berlaku) di masyarakat yang diidentikkan dengan satu agama atau filsafat tertentu.

    Namun seiring dengan makin sekulernya masyarakat Barat, pertimbangan agama menjadi tidak dapat diterima lagi sebagai dasar etika perusahaan. Padahal, tidak ada sumber panduan etika lain yang dapat diterima secara luas seperti yang pernah diterima etika alkitabiah saat itu. Secara umum ini berarti tidak ada sumber panduan etika selain yang hanya sekadar mematuhi hukum. Ini menjadi masalah bagi banyak sekolah bisnis ketika mereka hendak membicarakan etika. Karena ingin menegaskan status sekuler mereka dan menunjukkan bahwa mereka bebas dari keberpihakan atau campur tangan agama, mereka akhirnya seringkali mengabaikan moralitas dan nilai-nilai. Hasilnya adalah fokus yang sempit yang hanya berkutat di sekitar hal-hal yang legal saja. Diskusi di antara para direktur perusahaan di atas menunjukkan kepicikan sikap ini. Mereka semua tahu ada yang salah, tetapi mereka tidak punya cara untuk membicarakannya.

    Perintah Yang Melampaui Hukum

    Meskipun ada banyak kesulitan, pendekatan etika Kristen mencari perintah Allah yang akan mengatakan dengan jelas apa yang benar dan yang salah. Dalam beberapa hal, tidak sulit menemukan ayat-ayat Alkitab yang berbicara tentang masalah kerja dan ketenagakerjaan, misalnya. Dalam hal-hal lainnya, mungkin sangat sulit untuk mengidentifikasi, memahami, atau menerapkan ayat-ayat Alkitab dengan tepat. Bagaimana kita tahu aturan dan prinsip yang mana yang berlaku untuk situasi tertentu? Ada banyak sistem yang berbeda dalam menerapkan ayat Alkitab.

    Jadi, dari mana Wayne mulai mencari jawaban atas persoalannya ini?

    Aturan untuk Setiap Situasi?

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Dalam kegalauannya, Wayne mencari pertolongan dari rak bukunya. Ia menemukan buku yang bisa jadi berisi hal yang ia cari — The Businessman’s Topical Bible. [1] Pandangan sekilas menunjukkan bahwa buku ini bisa menyelesaikan masalah. Buku ini mencari ayat Alkitab tertentu untuk memberi aturan yang berkaitan dengan masalah pekerjaan tertentu yang dihadapi.

    Wayne meninjau halaman-halamannya. Di dalam buku itu, penulis Mike Murdock mencantumkan 1550 ayat Alkitab untuk “memberikan wawasan Allah tentang situasi dan kondisi yang dihadapi setiap hari di dunia bisnis saat ini.” Ayat-ayat ini dikelompokkan dalam beberapa bagian, seperti “Sikap Anda”, “Pekerjaan Anda”, “Jadwal Harian Anda”, “Keluarga Anda”, “Keuangan Anda”, “Pebisnis dan Integritas”, atau “Ketika Pelanggan Tidak Puas."
    [2] Hampir 100 topik tercakup, yang meliputi berbagai situasi bisnis secara umum.

    Saat membaca beberapa bagian, Wayne memerhatikan bahwa penulis tidak mencoba menjelaskan metode tertentu dalam membuat keputusan. Ia hanya mencantumkan ayat-ayat Alkitab yang ia pikir relevan dengan setiap situasi, tanpa penjelasan atau penafsiran apa pun. Implikasinya ayat-ayat itu langsung diterapkan dan menjelaskan-sendiri.

    Wayne menemukan beberapa topik yang awalnya ia pikir bisa membantu mengatasi masalahnya:

    • “Ketika pelanggan tidak puas” yang mencantumkan ayat-ayat seperti 2 Timotius 2:24: “Seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia harus pandai mengajar, sabar” dan Lukas 6:35: “Kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan tanpa mengharapkan balasan apa pun. Upahmu akan besar.”

    • “Pebisnis dan Integritas,” yang mengutip Mazmur 112:5: “Bahagialah orang yang menaruh belas kasihan dan memberi pinjaman, yang melakukan urusannya dengan adil.”

    • “Pebisnis dan Negosiasi,” yang meliputi 2 Timotius 1:7: “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan penguasaan diri.”[3]

    Setelah mempelajari lebih dalam, Wayne mendapati bahwa ayat-ayat Alkitab acak ini tidak banyak membantunya. 2 Timotius 2:24 tampaknya memberi nasihat yang bertentangan dengan 2 Timotius 1:7, dan bagaimanapun, 2 Timotius 1:7 berbicara tentang pengajaran, bukan tentang pembayaran kembali. Lukas 6:35 berbicara tentang musuh, bukan klien. Ayat-ayat ini tampaknya benar-benar tidak berlaku untuk situasi Wayne. Bahkan, salah satu masalah yang bisa timbul dari pendekatan semacam itu adalah, jika Alkitab dipandang sebagai "buku jawaban" atas semua situasi yang kita hadapi, kita bisa dengan mudah tergoda untuk mengambil ayat-ayat di luar konteksnya dan mengartikannya secara berbeda dari yang dimaksud penulis aslinya. (Ini sering disebut "proof-texting" – sekadar mencomot ayat Alkitab untuk mendukung suatu situasi tanpa memerhatikan konteks ayat keseluruhannya-Pen).

    Ketika kita memulai dengan "masalah" dan mencari "jawaban," kita sebenarnya sedang menggunakan Kitab Suci secara terbalik. Risikonya adalah kita hanya mencomot ayat yang sesuai dengan rancangan yang telah kita tentukan sebelumnya dan mengabaikan semua hal lainnya, bukannya membiarkan Alkitab berbicara sendiri dan membiarkan tema-tema dan pesan-pesan yang sesuai membuktikan diri melalui pembacaan dan pembacaan-ulang ayat itu.

    Sebagai contoh, ketika Wayne mempelajari lebih dalam bagian "Ketika pelanggan tidak puas," ia memerhatikan ayat Lukas 21:19: "Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu." Ketika ia membaca perikop ayat itu, ia menyadari bahwa ayat itu sama sekali tak ada hubungannya dengan pelanggan yang tidak puas dalam bisnis. Lukas sedang mengutip perkataan Yesus kepada para pengikut-Nya, yang memberitahukan apa yang harus mereka lakukan ketika mereka ditangkap dan dianiaya karena iman mereka! Ayat itu telah diambil di luar konteks, sama seperti banyak ayat lainnya di bagian-bagian yang dibaca Wayne.

    Ada bahaya lain dari mencari aturan Alkitab untuk setiap situasi. Tindakan semacam itu bisa dengan mudah tergelincir ke dalam semacam reduksionisme dan legalisme. Kita hanya perlu mengingat para ahli Taurat dan orang-orang Farisi untuk mengetahui seperti apa hal ini. Dalam kerinduan mereka yang tulus untuk menaati Allah, mereka memerinci hukum menjadi serangkaian hal-hal khusus yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang pada akhirnya membutakan mereka tentang legalisme dan kesombongan mereka sendiri, alih-alih membantu mereka menaati Allah.

    Jika ini terdengar seperti kritik keras terhadap para ahli Taurat dan orang Farisi, mari kita perhatikan secara singkat saja di sini bahwa hal yang mereka coba lakukan itu sebenarnya mengagumkan. Mereka adalah beberapa dari sedikit orang yang secara serius berusaha menerapkan iman dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk bisnis. Mereka menyadari bahwa iman bukan hanya tentang menjalankan ritual di bait suci dan menghadiri pertemuan-pertemuan di sinagoge. Mereka berusaha menentukan apa artinya menjadi saleh dalam setiap aspek kehidupan. Masalahnya adalah, satu-satunya cara yang mereka tahu untuk melakukan hal itu adalah dengan berusaha menetapkan aturan untuk setiap situasi. Dan ini menimbulkan ledakan aturan-aturan yang jauh melampaui yang sebenarnya dikatakan Kitab Suci, namun tetap saja gagal mencakup setiap situasi.

    Sebagai contoh, ambillah kerinduan mereka untuk memenuhi perintah tentang memelihara hari Sabat. Dalam upaya memastikan seperti apa praktiknya tentang hal ini, mereka sama sekali telah mengabaikan dan kehilangan makna tentang hal itu, bahkan mencaci-maki Yesus karena berani menyembuhkan orang pada hari Sabat! Mereka menjadi tawanan dari aturan-aturan yang mereka buat sendiri, dan dengan berbuat demikian mereka justru menghalangi dan bukannya membantu orang mematuhi isi perintah itu.

    Jadi, upaya untuk merumuskan buku aturan lengkap berdasarkan Kitab Suci yang akan membahas setiap persoalan etis yang mungkin kita hadapi dalam konteks pekerjaan kita merupakan pencarian yang sia-sia dan tak ada gunanya. Alkitab bukan saja tidak mencakup ribuan situasi yang terjadi di dunia bisnis, tetapi bahkan jika kita berusaha memaksanya untuk melakukannya, kita justru berisiko mengatakan hal-hal yang sebenarnya tak pernah dimaksudkan ... atau yang lebih buruk lagi, meremehkan Kitab Suci dan tidak memahami maksudnya sama sekali.

    Namun, meskipun Alkitab tidak dapat dan tidak seharusnya diubah menjadi buku aturan yang komprehensif tentang etika kerja, Alkitab tetap berisi perintah/aturan yang penting dan relevan. Banyak perkataan dalam Kitab Suci yang jelas dan mudah diterapkan. Tidak setiap situasi yang kita hadapi di dunia kerja itu pelik. Dalam banyak kegiatan bisnis, tidak sulit untuk menemukan nasihat Alkitab. Jika Kitab Suci mengatakan (misalnya, Kolose 3:22) kita perlu bekerja sepenuh hati untuk tuan kita di bumi ("bos" atau majikan kita), maka kita harus melakukannya. Jika Alkitab memperingatkan kita terhadap kemalasan dan sikap tidak bertanggung jawab dalam mencari nafkah (misalnya, 2 Tesalonika 3:10-12), maka itulah yang seharusnya menjadi tujuan kita. Ketika Alkitab memerintahkan kita untuk menyelesaikan konflik dengan cara berbicara langsung dengan orang yang bermasalah dengan kita, ada pedoman yang perlu kita ikuti. Ketika Alkitab melarang kita untuk mencuri atau memfitnah orang lain, kita harus mematuhi perintah-perintah itu dengan tepat.

    Prinsip Yang Lebih Besar?

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Dengan rasa kecewa, Wayne menaruh kembali buku itu di tempatnya. Saat melakukannya, ia melihat judul lain yang menarik perhatiannya — Business By The Book.[32] Karena penasaran, ia mengambil buku itu dan langsung mendapati bahwa pendekatan penulis Larry Burkett adalah mengidentifikasi prinsip-prinsip dalam Alkitab. Yang dimaksud dengan "prinsip-prinsip" di sini adalah pengajaran yang lebih luas dan lebih umum daripada aturan-aturan, tetapi masih dalam bentuk perintah yang berasal dari Alkitab tentang hal yang benar yang perlu dilakukan.

    Subjudul buku itu, tulis Wayne, adalah "The Complete Guide of Biblical Principles for Business Men and Women” (Panduan Lengkap Prinsip-prinsip Alkitab bagi Pria dan Wanita Pengusaha." Buku ini tampak menjanjikan. Jadi ia mulai membaca. Jelas bahwa Business by the Book berasumsi Allah telah menetapkan dalam prinsip-prinsip-Nya petunjuk etis yang diperlukan untuk "menjalankan bisnis dengan cara-Nya." Menurut Burkett, Alkitab berisi berbagai ketetapan, perintah, dan prinsip yang merupakan “rencana Allah bagi umat-Nya dalam bisnis.”[33]

    Yang mendasar dari prinsip-prinsip ini adalah Sepuluh Perintah Allah — yang menurut Burkett merupakan standar minimum yang membedakan umat Allah dari orang-orang di sekitar mereka. Maka ada “standar minimum lain yang membedakan pengikut Allah dari orang lain di dunia bisnis.”[34]

    Dalam hal ini, Burkett mengembangkan “enam standar minimun bisnis yang alkitabiah.” Yaitu:

    • Mencerminkan Kristus dalam perilaku-perilaku bisnis.

    • Bertanggung jawab.

    • Menyediakan produk berkualitas dengan harga yang wajar.

    • Menghormati para kreditor.

    • Memperlakukan karyawan dengan adil.

    • Memperlakukan klien dengan adil.

    Aturan ini tidak terdapat di Alkitab, tetapi merupakan prinsip-prinsip yang diyakini Larry Burkett dapat disimpulkan langsung dari aturan-aturan dalam Alkitab. Maksudnya adalah agar aturan ini dapat mencakup lebih banyak situasi aktual yang terjadi di dunia kerja, karena aturan ini tidak sesempit aturan-aturan spesifik.

    Apakah Ini Membantu Wayne?

    Dua "standar minimum" tentang "menyediakan produk berkualitas dengan harga yang wajar" dan "memperlakukan klien dengan adil" jelas relevan dengan masalah Wayne. Namun, meskipun mengenal prinsip-prinsip ini baik, hal ini sebenarnya tidak membuat Wayne lebih dekat kepada yang harus ia lakukan. Ia masih bergumul untuk menentukan dengan tepat apa yang dalam kasus ini bisa menjadi perlakuan yang "adil" dan proses apa yang bisa ia gunakan untuk menentukan apa yang adil itu? Ia bisa setuju dengan dua prinsip Burkett itu — tetapi hal ini tidak membantunya melangkah lebih jauh. Masalah seperti ini umum atau biasa terjadi dalam metode-metode yang berbasis perintah. Jika perintah itu spesifik, perintah itu tidak dapat mencakup berbagai situasi yang terjadi di dunia. Jika peritah itu umum, perintah itu tidak dapat memberikan solusi aktual bagi masalah-masalah yang dicakupnya.

    Namun, buku itu memberi saran untuk membicarakan dengan teman tentang apa yang dianggap adil dalam situasi ini. Menurut Wayne saran ini merupakan hal yang baik untuk dilakukan. Ia suka dengan gagasan mengembangkan lingkungan yang lebih komunal untuk membantunya memperoleh perspektif tentang masalahnya. Melakukan hal ini berlawanan dengan sifat individualisme yang kuat yang kita semua hadapi, dan juga mengakui bahwa banyak tantangan etis yang rumit dan membutuhkan orang lain yang berpikiran tajam untuk memberikan perspektif dan dukungan.

    Wayne kurang tertarik dengan yang dianggapnya sebagai pendekatan yang sangat preskriptif dalam menggunakan Alkitab. Pendekatan itu tampaknya mereduksi Kitab Suci menjadi serangkaian prinsip dan aturan yang mudah dipahami - seperti buku petunjuk tentang “cara melakukan sesuatu.” Meskipun menggembirakan melihat pendekatan Business by the Book menanggapi serius tantangan agar iman kita memengaruhi dunia bisnis secara praktis, yang disayangkan pendekatan itu dibangun di sekitar prinsip-prinsip yang dipilih secara terbatas berdasarkan perspektif tertentu Burkett. Oleh karena itu, seperti banyak usaha lain yang serupa yang meringkas pendekatan Alkitab tentang bisnis, pendekatan itu memberi wawasan yang berguna dalam beberapa hal, tetapi juga menjanjikan lebih dari yang dapat direalisasikannya.

    Satu Prinsip atau Perintah?

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Wayne masih bergumul dengan masalahnya. Ia kembali ke rak bukunya untuk melihat apa lagi yang bisa membantunya. Buku John Maxwell, There’s No Such Thing as “Business” Ethics langsung menarik perhatiannya.

    John Maxwell berpikir, kita telah membuat pengambilan-keputusan Kristen menjadi jauh lebih rumit. Ia percaya bahwa semua perintah moral Alkitab pada dasarnya dapat direduksi menjadi satu perintah yang menyeluruh saja. Menurut Maxwell, tidak ada yang namanya etika bisnis: hanya ada satu aturan dalam membuat keputusan.[1] Dan itu adalah “Aturan Emas” yang disampaikan Yesus dalam Kotbah di Bukit - “Perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan; karena itulah seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 7:12).

    Pedoman ini (“Bagaimana saya ingin diperlakukan dalam situasi ini?”) harus mengatur semua pengambilan keputusan etis.[2] Sederhana tetapi tidak mudah adalah cara Maxwell menjelaskan aturan ini. Namun, ia mengakui bahwa untuk menjelaskan aturan ini diperlukan sejumlah prinsip lain seperti:

    • Memperlakukan orang lain lebih baik daripada mereka memperlakukan Anda.

    • Berjalanlah sejauh dua mil.

    • Menolong orang yang tidak dapat menolong Anda.

    • Melakukan yang benar ketika melakukan yang salah itu wajar.

    • Menepati janji sekalipun hal itu menyakitkan.

    Meskipun ia tidak mengutip Alkitab secara eksplisit, pendekatan Maxwell jelas berasal dari Matius 7:12. [3] Selama dua abad terakhir, perkataan ini sudah dikenal sebagai Aturan Emas [4] dan Maxwell memerhatikan inti ajaran ini juga ada di dalam agama dan budaya lain. Jadi prinsip ini merupakan prinsip yang dapat dihargai orang Kristen maupun orang non-Kristen.

    Beberapa prinsip-penjelas yang disebutkan Maxwell juga jelas didasarkan pada bagian-bagian lain pengajaran Yesus dalam Kotbah di Bukit. Contohnya, "Memperlakukan orang lain lebih baik daripada mereka memperlakukan Anda" tampaknya merupakan implikasi logis dari Matius 5:43-48, dan "Berjalanlah sejauh dua mil" jelas merujuk ke ayat Matius 5:41.

    Satu hal yang membuat Wayne tertarik memakai Aturan Emas dalam pendekatan etika bisnis adalah karena pendekatan ini didasarkan pada ajaran Yesus. Mengingat kita sering bersalah karena menghindari Yesus dan etika-Nya, hal ini menyegarkan.

    Bagaimana Hal Ini Membantu Wayne Menyelesaikan Masalahnya?

    Aturan Emas tentu saja merupakan prinsip-penjelas yang sangat berguna bagi Wayne. Aturan ini membuatnya berpikir, "Bagaimana saya ingin diperlakukan jika saya berada dalam posisi klien saya?" Dan prinsip-prinsip terkait seperti "memperlakukan orang lain lebih baik daripada mereka memperlakukan Anda" dan "berjalanlah sejauh dua mil" benar-benar menantang Wayne untuk bertindak melampaui yang secara hukum diharapkan darinya. Tetapi pendekatan Maxwell masih kurang membantu Wayne dalam menentukan secara spesifik tentang langkah tanggung jawabnya.

    Tak ada keraguan bahwa Aturan Emas adalah inti dari ajaran etika Yesus. Kesederhanaan meninggikan satu prinsip jelas menarik dan berguna dalam beberapa hal, tetapi juga menunjukkan sikap terlalu menyederhanakan dan bisa menyesatkan dalam hal lain. Kebutuhan Maxwell untuk melengkapi dengan aturan-aturan yang memenuhi syarat lainnya menunjukkan bahwa hal ini benar.

    Beberapa asumsi mendasar Maxwell juga dipertanyakan, seperti keyakinannya bahwa perilaku etis itu menguntungkan (setidaknya dalam jangka panjang). Tak ada bukti yang meyakinkan bahwa ini benar. [5] Bahkan, seperti dikatakan Scott Rae dan Kenman Wong, jika hal itu selalu (kebanyakan) benar:

    …tidak akan diperlukan buku-buku atau kursus-kursus tentang etika bisnis, karena hampir semua orang akan melakukan perilaku moral yang baik karena prospek imbalan finansial.[6]

    Ada keterbatasan lain pada pendekatan Maxwell. Pendekatan ini berasumsi hanya ada dua pihak yang terlibat dalam keputusan (orang yang membuat keputusan dan orang yang dipengaruhi oleh keputusan itu). Selama keputusan itu menguntungkan kedua orang ini, menurut Aturan Emas itu yang terbaik. Wayne menyadari bahwa dalam situasi khususnya saat ini, hal itu sebagian besar benar. Namun, pikirannya menerawang kepada banyak keputusan lain yang harus ia buat, yang secara tidak langsung akan memengaruhi orang lain dan/atau juga lingkungannya.

    Sebagai contoh, belum lama ini Wayne menjual kendaraan besar dengan penggerak empat roda. Ia merasa sudah menerapkan Aturan Emas pada kliennya (memperlakukannya dengan hormat, memberinya tawaran terbaik yang bisa ia berikan, mengungkapkan semua informasi yang sesuai, dll). Tetapi dalam penjualan itu, satu hal yang tidak ia pertimbangkan adalah masalah yang lebih luas tentang seberapa besar dampak kendaraan itu, dengan pemakaian bahan bakarnya yang tinggi, terhadap lingkungan.

    Tiga Prinsip Penyeimbang

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Wayne hampir kehabisan buku. Namun, ketika ia melirik ke rak bukunya lagi, ia melihat buku Just Business tulisan Alexander Hill.[1] Hill, seorang profesor bisnis dan ekonomi, dalam buku ini mencoba menemukan jalan tengah antara pendekatan satu-aturan yang sederhana dan pendekatan dengan banyak aturan lain yang lebih rumit.

    Poin utamanya adalah etika bisnis Kristen seharusnya tidak dibangun di atas aturan-aturan, tetapi di atas karakter Allah yang tidak berubah. Saat kita mempelajari dan mengamati karakter Allah, kita dapat belajar untuk meniru Allah. “Perilaku yang sesuai dengan karakter Allah itu etis — yang tidak sesuai berarti tidak etis.”[2]

    Oleh karena itu, kita dipanggil untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang menolong kita meniru karakter Allah. Tidak banyak dari kita yang akan membantah hal itu, tetapi pertanyaan besarnya adalah… lalu seperti apakah Allah itu? Jawaban Hill adalah tiga karakteristik sifat Allah yang paling sering ditekankan dalam Alkitab, yaitu:

    • Kekudusan

    • Keadilan

    • Kasih

    Secara lebih spesifik, ia mendefinisikan ciri-ciri sifat ini sebagai berikut:

    Kekudusan

    Mengejar kekudusan berarti memiliki fokus tujuan yang tak teralihkan untuk menjadikan Allah sebagai prioritas tertinggi. Ini berarti menganggap semua hal lainnya sebagai kepentingan yang lebih rendah — hal-hal seperti harta benda, tujuan karier, dan bahkan relasi-relasi pribadi. Mengejar kekudusan mencakup semangat, kemurnian, akuntabilitas, dan kerendahan hati.

    Keadilan

    “Keadilan membawa ketertiban pada relasi-relasi manusia dengan menetapkan seperangkat hak dan kewajiban timbal balik bagi orang-orang yang hidup dalam konteks komunitas.”[3] Dua hak pribadi yang mendasar adalah hak untuk diperlakukan secara bermartabat dan hak menjalankan kehendak bebas. Kewajiban atau tanggung jawab (yang sebenarnya merupakan sisi lain dari mata uang keadilan) menuntut kita memperlakukan orang lain dengan cara yang memberikan hak-hak ini kepada mereka. Hak dan kewajiban berada dalam ketegangan, menjadi penyeimbang yang diperlukan satu sama lain. Sebagai contoh, hak pekerja untuk mendapat upah yang layak berarti pemberi kerja memiliki kewajiban untuk membayar pekerja dengan adil. Dan ini juga mewajibkan pekerja untuk bekerja dengan rajin untuk mendapatkan upahnya. Keadilan berlaku di kedua sisi.

    Kasih

    Hill mengakui bahwa kasih pada umumnya dipandang sebagai kebajikan utama.[4] Tetapi kasih perlu dimoderasi oleh dua karakteristik lainnya. Kontribusi utama kasih pada gabungan kekudusan-keadilan-kasih adalah penekanannya pada relasi melalui empati, belas kasih, dan pengorbanan diri. Kasih menciptakan ikatan di antara manusia, dan sebaliknya, perusakan ikatan ini menimbulkan penderitaan.

    Bangku Berkaki Tiga

    Jadi, pandangan Hill adalah "tindakan bisnis itu etis jika mencerminkan karakter Allah yang kudus, adil, dan kasih."[5] (Tidak ada makna khusus dalam pengurutan ketiga karakteristik ini. Bahkan, ketiganya saling terkait sepenuhnya dengan satu sama lain). Gambaran yang digunakan Hill untuk menjelaskan hal ini adalah bangku berkaki tiga. Jika kita hendak menjalankan bisnis secara alkitabiah, ketiga (kaki) aspek itu harus diperhitungkan secara konsisten; jika tidak, kita akan memiliki bangku yang sangat tidak seimbang.

    Sebagai contoh, jika kekudusan terlalu ditekankan dengan mengesampingkan kasih dan keadilan, maka hasilnya adalah legalisme, suka menghakimi, merasa benar sendiri, dan menarik diri dari masyarakat.

    Jika keadilan mendominasi, maka hasil yang tidak menyenangkan, emosi yang dingin, dan hukuman adalah kemungkinan yang akan terjadi.

    Jika kasih menjadi satu-satunya ukuran utama, segala sesuatu bisa dengan mudah tergelincir ke dalam sikap permisif dan pilih kasih, karena tidak ada kompas moral yang mengarahkan kita ke batas-batas yang diperlukan kasih.

    Alexander Hill mengecam segala upaya mereduksi Kitab Suci menjadi kitab aturan yang dapat diterapkan pada situasi spesifik.[6] Ia juga sangat menyadari kerumitan tentang dunia bisnis. (Ini merupakan hal yang dihargai Wayne).

    Meskipun pendekatan Hill dibangun di atas tiga prinsip (perintah-perintah umum yang disimpulkan dari sifat-sifat Allah), ia juga sering memikirkan konsekuensi-konsekuensi — khususnya dalam menentukan apakah keadilan telah ditegakkan.

    Bagaimana Wayne Terbantu oleh Pendekatan Ini?

    Wayne bergumul untuk bisa memahami dengan tepat seperti apa kekudusan itu dalam situasinya ini, dan ia mendapati prinsip keadilan dan kasih yang seimbang sangat menolong. Hak dan kewajiban tertentu apa yang ada dalam relasinya sebagai penjual dengan kliennya? Dan respons terhadap permintaan klien yang bagaimana yang adil bagi kedua pihak? Wayne memutuskan bahwa ia mungkin memiliki kewajiban untuk berkontribusi pada biaya perbaikan itu — meskipun ia berpikir klien itu juga memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi. Keadilan berlaku dua arah — bersikap adil terhadap klien maupun penjual.

    Mengingat Wayne sejak awal sudah memberi harga yang sangat murah kepada kliennya untuk mobil itu — dengan marjin keuntungan yang kecil — ia merasa tidak adil jika diharapkan membayar seluruh biaya perbaikan. Namun, prinsip kasih membuatnya juga memikirkan dengan saksama pertanyaan, "Apa artinya mengasihi orang ini bagi saya?" Sekali lagi, meskipun tidak ada hasil jawaban yang pasti, Wayne terdorong untuk memikirkan situasi keuangan kliennya. Apa dampak yang akan ditimbulkan tagihan biaya perbaikan yang cukup besar bagi klien tertentu ini?

    Beberapa Tanggapan Umum

    Salah satu kekuatan besar pendekatan Hill adalah kejelasan yang diberikannya saat memikirkan masalah-masalah etis yang lebih kompleks tanpa terlalu menyederhanakannya. Bangku kekudusan-keadilan-kasih jauh lebih seimbang daripada satu-prinsip Aturan Emas, dan jauh lebih praktis daripada pendekatan multi-aturan yang sudah kita bahas sebelumnya.

    Keterbatasan utama dari bangku berkaki tiga adalah kita masih dihadapkan pada tantangan untuk menentukan dengan tepat apa itu kudus, adil, dan kasih bagi pihak-pihak yang dipengaruhi. Dan apa yang Anda lakukan, misalnya, saat keadilan berbenturan dengan kasih? Mana yang diprioritaskan?

    Meskipun demikian, Wayne mulai merasa mengalami kemajuan. Mencapai suatu keputusan jelas tidak selalu mudah, tetapi bangku berkaki tiga Hill khususnya telah memberinya sesuatu untuk dilakukan. Jelas bahwa pendekatan etika apa pun yang kita adopsi, mengenali dan menyeimbangkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang relevan adalah hal yang penting. Tetapi selain itu, kita juga harus berusaha memperhitungkan konsekuensi dari berbagai tindakan untuk mengetahui keputusan yang mana yang mendatangkan hasil yang paling mengasihi, adil, dan kudus.

    Pendekatan Konsekuensi

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Sampai saat ini, Wayne masih bertanya, "Apa aturan-aturan yang harus saya patuhi?" — dan mencari aturan-aturan atau prinsip-prinsip dari Alkitab.

    Namun Wayne juga memakai cara lain dengan pendekatan yang mengevaluasi opsi mana yang akan mendatangkan hasil terbaik. Dengan kata lain, jika Wayne menelaah kemungkinan konsekuensi dari setiap respons dan membandingkan hasil-hasil yang mungkin itu, ia kemungkinan dapat menentukan berdasarkan hasil yang ideal. Di dalam pendekatan ini, Wayne berhenti mencari aturan-aturan yang menunjukkan apa yang harus dilakukan di setiap langkah, dan hanya akan melakukan apa saja yang diperlukan untuk mencapai hasil yang tepat.

    Pendekatan yang memperhitungkan konsekuensi dan membandingkan hasilnya ini sering dikenal sebagai "konsekuensialisme" atau "etika teleologi" — dari kata Yunani telos, yang berarti "akhir." Tidak seperti pendekatan perintah (yang opsi terbaiknya ditentukan oleh apakah tindakan itu sesuai dengan aturan yang berlaku), pendekatan konsekuensi ditentukan oleh hasilnya. Hasil akhirlah yang menentukan tindakan apa yang paling bermoral.

    Alkitab dan Konsekuensi

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Karena begitu banyak orang yang menganggap Alkitab sebagai buku aturan, dan memikirkan etika dalam arti Sepuluh Perintah Allah, mungkin mengejutkan mendapati betapa sering Kitab Suci sendiri mendorong pembacanya untuk memikirkan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan mereka dan membiarkan hal ini memengaruhi pengambilan keputusan mereka.

    Kitab Amsal berulang kali melakukan hal ini. Kitab ini berisi banyak peringatan dan janji — pepatah-pepatah sarat makna yang memaparkan kemungkinan hasil dari tindakan tertentu. Sebagai contoh, Amsal 14:14 berkata, "Orang yang murtad hatinya akan kenyang dengan langkah-langkahnya, dan orang yang baik dengan apa yang ada padanya."[1]

    Yesus juga memperingatkan para pendengar-Nya untuk menimbang dengan hati-hati konsekuensi dari setiap keputusan mereka. Bahkan, dalam satu hal, seluruh hidup dan pelayanan Yesus dapat dipandang sebagai contoh nyata tentang membuat keputusan untuk kebaikan yang lebih besar. Ucapan Bahagia-Nya menunjukkan aspek konsekuensi yang tersirat — jika kamu ingin "dipuaskan," maka haus dan laparlah akan kebenaran, dst. (Matius 5:6). Begitu pula dengan banyak pesan Kotbah di Bukit lainnya, seperti:
    Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga. (Matius 5:16)
    Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pengawal dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. (Matius 5:25)
    Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. (Matius 6:3-4)
    Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu. (Matius 6:15)

    Mengukur Yang Baik

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Memikirkan konsekuensi seharusnya menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan kita. Namun, seperti ditemukan Wayne, konsekuensialisme menimbulkan empat pertanyaan pelik. Yaitu:

    1. Apa yang baik? (Bagaimana kita menentukan apa yang baik? Sebagai contoh, baik itu agaknya lebih dari sekadar membuat klien - atau Wayne - lebih baik secara finansial)

    2. Baik untuk siapa? (Siapa sebenarnya yang diuntungkan dari keputusan ini?)

    3. Dapatkah kebaikan dihitung? (Dapatkah kita memperkirakan sepenuhnya apa yang akan dihasilkan dan yang baik dalam situasi tertentu?)

    4. Baik dalam konteks apa? (Dapatkah yang baik di satu konteks buruk di konteks lain?)

    Apa Yang Baik?
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Definisi kita tentang apa yang baik sangat penting. Pandangan konsekuensialis yang paling terkenal menentukan kebahagiaan atau kesenangan sebagai kebaikan tertinggi. Versi etika konsekuensialis ini disebut "Utilitarianisme." Apa pun yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi sebagian terbesar manusia adalah baik. Kebahagiaan dipandang sebagai tujuan hidup utama (dan dengan demikian implikasinya rasa sakit harus diminimalkan atau dihindari dalam segala situasi).

    Tetapi di dalam Alkitab kebahagiaan tidak dipandang sebagai kebaikan tertinggi. Bahkan ketika kebahagiaan menjadi pusat perhatian dalam Alkitab, kebahagiaan itu cenderung didefinisikan-ulang secara sangat berbeda dari pemahaman budaya kita. Sebagai contoh, Yesus membuat kita berpikir terbalik dalam Ucapan Bahagia-Nya. Dia menyatakan bahwa situasi-situasi yang bisa membuat kita merasa dirugikan atau sedih justru dapat menjadi situasi yang membuat kita diberkati atau bahagia!

    Jadi, bagaimana kita menentukan yang baik secara alkitabiah? Apa yang dianggap baik dalam Alkitab? Keadaan dunia sebelum Kejatuhan di Kejadian 3 dinyatakan “baik” dan “sangat baik” oleh Allah (Kejadian 1:4, 9, 12, 18, 21, 25, 32 dan 2:18-24). Keadaan ini dipulihkan dan diperluas ketika Kristus datang kembali dan memulai langit baru/bumi baru di Wahyu 21-22. Sejarah Israel; kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus; dan pemeliharaan Allah bagi komunitas Kristen semuanya merupakan tujuan utama pemulihan keadaan ini. Dan unsur-unsur keadaan ini dijelaskan di dalam banyak ayat Alkitab, seperti yang berikut ini:

    Manusia hidup dalam relasi yang menyenangkan dengan Allah dan orang lain. (Kejadian 2:19-25)
    Manusia melakukan pekerjaan yang menyenangkan dan menyediakan kebutuhan hidup bagi semua orang. (Kejadian 2:7-9)
    Manusia memiliki kedudukan yang sama di dalam masyarakat tanpa diskriminasi ras, kesenjangan ekonomi atau gender. (Galatia 3:23)
    Tidak ada sakit-penyakit. (Wahyu 21:4; 22:2)
    Masyarakat hidup dalam damai dan sejahtera. (Mikha 4:3-4)

    Meskipun kebahagiaan tampaknya jauh lebih memungkinkan di dunia seperti itu daripada di dunia yang rusak seperti yang kita jumpai di sekitar kita, tujuan utama Tuhan bukanlah membuat kita bahagia. Tujuan-Nya adalah membuat kita utuh seperti mula-mula kita diciptakan. Perjanjian Baru menunjukkan dengan jelas bahwa menerima penderitaan dan kesakitan sering menjadi jalan menuju keutuhan — bagi kita sendiri, maupun orang-orang yang ditolong melalui penderitaan kita. [1]

    Pilihan Yesus untuk tunduk pada jalan Salib adalah teladan kita. Dia mengorbankan diri-Nya demi membawa pembebasan dan kehidupan bagi orang lain: "Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Matius 20:28). [2]

    Baik untuk Siapa?
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Persoalan dalam etika konsekuensialis adalah menentukan konsekuensi siapa yang harus dioptimalkan.

    Kepentingan Pribadi

    Ada orang-orang yang memakai kepentingan pribadi sebagai tolok ukur. Mereka memakai pendekatan bahwa, jika suatu keputusan mendatangkan kebaikan bagi mereka, maka itu adalah pilihan terbaik. Aliran pemikiran ini dikenal sebagai “egoisme etis”.

    Anda tidak terkesan dengan pemikiran ini? Ehm, sebelum Anda menganggapnya salah sama sekali, pikirkan lebih lanjut masalah Wayne. Kepentingan pribadi tidak selalu berarti bertindak dari perspektif yang sepenuhnya egois. Wayne bisa saja memilih memperbaiki kerusakan mobil kliennya karena kepentingan pribadi. Ia bisa saja memutuskan bahwa reputasi dan kapasitas jangka panjangnya untuk mendapatkan bisnis baru tergantung pada memenuhi ekspektasi-ekspektasi klien.

    Jadi, yang tampak dari luar sebagai respons yang tanpa pamrih seringkali bisa jadi didorong oleh kepentingan pribadi. Dan ini tidak selalu buruk atau salah. Ini bahkan sering membawa hasil positif. Kita mungkin berkata, "Yang baik bagi saya seringkali akan baik bagi semua orang." Ekonom dan ahli filsafat Adam Smith (yang sering dikenal sebagai Bapak Kapitalisme Modern) berpendapat seperti ini ketika ia berbicara tentang orang-orang yang berkecimpung dalam bisnis:

    Dengan mengejar kepentingannya sendiri, ia sering lebih efektif dalam memajukan masyarakat daripada ketika ia benar-benar berniat memajukannya. Saya tidak pernah melihat banyak kebaikan dilakukan oleh orang yang berpura-pura berdagang untuk kepentingan umum.[1]

    Saat ini hal ini mungkin dianggap agak terlalu optimis dan naif. (Bahkan negara-negara yang paling kapitalis pun telah menambahkan banyak sekali undang-undang untuk melindungi pelanggan dan konsumen).

    Kebaikan Yang Lebih Besar

    Kelompok kedua yang lebih substansial mengatakan bahwa konsekuensi bisa menentukan keputusan etis kita dengan memakai kebaikan yang lebih besar sebagai tolok ukur. Kelompok ini memakai pendekatan bahwa keputusan terbaik adalah yang akan menghasilkan kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Seperti telah kita ketahui, Utilitarianisme berusaha memaksimalkan kebaikan (kebahagiaan) bagi sejumlah terbesar manusia. Suatu tindakan tidak baik jika membuat sedikit orang sangat bahagia tetapi tidak membawa manfaat apa-apa — atau bahkan memperburuk banyak hal — bagi banyak orang. Sebaliknya, suatu tindakan dinilai baik jika membuat banyak orang bahagia dengan tidak membahagiakan sedikit orang.

    Namun, kita harus berhati-hati saat membuat keputusan yang didasarkan pada kebaikan mayoritas namun berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif atau membahayakan yang minoritas — apalagi jika yang minoritas itu kelompok yang terpinggirkan dan hampir tak punya kekuatan. Dengan ketentuan yang semacam “tujuan-membenarkan-cara”, segala kejahatan bisa ditoleransi.[2]

    Alkitab secara konsisten memanggil umat Allah untuk membela dan melindungi orang miskin dan yang terpinggirkan. Sesungguhnya, para nabi secara teratur menantang umat Allah untuk memerhatikan orang yang paling lemah, bahkan menyatakan bahwa kesehatan masyarakat diukur dari cara mereka memperlakukan "yatim piatu, janda, dan orang asing" (tiga kelompok terpinggirkan yang signifikan).

    Namun, janganlah juga kita beranggapan bahwa tujuan tidak pernah membenarkan cara. Ada pilihan-pilihan sulit yang harus dibuat ketika alternatifnya benar-benar tidak ada yang baik atau benar. Dalam kasus-kasus seperti itu, pembuat keputusan hanya dihadapkan pada pilihan yang buruk dengan level-level yang berbeda (relatif). Teori perang disebut "teori perang yang adil" adalah salah satu contoh cara para ahli etika berusaha memberi panduan dalam situasi semacam itu.[3] Suatu pilihan terkadang membawa penderitaan bagi orang lain. Namun, betapapun penderitaan itu tak terelakkan, pilihan itu harus dilakukan dengan belas kasih dan kerendahan hati yang tulus.

    Apa Artinya Ini bagi Wayne?

    Mencoba memikirkan konsekuensi dari keputusannya sebenarnya jauh lebih mudah bagi Wayne dalam situasi khusus ini daripada dalam banyak kasus lainnya. Ini karena, sebagaimana didapati Wayne, hanya ada dua pihak yang benar-benar akan dipengaruhi oleh keputusannya — dirinya dan kliennya. Tidak seperti banyak keputusan lain yang ia hadapi sebagai pedagang mobil yang melibatkan berbagai konsekuensi yang tak dapat dijelaskan terkait dampaknya pada masalah lingkungan, sosial, dan komunitas, pilihan ini agak lebih sederhana. Kebaikan apa yang akan dihasilkan dari keputusan untuk membayar, atau setidaknya berkontribusi dalam biaya perbaikan? Jawabannya adalah ia akan memiliki klien yang puas dan mungkin terhindar dari kesulitan ekonomi yang tidak perlu. Ini bisa menjadi kebaikan yang lebih besar daripada tidak mau membayar dan mendapat keuntungan pribadi sebagai hasilnya.

    Dapatkah Kebaikan Dihitung?
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Konsekuensi bisa sulit diukur dan dihitung; bahkan kadang mustahil dilakukan. Dalam beberapa hal, kita mengetahui konsekuensi itu, tetapi tidak punya cara untuk mengukurnya. Apakah Anda akan lebih bahagia jika mendapat pekerjaan yang Anda sukai ataukah yang menghasilkan banyak uang? Dalam hal-hal lain, kita bahkan tidak mengetahui semua konsekuensi dari keputusan kita. Seringkali ada orang atau lingkungan terdampak yang tidak kita perhitungkan. Kadang bahkan tidak ada cara untuk mengetahui sebelumnya.

    Dalam banyak hal, Alkitab membantu kita menyadari keterbatasan kita sendiri dan perspektif kita yang sangat terbatas. Sebaliknya, Allah itu mahatahu dan mahabijaksana. Maka ketika manusia bertanggung jawab atas tindakannya dan diharapkan memikirkan baik-baik konsekuensinya, diperlukan kerendahan hati dan ketergantungan pada satu-satunya Pribadi yang mengetahui segala sesuatu.

    Kita sering benar-benar tidak memiliki cara untuk mengetahui konsekuensi yang akan dihasilkan tindakan kita, atau bahkan untuk menilai/mengukur yang baik. Karena itu, meskipun memikirkan konsekuensi merupakan hal yang penting dalam membuat keputusan, satu pendekatan ini saja tidak cukup dalam melakukan tindakan etis. Setidaknya, perintah dan konsekuensi perlu sama-sama dipertimbangkan. Perintah sering berfungsi mengarahkan kita kepada tindakan yang secara logis dapat diharapkan mendatangkan hasil yang baik, selain dari fakta bahwa tindakan itu sendiri pada dasarnya baik. Sebagai contoh, perintah "Jangan Berdusta" sangat mungkin menghasilkan konsekuensi yang lebih baik daripada sebaliknya, apalagi dalam situasi pelik yang sulit memprediksi konsekuensi dari berdusta, bahkan dusta "putih" yang niatnya baik. Pada saat yang sama, memikirkan konsekuensi sering membantu kita menentukan aturan mana yang berlaku dalam situasi yang mana. "Jangan Membunuh" berlaku dalam segala situasi karena konsekuensinya adalah kematian, yang tidak dapat dibatalkan oleh kekuatan manusia. Tetapi “Menghormati Hari Sabat” tidak berlaku dalam situasi yang menghalangi Anda menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat, karena konsekuensi dari kesakitan dan penderitaan bertentangan dengan pemulihan dunia kepada keadaan yang dimaksudkan Allah (Lukas 13:10-16, Yohanes 5:1-9).

    Baik dalam Konteks Apa?
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Konteks etika itu penting. Kadang karena tindakan bisa diartikan berbeda di antara orang dari budaya yang berbeda. Kadang karena situasi orang berbeda-beda.

    Salah satu contoh yang paling terkenal di Alkitab ditemukan dalam surat Paulus yang pertama kepada jemaat Korintus, pasal 8, ketika ia membahas keputusan-keputusan etis yang muncul tentang memakan makanan yang dipersembahkan kepada berhala. Masalah utamanya adalah, kata Paulus, perilaku kita akan memengaruhi "orang-orang percaya yang lemah." Dalam hal ini, Paulus lebih mengutamakan kasih dan kepentingan orang lain di atas kebebasannya sendiri untuk melakukan yang ia rasa pantas. Pertanyaannya bukan hanya, "Apakah itu benar?" tetapi juga, "Apa hasil yang akan ditimbulkannya?" Hal yang ia rasa bebas ia lakukan dalam satu situasi, tidak ia pilih untuk ia lakukan dalam situasi lain yang bisa menimbulkan kegusaran atau masalah. Paulus menentukan ketepatan atau kebijaksanaan tindakan itu berdasarkan konsekuensi dalam konteks tertentu ini.

    Ini tidak sama dengan relativisme moral. Mengakui bahwa nilai-nilai kristiani perlu diterjemahkan secara kontekstual, karena apa yang baik dalam satu situasi belum tentu baik dalam situasi lain, sangat berbeda dengan relativisme total yang menjadi ciri budaya kita, di mana tidak ada standar kebenaran atau moralitas yang absolut. Sebagai contoh, perintah untuk jangan berdusta adalah standar absolut. Tetapi standar itu berlaku secara berbeda dalam konteks yang berbeda: "Apakah Anda sudah membayar untuk hal ini?" memerlukan proses penerapan prinsip yang berbeda dari, "Apakah kemeja ini terlihat bagus untuk saya?"

    Semakin lama masyarakat tempat kita tinggal semakin multikultural. Kita bisa menghadapi banyak situasi di mana konteks menantang kita untuk mengubah tindakan kita. Sebagai contoh, jika Anda pemberi kerja, bagaimana Anda menentukan cuti berkabung ketika beberapa staf Anda berasal dari latar belakang etnis yang secara budaya sangat penting bagi mereka untuk mengambil cuti beberapa hari, beberapa kali dalam setahun, untuk menghadiri pemakaman kerabat dan teman?

    Atau anggaplah Anda seorang penghasil tenda dan Anda memutuskan untuk membuat tenda di bagian dunia yang jauh lebih miskin karena biayanya jauh lebih murah. Bagaimana Anda menentukan bayaran yang tepat untuk para karyawan Anda?

    Masalah konteks melampaui masalah lintas budaya. Masalah ini juga merupakan faktor yang menentukan apakah perlu memperlakukan orang secara berbeda karena situasi mereka. Sebagai contoh, seorang dokter mungkin mengenakan tarif yang berbeda berdasarkan pendapatan pasien. Seorang pedagang mobil mungkin mempertimbangkan situasi ekonomi seseorang saat menegosiasikan harga, seperti yang dilakukan Flow Automotive ketika mereka menyadari bahwa orang miskin cenderung membayar lebih mahal untuk mobilnya karena mereka cenderung kurang terlatih dalam bernegosiasi.

    Bagaimana Masalah Kontekstual Memengaruhi Pengambilan Keputusan Wayne?

    Ketika Wayne mulai memikirkan bagaimana situasi-situasi tertentu ini memengaruhi tindakan yang mungkin dilakukan, ia mendapati dirinya berusaha memahami dan mengantisipasi sejumlah hal.

    Kita sudah menyebutkan pertanyaan tentang situasi keuangan kliennya. Jika Wayne menolak membayar biaya perbaikan, atau hanya berkontribusi sebagian, apa dampak finansial yang mungkin dialami klien itu dan keluarganya? Apakah hal itu mungkin akan membuat stres? Wayne menganggap hal ini perlu dipertimbangkan. Bahkan, baginya, hal ini merupakan bagian dari pertanyaan yang lebih luas tentang kasih dan keadilan.

    Bagaimana jika Wayne tahu bahwa klien itu murah hati dan tidak itung-itungan dalam hal waktu dan uangnya sendiri — suka melayani orang lain dan sungguh-sungguh ingin membuat perbedaan di dunia? Jika demikian, Wayne mungkin akan merasa lebih mantap untuk berlaku murah hati padanya.

    Pada saat yang sama, Wayne tahu ia juga harus mempertimbangkan kemampuan membayarnya sendiri, serta dampaknya bagi dirinya dan keluarganya jika pada akhirnya ia hanya mendapat sedikit atau sama sekali tidak mendapat keuntungan dari penjualan ini.

    Ada sudut pandang lain. Haruskah Wayne memikirkan baik-baik preseden yang sedang ia ciptakan? Jika ia bersikap lunak, apakah klien-klien lainnya juga akan datang padanya untuk meminta bantuan? Wayne tersenyum masam memikirkan kemungkinan itu. Tetapi, bagi dirinya secara pribadi, itu bukan masalah besar. Faktor-faktor lain yang telah ia pertimbangkan, sejauh yang ia ketahui, jauh lebih penting. Ia tidak keberatan jika mendapat reputasi sebagai "orang yang lembek," selama ia puas dengan kesesuaian pilihannya.

    Hal ini membuat Wayne berpikir tentang bagaimana karakternya dibentuk untuk membuat pilihan moral.

    Jika Anda datang ke sini dari artikel Presentasi Etika Sistematis, klik di sini untuk kembali ke awal Presentasi Sistematis. Jika tidak, silakan lanjutkan membaca yang berikut ini.

    Pendekatan Karakter

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Dua pendekatan utama dalam pengambilan keputusan yang digunakan Wayne untuk menganalisis masalah penjualan mobilnya sejauh ini — pendekatan perintah dan konsekuensi — berkaitan dengan moralitas tindakan/pilihan itu sendiri. Namun, ada cara lain untuk memikirkan pilihan etis — yang tidak berfokus pada tindakan, tetapi pada orang yang membuat keputusan. Ini sering disebut etika "kebajikan" atau "karakter", karena perhatian utamanya pada karakter orang yang melakukan tindakan.

    Alih-alih bertanya, "Apa yang benar?" atau "Apa yang akan mendatangkan hasil terbaik?" pendekatan kebajikan bertanya, "Akan menjadi orang seperti apakah saya?" Asumsinya, jika karakter Anda semakin dibentuk menuruti karakter Allah, Anda akan semakin terarah untuk melakukan hal yang benar/baik. Karena itu, pendekatan ini lebih merupakan etika tentang menjadi daripada melakukan.

    Pendekatan ini juga mengakui adanya kekurangan dalam proses yang kita semua sadari. Mengetahui hal yang benar tidak menjamin hal yang benar itu akan dilakukan! Ini karena dibutuhkan karakter untuk melakukan hal yang benar.

    Sebelumnya kita telah membahas bahwa memahami karakter Allah dapat memengaruhi cara kita dalam membuat keputusan. (Kita telah membahas khususnya tentang kasih, keadilan, dan kekudusan Allah). Tujuannya adalah agar kita dapat memakai karakteristik-karakteristik itu sebagai kisi-kisi dalam menentukan keputusan yang benar. Ini termasuk pendekatan perintah karena kita berusaha mengikuti karakter Allah, bukan membentuknya! Dalam pendekatan karakter, kita bertanya bagaimana tindakan kita akan membentuk atau memengaruhi karakter kita. Karena itu, mari kita ubah penekanannya secara halus. Mari kita lihat bagaimana karakter Allah membentuk karakter kita. Sebagai orang Kristen, tujuan kita adalah menjadi orang yang lebih kudus, adil, dan mengasihi, sehingga ciri-ciri ini tertanam dalam diri kita sebagai setelan bawaan. Sekali lagi, ini bukan lagi tentang karakter Allah. Sekarang penekanannya pada karakter kita.

    Ada beberapa alasan mengapa hal ini sangat penting. Pertama, cara kita berbicara tentang masalah-masalah etis sejauh ini menunjukkan proses pengambilan keputusan yang agak ideal, di mana kita memiliki waktu dan juga kemampuan untuk berpikir logis dalam menghadapi masalah-masalah yang pelik dan membuat keputusan yang tepat. Dan kita kadang memang berlaku seperti itu. Tetapi sebagian besar keputusan kita dibuat dalam sepersekian detik dalam keadaan terburu-buru? Cara kita menyikapi keluhan atasan kita, menyelesaikan kesalahpahaman dengan klien, menasihati pelayan toko yang kurang berpengalaman, memotivasi tim yang kinerjanya buruk - tindakan-tindakan ini seringkali dilakukan tanpa banyak berpikir sama sekali. Pastinya akan jauh lebih efektif jika kita dapat bersandar pada sifat-sifat karakter atau kebajikan yang sudah tertanam dalam diri kita untuk membawa kita secara naluriah kepada keputusan dan tindakan yang benar.

    Kedua, mungkinkah berbagai pilihan etis kita sebenarnya sudah ditentukan sebelum kita membuat keputusan? Dengan kata lain, karakter kita secara otomatis memengaruhi banyak hal yang akan kita putuskan. Bahkan ketika kita punya waktu untuk memikirkan keputusan dengan saksama, keputusan kita cenderung sangat dipengaruhi oleh kebiasaan dan karakter kita, baik atau buruk. Karena itu, keputusan-keputusan etis kita kebanyakan ditentukan oleh siapa kita (karakter dan nilai-nilai yang kita anut) daripada proses pengambilan keputusan yang kita gunakan. Iris Murdoch berkata, "Di saat-saat krusial ketika harus memilih, sebagian besar proses memilih sudah selesai."[1]

    Ketiga, pendekatan berbasis karakter memudahkan kita untuk memikirkan peran komunitas dalam pembentukan dan keputusan etis. Meskipun kita sering menganggap diri kita sebagai orang yang bebas membuat keputusan pribadi, keputusan kita dapat dipengaruhi secara signifikan oleh komunitas kita. Seperti akan kita lihat, pendekatan berbasis karakter seringkali lebih efektif dalam memakai sumber-sumber etika yang dapat diberikan komunitas kita.

    Karena alasan-alasan ini, sebagian orang percaya bahwa daripada berfokus pada pengambilan keputusan yang baik, lebih baik berkonsentrasi pada pengembangan karakter yang baik. Mereka berkata, jika kebajikan dan kebaikan berkembang dalam hidup kita, keputusan yang baik akan secara otomatis mengikuti.

    Menentukan Apa Itu Kebajikan

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Jika pengembangan karakter dan kebajikan sedemikian penting, maka ada beberapa pertanyaan kunci yang harus kita hadapi. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:

    • Bagaimana kita menentukan kebajikan?

    • Siapa sebenarnya yang menentukan kebajikan?

    • Bagaimana sebenarnya kebajikan itu berkembang?

    Pertanyaan pertama mungkin yang paling mudah dijawab. Kamus Oxford mendefinisikan "kebajikan" sebagai "kualitas yang dianggap baik atau diinginkan secara moral." Setiap budaya sangat menghargai kualitas-kualitas tertentu. Dalam konteksnya, kualitas-kualitas ini dianggap kebajikan.[1]

    Namun, pertanyaan kedua tentang siapa sebenarnya yang menentukan kualitas tertentu itu baik agak lebih sulit. Dari tahun ke tahun, sudah banyak ahli filsafat, teolog, dan pemikir yang mencoba mendaftarkan dan mendefinisikan kebajikan. Sebagai contoh, Aristoteles menekankan kebajikan Yunani klasik: keadilan, ketabahan, kebijaksanaan, dan pengendalian diri. Ambrosius (339-397), seorang pemimpin Kristen mula-mula, menyatakan hal-hal ini tersirat dalam Alkitab, tetapi ia juga menambahkan tiga kebajikan alkitabiah (atau “teologis”) spesifik lain — iman, pengharapan, dan kasih (1 Korintus 13:13). Sejak abad keenam, Paus Gregorius Agung membandingkan ketujuh kebajikan ini dengan sifat-sifat buruk yang sepadan — yang sekarang kita kenal sebagai “tujuh dosa maut.”[2] Baru akhir-akhir ini para teolog Protestan mulai serius meneliti kebajikan. Glen Stassen dan David Gushee berkata bahwa “kebajikan adalah ciri karakter yang memungkinkan kita berkontribusi (secara positif) pada komunitas.”

    Jadi, apa artinya ini bagi kita sebagai pengikut Yesus? Siapa atau apa yang seharusnya menentukan apa itu kebajikan bagi kita? Jelaslah bahwa Alkitab adalah jawabannya, dan di dalam Kitab Suci, titik fokus dalam menentukan kebajikan-kebajikan Kristen adalah kehidupan dan pengajaran Yesus. Yesus adalah ungkapan karakter Allah yang paling nyata bagi kita. Jadi, jika kita ingin mengetahui kebajikan apa saja yang harus dikembangkan, mengamati kualitas-kualitas yang dicontohkan dan dibicarakan Yesus adalah titik awal terbaik kita. Kita setuju dengan Stassen dan Gushee yang berkata bahwa:

    Alkitab tidak datar; Kristus adalah puncak dan pusatnya. Tidak ada masalah moral yang layak dibahas tanpa memikirkan makna Yesus Kristus sebagai bahan pertimbangan untuk masalah itu.

    Bagian terbesar ajaran etika Yesus terdapat dalam Kotbah di Bukit. Inilah tempat yang baik untuk memulai jika kita ingin memikirkan kebajikan-kebajikan spesifik yang harus didambakan para pengikut Yesus. Secara lebih spesifik, di dalam Ucapan Bahagialah, Yesus menyoroti kebajikan-kebajikan utama — kualitas-kualitas dan perilaku-perilaku yang sangat Dia hargai itu. Miskin rohani, murah hati, haus dan lapar akan kebenaran, lemah lembut/rendah hati, pembawa damai, berbelas kasih (Matius 5:1-12) — adalah ciri-ciri karakter yang harus menjadi tujuan utama kita.

    Di dalam Kotbah di Bukit, Yesus berulang kali menghubungkan tindakan kita secara langsung dengan karakter kita — dengan sikap hati dan motif mendasar kita. Perkataan-perkataan Yesus lainnya di kitab-kitab Injil menguatkan hubungan ini. Sebagai contoh, “Sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat: percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan…” (Markus 7:21-22).

    Gereja mula-mula juga menyadari pentingnya meneladani Yesus. Tulisan-tulisan dalam surat rasul Paulus menekankan pentingnya pengembangan karakter. Sebagai contoh, ia menasihati jemaat di Galatia agar tidak memuaskan keinginan "daging", tetapi mempersilakan Roh Kudus menumbuhkan "buah" seperti kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Galatia 5:16-25). Kepada jemaat di Filipi, Paulus menulis, "Hendaklah kamu… tanpa mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri.... Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus" (Filipi 2:3-5).

    Kristus adalah contoh dan teladan kita. Karakter-Nyalah yang harus kita kembangkan. Referensi-referensi ini menunjukkan penekanan yang sangat kuat di Perjanjian Baru untuk menumbuhkan karakter Yesus.

    Bagaimana Karakter Memengaruhi Keputusan Wayne?

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Semua pembicaraan tentang kebajikan ini membuat Wayne agak bingung. Sulit untuk mengevaluasi bagaimana karakternya sendiri berkembang. Pada kenyataannya, karakter sejati mungkin lebih akurat diukur melalui pengamatan orang lain daripada analisis kita sendiri.

    Namun Wayne merasakan reaksi yang signifikan di sepanjang proses pengambilan keputusannya. Alih-alih merasa mudah untuk menolak keluhan kliennya tentang mobil dan permintaan untuk memperbaiki, ia justru merasa iba pada klien itu. Wayne benar-benar ingin menyikapi dengan cara yang menunjukkan kasih dan kepedulian. Sesungguhnya, jika ia melihat ke belakang dan meninjau perkembangan karakter kristianinya yang lambat namun nyata sepanjang hidupnya, ia secara khusus menyadari (dan menghargai) pertumbuhannya dalam belas kasih, kebaikan, dan kemurahan hati.

    Akibatnya, ia mendapati dirinya ingin menanggapi positif permintaan kliennya itu dengan cara yang kemungkinan tidak dilakukan banyak orang lain. Maka, ketika Wayne mulai menghitung konsekuensi, pertimbangannya lebih kepada seberapa besar yang mampu ia bayar untuk membantu daripada bagaimana ia dapat menolak permintaan klien itu. Tampaknya setelan bawaannya sudah ditentukan oleh nilai-nilai yang membentuk karakternya.

    Bagaimana Karakter Bertumbuh dan Berkembang dalam Hidup Kita?

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Kita semua mengenal orang-orang yang hidupnya memancarkan karakter. Cara mereka bekerja di dunia usaha menunjukkan integritas atau konsistensi dengan aspek-aspek kehidupan mereka yang lain. Namun, bagaimana sebenarnya persisnya mereka menjadi orang-orang berkarakter seperti itu?

    Dalam budaya kita yang sangat individualistis, mudah untuk menganggap bahwa hal itu kemungkinan besar akibat dari komitmen yang kuat pada Kristus, kesalehan dan disiplin yang ketat, serta kerinduan untuk menumbuhkan karakter Yesus dalam hidupnya.

    Namun, meskipun unsur-unsur ini jelas penting, dan Roh Kudus pasti mengubah kita dengan cara yang sangat pribadi, perubahan seperti itu jarang terjadi di luar konteks yang lebih luas. MacIntyre maupun Hauerwas (dua pendukung etika kebajikan baru-baru ini) menekankan peran komunitas yang sangat besar dalam membentuk dan mewujudkan hidup yang berkebajikan. Bahkan mereka mengatakan bahwa penyampaian cerita-cerita (narasi) di komunitas tertentu merupakan pembentuk utama karakter kelompok. Cerita melibatkan imajinasi kita dan membuat kita terlibat dengan cara-cara yang sering kali menyingkapkan diri. Cerita memiliki kekuatan untuk membantu mengembangkan karakter maupun komunitas.

    Sebagai contoh, cerita yang paling berpengaruh dalam budaya Amerika selama bertahun-tahun adalah cerita tentang orang yang memimpin dirinya sendiri yang mampu melepaskan diri dari penindasan konformitas sosial. Dari Frank Sinatra yang menyanyikan lagu "My Way," ketenaran Babe Ruth, hingga film "Pirates of the Caribbean" (hanya satu contoh saja — karena sebagian besar film Hollywood adalah variasi-variasi dari cerita ini), cerita yang sangat berpengaruh adalah cerita tentang kemenangan kepribadian batin individu atas beban ekspektasi sosial yang menghancurkan. Membaca surat kabar dan menelusuri bagaimana peristiwa dan pemberitaan surat kabar tentang hal itu terkait dengan cerita yang berpengaruh ini, entah buruk atau baik, bisa jadi menarik.

    Bagi orang Kristen jelas Alkitab merupakan narasi/cerita utama kita. Alkitab juga merupakan cerita kemenangan seorang individu — Yesus — atas penindasan masyarakat. Namun, Yesus berulang kali berkata bahwa Dia tidak bertindak dari dirinya sendiri. Sebaliknya, Dia berkata bahwa pimpinan-Nya datang dari luar, yaitu dari Allah (contohnya, Yohanes 12:49-50). Dan kita harus menjadi seperti Yesus (1 Yohanes 3:2). Cerita Kitab Suci mengingatkan kita tentang menjadi orang seperti apa kita diciptakan Allah serta bagaimana perspektif dan nilai-nilai Allah seharusnya membentuk kehidupan kita di dunia. Cerita ini membuat kita dapat menemukan diri kita sendiri, dan mengundang respons kita dengan implikasi-implikasi moral yang mendalam.

    Bagi Hauerwas, Stassen, dan Gushee, cerita spesifik yang paling penting bagi orang Kristen adalah cerita tentang Yesus, yang karakter dan kebajikan-Nya harus kita teladani.

    Tetapi cerita/narasi Injil tidak sampai kepada kita dengan fokus yang tajam. Tanpa kita sengaja, kita sering menyerapnya melalui sebuah filter — filter budaya dan komunitas iman kita. Cara kita menceritakan-lagi cerita ini — kebajikan apa yang kita tekankan, kegagalan apa yang kita soroti, dan bagaimana kita saling mendorong untuk memelihara kebiasaan-kebiasaan dan tindakan-tindakan yang digambarkannya — semuanya memiliki dampak signifikan pada cara kita bertumbuh dalam kebajikan.

    Sesungguhnya, kita perlu betul-betul menyadari kecenderungan semua komunitas iman untuk membingkai-ulang Yesus dengan cara yang tidak terlalu menantang gaya hidup dan pandangan dunia kita. Menjadikan Yesus menurut gambaran kita sendiri adalah godaan yang kita semua hadapi. Gereja-gereja Barat saat ini hidup dalam masyarakat dengan kekayaan dan kemakmuran yang sangat meluas, dan dengan cerita kemenangan memimpin diri sendiri yang diterima dalam tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Bahaya yang kita hadapi adalah kita menyaring secara tidak sengaja dampak sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan yang sangat besar dari kehidupan dan pengajaran Yesus. Ketika hal itu terjadi, sebagaimana yang sering terjadi, yang tersisa dalam narasi komunitas iman hanyalah Yesus yang membatasi diri untuk menangani sejumlah kecil masalah moral pribadi saja.

    Ini bukanlah Yesus yang ada dalam kitab-kitab Injil. Karena Yesus Kristus memberikan teladan dan mengajarkan etika kehidupan yang konsisten, bukan etika yang sangat terbatas dan dibatasi pada masalah-masalah perilaku seksual dan kejujuran pribadi saja — betapapun pentingnya hal itu. Etika Yesus mencakup jauh lebih dari itu.

    Jadi, karakter ilahi tidak hanya berkembang sebagai hasil transformasi pribadi. Dalam konteks komunitaslah karakter itu terutama dirawat dan dikembangkan. Dan komunitas itu harus menemukan cara untuk menyingkapkan titik-titik buta yang tak terelakkan dari pandangannya pada Yesus. Seperti yang ditulis Benjamin Farley:

    Perjanjian Baru, selaras dengan Alkitab Ibrani, menekankan konteks yang tak tergantikan dalam komunitas orang percaya, yang dalam hal ini adalah gereja, ekklesia. Di dalam konteks iman, pengharapan, dan kasih yang merawat inilah kehidupan Kristen, sebagai sebuah proses, berlangsung. Bukan persoalan pribadi saja, tetapi dihadapkan pada budaya asing dan bermusuhan itulah yang membentuk tindakan moral Kristen. [1]

    Jika Anda datang ke sini dari artikel Presentasi Etika Sistematis, klik di sini untuk kembali ke awal Presentasi Sistematis. Jika tidak, silakan lanjutkan membaca yang berikut ini.

    Mengembangkan Karakter Yesus di Dunia Kerja

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Etika kebajikan memiliki pelajaran-pelajaran penting untuk diajarkan pada kita:

    • Membuat keputusan etis di dunia kerja jauh lebih dari sekadar mengembangkan proses pengambilan keputusan yang baik. Bahkan jauh lebih dari sekadar menyetujui "Kode Etik." Menjadi seperti siapa kita itulah yang secara substansial membentuk pilihan-pilihan etis kita.

    • Kita tidak dapat mengembangkan karakter Allah sendirian. Kita membutuhkan orang lain. Ketika kita berkomitmen pada komunitas yang berusaha menceritakan kembali, memahami, menerima, dan menghidupi cerita Injil, kita jauh lebih mungkin menjadi orang yang berkebajikan. Dan dunia bisnis pastinya membutuhkan orang-orang yang berkarakter.

    Komunitas seperti itu harus menemukan cara untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang karakter Yesus, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit dan tidak mengenakkan yang membantu kita menghadapi pandangan kita yang terbatas tentang kehidupan yang baik. Ketika hal ini terjadi, kita cenderung tidak akan meniru banyak contoh menyedihkan tentang orang Kristen yang menjalankan bisnis dengan cara yang sama sekali tidak Kristen.

    Jika Anda datang ke sini dari artikel Presentasi Etika Sistematis, klik di sini untuk kembali ke awal Presentasi Sistematis. Jika tidak, silakan lanjutkan membaca yang berikut ini.

    Menggabungkan Semuanya

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Perintah, Konsekuensi, Karakter – tiga pendekatan berbeda dalam membuat keputusan etis. Dan, seperti yang telah kita lihat, ada banyak variasi dalam aliran-aliran ini. Kebenarannya, dalam situasi nyata sehari-hari, banyak orang menggunakan kombinasi dari beberapa pendekatan. Contohnya, sulit menerapkan perintah atau aturan tertentu tanpa memikirkan juga konsekuensi dari tindakan-tindakan itu. Pada saat yang sama, ketika kita memikirkan dan membandingkan konsekuensi-konsekuensi yang berbeda, kita perlu mengidentifikasi aturan-aturan yang mengarahkan kepada hasil-hasil itu. Dan pada akhirnya, apa pun yang kita putuskan dalam teori itu, karakter dan keterbukaan terhadap pimpinan Roh Kuduslah yang sebenarnya seringkali menentukan bagaimana kita bertindak.

    Jadi, dalam membuat keputusan moral, kita akan mendapati diri kita berada dalam tarian etis yang melibatkan interaksi-interaksi yang saling memengaruhi di antara berbagai pendekatan ini.

    Rangkuman Ketiga Pendekatan

    Deontologi

    Teleologi

    Kebajikan

    Konsep Kunci

    Perintah/Aturan

    Konsekuensi/Hasil

    Karakter

    Pertanyaan Utama

    Apa aturan yang berlaku?

    Apa yang akan mendatangkan hasil terbaik?

    Apakah saya akan menjadi orang baik?

    Yang manakah dari pendekatan-pendekatan ini yang Anda sukai dalam pengambilan-keputusan Anda sendiri? Seringkali hal ini tergantung pada sifat situasi yang Anda hadapi. Sebagai contoh, apakah Anda sedang berusaha menyelesaikan persolan moral yang besar ataukah pilihan moral sehari-hari? Mari kita jelaskan maksudnya.

    Persoalan Moral Yang Besar

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Terkadang persoalan moral yang besar membutuhkan dan memungkinkan pertimbangan yang matang dalam jangka waktu yang lama. Dalam kasus-kasus seperti itu, salah satu cara melakukan proses pengambilan keputusan ini bisa sebagai berikut:[1]

    1. Mengumpulkan semua fakta yang relevan.

    2. Memperjelas masalah-masalah etis utama.

    3. Mengdentifikasi aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang relevan untuk kasus itu.

    4. Merujuk ke sumber-sumber panduan yang penting — terutama Alkitab, dengan keterbukaan pada cara terbaik dalam membaca Alkitab untuk mengatasi situasi ini. Namun juga merujuk ke sumber-sumber relevan lainnya.

    5. Membuat daftar semua tindakan alternatif.

    6. Membandingkan alternatif-alternatif itu dengan prinsip-prinsip.

    7. Menghitung kemungkinan hasil dari setiap tindakan dan memikirkan konsekuensi-konsekuensi.

    8. Merenungkan keputusan Anda dalam doa di hadapan Tuhan.

    9. Membuat keputusan dan menindaklanjutinya.

    Seperti yang dapat Anda lihat, menentukan arah/tindakan ketika dihadapkan pada keputusan moral yang besar membutuhkan banyak “darah, keringat, dan air mata” (usaha keras dan pengorbanan)! Terutama bagi organisasi. Tetapi dalam memutuskan persoalan sehari-hari yang kita hadapi sebagai individu, kehidupan yang berjalan cepat kemungkinan membuat kita lebih efisien.

    Pilihan Moral Sehari-hari

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Kita sudah menyatakan bahwa sebagian besar keputusan etis dalam kehidupan dan pekerjaan kita sehari-hari dibuat secara instan, seringkali di bawah tekanan dan tanpa banyak kesempatan untuk berpikir panjang. Keputusan-keputusan ini bersifat naluriah, hasil dari kebiasaan-kebiasaan seumur hidup dan juga dipengaruhi oleh budaya tempat kita bekerja, kelompok sebaya dan komunitas iman tempat kita berada. Keputusan-keputusan ini dipengaruhi oleh sejauh mana kebajikan dan karakter Kristen telah tertanam di dalam diri kita. Inilah pemuridan Kristen yang umum.

    Tetapi, pentingnya “menjadi” sebagai dasar untuk kita “melakukan” tidak berarti kita tidak memerlukan penalaran moral. Dalam kehidupan yang baik, masih ada tempat untuk memahami aturan-aturan dan memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi – tetapi di sini, aturan dan konsekuensi berada di bawah kebajikan dan dipandang sebagai pelayan, bukan tuan. Sebagai contoh, orang yang memiliki kebajikan kejujuran pun harus memahami dan mematuhi Prinsip Akuntansi Yang Berlaku Umum (Standar Pelaporan Keuangan Internasional, di luar AS) agar dapat membuat laporan-laporan keuangan yang akurat. Istilah seperti "menurut pendapat kami" dan "tak dapat diperkirakan" memiliki definisi khusus yang harus diikuti. Tetapi orang yang jujur ​​selalu menggunakan aturan yang meningkatkan keakuratan laporan keuangan secara menyeluruh, dan tidak pernah mencari cara untuk mengaburkan kebenaran tanpa melanggar hukum.

    Penekanan pada kebajikan tidak menghilangkan masalah moral. Bahkan, kebajikan yang saling bersaing bisa menarik kita ke arah yang berbeda-beda. Contohnya adalah ketegangan yang kadang timbul antara keadilan dan kedamaian, kesetiaan dan kebenaran, atau keberanian dan kehati-hatian.

    Membuat keputusan moral yang baik dalam hal ini bukan tentang mencari satu jawaban yang benar (karena jawabannya kemungkinan tidak hanya satu), tetapi lebih tentang memperjuangkan respons-respons kristiani yang seimbang yang mengakui semua prioritas yang saling bersaing.

    Kita tidak hanya dibiarkan berjuang sungguh-sungguh setiap waktu untuk mengenali dan menjalani respons-respons kristiani yang sempurna. Sesungguhnya, menyadari bahwa kita hidup di dunia yang telah jatuh berarti menyadari bahwa seringkali tidak ada respons kristiani yang sempurna — bahwa kadang semua tindakan mengandung konsekuensi negatif. Hanya oleh kasih karunia Allah kita dapat diampuni dan hidup merdeka sebagai orang Kristen. Tidak lagi sangat bergantung pada upaya melakukan hal yang benar untuk mendapat perkenan Allah, tetapi tetap berkomitmen untuk berusaha melakukan hal yang benar sebagaimana ditentukan oleh karakter Tuhan dan Juru Selamat kita, tukang kayu dari Nazaret, yang jejak langkah-Nya kita ikuti saat kita melakukan pekerjaan sehari-hari.

    Klik di sini untuk kembali ke bagian awal artikel Etika Kerja

    Klik di sini untuk membaca Presentasi Etika Sistematis

    Klik di sini untuk membaca Daftar Pustaka