Bootstrap

Presentasi Etika Naratif (Kasus)

Artikel / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
The command approach

Klik di sini jika Anda hendak kembali ke bagian awal artikel Etika Kerja.

Kasus Transmisi Yang Rusak

Wayne adalah seorang Kristen pedagang mobil. Lebih dari dua belas bulan yang lalu, Wayne menjual Toyota Camry bekas kepada seorang klien yang beritikad baik. Mobil itu telah diperiksa secara menyeluruh sebelum dijual dan dipastikan dalam kondisi di atas rata-rata untuk kisaran harganya. Sekarang, dua belas bulan kemudian, klien itu menelepon Wayne. Ada masalah yang baru muncul pada transmisi otomatisnya. Apa yang akan dilakukan Wayne untuk menyelesaikan masalah itu? Penjualan mobil itu sudah lama, tetapi Wayne juga bersimpati pada kesulitan klien itu. Haruskah ia (Wayne bertanya-tanya) bertanggung jawab atas masalah itu dan menanggung biaya perbaikan transmisi? Secara realitanya, ini berarti memilih untuk menanggung kerugian finansial atas mobil Camry itu. Menambah biaya perbaikan akan membuat mobil itu lebih mahal bagi Wayne daripada harga jual yang ia berikan. Alih-alih langsung berkomitmen untuk melakukan tindakan tertentu, Wayne memberi tahu klien itu bahwa ia akan menghubunginya lagi dalam waktu satu hari.

Saat Wayne menutup telepon, sejumlah keresahan mulai berkecamuk di benaknya. Siapa yang harus menanggung biayanya, Wayne atau kliennya? Atas dasar apa Wayne harus membuat keputusan? Dan dengan cara apa iman Kristennya memengaruhi yang ia pilih untuk dilakukan?

  1. Perintah-perintah apa yang seharusnya dipatuhi orang Kristen?

  2. Konsekuensi-konsekuensi apa yang seharusnya diinginkan orang Kristen?

  3. Karakter seperti apa yang seharusnya ditunjukkan orang Kristen?

Kita akan tetap bersama Wayne sementara ia memikirkan setiap pendekatan ini.

Pendekatan Perintah

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ketika Wayne memikirkan masalahnya dengan mobil itu, ia bertanya-tanya apakah ada aturan atau perintah sederhana yang dapat membantunya menentukan hal yang benar untuk dilakukan. Satu titik awalnya cukup jelas — apakah hukum negara memberikan jawaban yang jelas? Bagaimana aturan hukum itu?

Apa Saja Kewajiban Wayne Menurut Hukum Itu?

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Wayne tahu bahwa Undang-undang Perlindungan Konsumen (di Selandia Baru) memberikan enam garansi kepada konsumen tentang kendaraan yang dibeli. Yang terpenting adalah kendaraan itu harus memiliki kualitas yang sesuai. Kendaraan itu harus:

  • Sesuai dengan tujuan penggunaan jenis kendaraan itu.

  • Dapat diterima dari segi ‘finishing’ (hasil pengerjaan akhir) dan penampilan.

  • Bebas dari cacat-cacat kecil.

  • Aman.

  • Tahan lama — dengan kata lain, kendaraan itu dapat digunakan untuk pemakaian normal selama jangka waktu yang wajar setelah pembelian.

  • Usia dan harga kendaraan harus diperhitungkan saat memutuskan apakah kendaraan itu memenuhi kualitas yang layak.

Jadi, berapa lama yang dianggap sebagai jangka waktu yang "wajar" setelah pembelian? Tidak ada jawaban yang ditentukan dengan jelas untuk pertanyaan ini, sehingga kewajiban hukum Wayne tidak pasti. Tetapi, untuk mobil Camry umur tujuh tahun dengan jarak tempuh sedang seperti yang dijual Wayne, tiga bulan atau 5000 kilometer (km) akan dianggap sebagai jangka waktu yang "wajar" bagi Wayne untuk secara hukum berkewajiban memperbaiki mobil itu. Klien bisa saja berpikir bahwa enam atau dua belas bulan itu "wajar". Tetapi jangka waktu dua belas bulan kemungkinan tidak akan diakui jika suatu saat diproses secara hukum di pengadilan.

Wayne bertanya kepada klien itu berapa kilometer ia telah mengendarai mobil itu selama dua belas bulan. Jawabannya adalah 22.000 km. Hal ini menunjukkan pada Wayne bahwa ia sebenarnya tidak memiliki kewajiban hukum untuk memperbaiki kerusakan itu. Jangka waktu setelah penjualan maupun jarak yang sudah dilalui jauh melampaui batas garansi yang "wajar" untuk mobil dengan usia dan jarak tempuh seperti ini.

Perintah Hukum dan/atau Moral?

Meskipun Wayne merasa yakin ia tidak memiliki kewajiban hukum untuk membayar biaya perbaikan, keresahannya tentang masalah itu belum berakhir. Ia tahu bahwa legalitas dan moralitas bukanlah hal yang sama. Hukum biasanya menetapkan standar moral minimum masyarakat untuk melindungi orang-orang. Wayne teringat pada suatu kejadian yang diceritakan temannya baru-baru ini. Dewan Direksi perusahaan tertentu sedang rapat membicarakan sebuah proposal bisnis. Tanggapan awal yang dibahas adalah tentang legalitas proposal itu, yang segera menjadi jelas bahwa usulan itu tidak melanggar hukum. Namun kemudian seorang direktur berkata, "Memang legal, tetapi apakah itu benar?"

"Begitu pertanyaan itu diajukan," kata teman Wayne, "keheningan menyelimuti ruang rapat, karena kami semua tahu jawabannya adalah 'Tidak', bahkan sebelum kami sempat membahas alasannya."

Wayne tahu bahwa yang dikatakan hukum itu jelas tidak cukup. Tetapi, berpikir melampaui standar minimum hukum tidak selalu mudah. ​​Standar lebih tinggi apa yang harus dipatuhi sebuah perusahaan? Ada suatu masa di masyarakat Barat ketika prinsip-prinsip etika Kristen menjadi standar yang lebih tinggi yang diterima secara luas — jika tidak secara universal. Di Amerika, perusahaan J.C. Penney — jaringan toserba besar — ​​dikenal sebagai "Toserba Aturan Emas," dan dianggap tepat untuk membuat ketentuan layanan pelanggan yang didasarkan perintah-perintah Alkitab. Tak diragukan hal serupa berlaku (atau masih berlaku) di masyarakat yang diidentikkan dengan satu agama atau filsafat tertentu.

Namun seiring dengan makin sekulernya masyarakat Barat, pertimbangan agama menjadi tidak dapat diterima lagi sebagai dasar etika perusahaan. Padahal, tidak ada sumber panduan etika lain yang dapat diterima secara luas seperti yang pernah diterima etika alkitabiah saat itu. Secara umum ini berarti tidak ada sumber panduan etika selain yang hanya sekadar mematuhi hukum. Ini menjadi masalah bagi banyak sekolah bisnis ketika mereka hendak membicarakan etika. Karena ingin menegaskan status sekuler mereka dan menunjukkan bahwa mereka bebas dari keberpihakan atau campur tangan agama, mereka akhirnya seringkali mengabaikan moralitas dan nilai-nilai. Hasilnya adalah fokus yang sempit yang hanya berkutat di sekitar hal-hal yang legal saja. Diskusi di antara para direktur perusahaan di atas menunjukkan kepicikan sikap ini. Mereka semua tahu ada yang salah, tetapi mereka tidak punya cara untuk membicarakannya.

Perintah Yang Melampaui Hukum

Meskipun ada banyak kesulitan, pendekatan etika Kristen mencari perintah Allah yang akan mengatakan dengan jelas apa yang benar dan yang salah. Dalam beberapa hal, tidak sulit menemukan ayat-ayat Alkitab yang berbicara tentang masalah kerja dan ketenagakerjaan, misalnya. Dalam hal-hal lainnya, mungkin sangat sulit untuk mengidentifikasi, memahami, atau menerapkan ayat-ayat Alkitab dengan tepat. Bagaimana kita tahu aturan dan prinsip yang mana yang berlaku untuk situasi tertentu? Ada banyak sistem yang berbeda dalam menerapkan ayat Alkitab.

Jadi, dari mana Wayne mulai mencari jawaban atas persoalannya ini?

Aturan untuk Setiap Situasi?

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dalam kegalauannya, Wayne mencari pertolongan dari rak bukunya. Ia menemukan buku yang bisa jadi berisi hal yang ia cari — The Businessman’s Topical Bible. [1] Pandangan sekilas menunjukkan bahwa buku ini bisa menyelesaikan masalah. Buku ini mencari ayat Alkitab tertentu untuk memberi aturan yang berkaitan dengan masalah pekerjaan tertentu yang dihadapi.

Wayne meninjau halaman-halamannya. Di dalam buku itu, penulis Mike Murdock mencantumkan 1550 ayat Alkitab untuk “memberikan wawasan Allah tentang situasi dan kondisi yang dihadapi setiap hari di dunia bisnis saat ini.” Ayat-ayat ini dikelompokkan dalam beberapa bagian, seperti “Sikap Anda”, “Pekerjaan Anda”, “Jadwal Harian Anda”, “Keluarga Anda”, “Keuangan Anda”, “Pebisnis dan Integritas”, atau “Ketika Pelanggan Tidak Puas."
[2] Hampir 100 topik tercakup, yang meliputi berbagai situasi bisnis secara umum.

Saat membaca beberapa bagian, Wayne memerhatikan bahwa penulis tidak mencoba menjelaskan metode tertentu dalam membuat keputusan. Ia hanya mencantumkan ayat-ayat Alkitab yang ia pikir relevan dengan setiap situasi, tanpa penjelasan atau penafsiran apa pun. Implikasinya ayat-ayat itu langsung diterapkan dan menjelaskan-sendiri.

Wayne menemukan beberapa topik yang awalnya ia pikir bisa membantu mengatasi masalahnya:

  • “Ketika pelanggan tidak puas” yang mencantumkan ayat-ayat seperti 2 Timotius 2:24: “Seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia harus pandai mengajar, sabar” dan Lukas 6:35: “Kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan tanpa mengharapkan balasan apa pun. Upahmu akan besar.”

  • “Pebisnis dan Integritas,” yang mengutip Mazmur 112:5: “Bahagialah orang yang menaruh belas kasihan dan memberi pinjaman, yang melakukan urusannya dengan adil.”

  • “Pebisnis dan Negosiasi,” yang meliputi 2 Timotius 1:7: “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan penguasaan diri.”[3]

Setelah mempelajari lebih dalam, Wayne mendapati bahwa ayat-ayat Alkitab acak ini tidak banyak membantunya. 2 Timotius 2:24 tampaknya memberi nasihat yang bertentangan dengan 2 Timotius 1:7, dan bagaimanapun, 2 Timotius 1:7 berbicara tentang pengajaran, bukan tentang pembayaran kembali. Lukas 6:35 berbicara tentang musuh, bukan klien. Ayat-ayat ini tampaknya benar-benar tidak berlaku untuk situasi Wayne. Bahkan, salah satu masalah yang bisa timbul dari pendekatan semacam itu adalah, jika Alkitab dipandang sebagai "buku jawaban" atas semua situasi yang kita hadapi, kita bisa dengan mudah tergoda untuk mengambil ayat-ayat di luar konteksnya dan mengartikannya secara berbeda dari yang dimaksud penulis aslinya. (Ini sering disebut "proof-texting" – sekadar mencomot ayat Alkitab untuk mendukung suatu situasi tanpa memerhatikan konteks ayat keseluruhannya-Pen).

Ketika kita memulai dengan "masalah" dan mencari "jawaban," kita sebenarnya sedang menggunakan Kitab Suci secara terbalik. Risikonya adalah kita hanya mencomot ayat yang sesuai dengan rancangan yang telah kita tentukan sebelumnya dan mengabaikan semua hal lainnya, bukannya membiarkan Alkitab berbicara sendiri dan membiarkan tema-tema dan pesan-pesan yang sesuai membuktikan diri melalui pembacaan dan pembacaan-ulang ayat itu.

Sebagai contoh, ketika Wayne mempelajari lebih dalam bagian "Ketika pelanggan tidak puas," ia memerhatikan ayat Lukas 21:19: "Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu." Ketika ia membaca perikop ayat itu, ia menyadari bahwa ayat itu sama sekali tak ada hubungannya dengan pelanggan yang tidak puas dalam bisnis. Lukas sedang mengutip perkataan Yesus kepada para pengikut-Nya, yang memberitahukan apa yang harus mereka lakukan ketika mereka ditangkap dan dianiaya karena iman mereka! Ayat itu telah diambil di luar konteks, sama seperti banyak ayat lainnya di bagian-bagian yang dibaca Wayne.

Ada bahaya lain dari mencari aturan Alkitab untuk setiap situasi. Tindakan semacam itu bisa dengan mudah tergelincir ke dalam semacam reduksionisme dan legalisme. Kita hanya perlu mengingat para ahli Taurat dan orang-orang Farisi untuk mengetahui seperti apa hal ini. Dalam kerinduan mereka yang tulus untuk menaati Allah, mereka memerinci hukum menjadi serangkaian hal-hal khusus yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang pada akhirnya membutakan mereka tentang legalisme dan kesombongan mereka sendiri, alih-alih membantu mereka menaati Allah.

Jika ini terdengar seperti kritik keras terhadap para ahli Taurat dan orang Farisi, mari kita perhatikan secara singkat saja di sini bahwa hal yang mereka coba lakukan itu sebenarnya mengagumkan. Mereka adalah beberapa dari sedikit orang yang secara serius berusaha menerapkan iman dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk bisnis. Mereka menyadari bahwa iman bukan hanya tentang menjalankan ritual di bait suci dan menghadiri pertemuan-pertemuan di sinagoge. Mereka berusaha menentukan apa artinya menjadi saleh dalam setiap aspek kehidupan. Masalahnya adalah, satu-satunya cara yang mereka tahu untuk melakukan hal itu adalah dengan berusaha menetapkan aturan untuk setiap situasi. Dan ini menimbulkan ledakan aturan-aturan yang jauh melampaui yang sebenarnya dikatakan Kitab Suci, namun tetap saja gagal mencakup setiap situasi.

Sebagai contoh, ambillah kerinduan mereka untuk memenuhi perintah tentang memelihara hari Sabat. Dalam upaya memastikan seperti apa praktiknya tentang hal ini, mereka sama sekali telah mengabaikan dan kehilangan makna tentang hal itu, bahkan mencaci-maki Yesus karena berani menyembuhkan orang pada hari Sabat! Mereka menjadi tawanan dari aturan-aturan yang mereka buat sendiri, dan dengan berbuat demikian mereka justru menghalangi dan bukannya membantu orang mematuhi isi perintah itu.

Jadi, upaya untuk merumuskan buku aturan lengkap berdasarkan Kitab Suci yang akan membahas setiap persoalan etis yang mungkin kita hadapi dalam konteks pekerjaan kita merupakan pencarian yang sia-sia dan tak ada gunanya. Alkitab bukan saja tidak mencakup ribuan situasi yang terjadi di dunia bisnis, tetapi bahkan jika kita berusaha memaksanya untuk melakukannya, kita justru berisiko mengatakan hal-hal yang sebenarnya tak pernah dimaksudkan ... atau yang lebih buruk lagi, meremehkan Kitab Suci dan tidak memahami maksudnya sama sekali.

Namun, meskipun Alkitab tidak dapat dan tidak seharusnya diubah menjadi buku aturan yang komprehensif tentang etika kerja, Alkitab tetap berisi perintah/aturan yang penting dan relevan. Banyak perkataan dalam Kitab Suci yang jelas dan mudah diterapkan. Tidak setiap situasi yang kita hadapi di dunia kerja itu pelik. Dalam banyak kegiatan bisnis, tidak sulit untuk menemukan nasihat Alkitab. Jika Kitab Suci mengatakan (misalnya, Kolose 3:22) kita perlu bekerja sepenuh hati untuk tuan kita di bumi ("bos" atau majikan kita), maka kita harus melakukannya. Jika Alkitab memperingatkan kita terhadap kemalasan dan sikap tidak bertanggung jawab dalam mencari nafkah (misalnya, 2 Tesalonika 3:10-12), maka itulah yang seharusnya menjadi tujuan kita. Ketika Alkitab memerintahkan kita untuk menyelesaikan konflik dengan cara berbicara langsung dengan orang yang bermasalah dengan kita, ada pedoman yang perlu kita ikuti. Ketika Alkitab melarang kita untuk mencuri atau memfitnah orang lain, kita harus mematuhi perintah-perintah itu dengan tepat.

Prinsip Yang Lebih Besar?

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dengan rasa kecewa, Wayne menaruh kembali buku itu di tempatnya. Saat melakukannya, ia melihat judul lain yang menarik perhatiannya — Business By The Book.[32] Karena penasaran, ia mengambil buku itu dan langsung mendapati bahwa pendekatan penulis Larry Burkett adalah mengidentifikasi prinsip-prinsip dalam Alkitab. Yang dimaksud dengan "prinsip-prinsip" di sini adalah pengajaran yang lebih luas dan lebih umum daripada aturan-aturan, tetapi masih dalam bentuk perintah yang berasal dari Alkitab tentang hal yang benar yang perlu dilakukan.

Subjudul buku itu, tulis Wayne, adalah "The Complete Guide of Biblical Principles for Business Men and Women” (Panduan Lengkap Prinsip-prinsip Alkitab bagi Pria dan Wanita Pengusaha." Buku ini tampak menjanjikan. Jadi ia mulai membaca. Jelas bahwa Business by the Book berasumsi Allah telah menetapkan dalam prinsip-prinsip-Nya petunjuk etis yang diperlukan untuk "menjalankan bisnis dengan cara-Nya." Menurut Burkett, Alkitab berisi berbagai ketetapan, perintah, dan prinsip yang merupakan “rencana Allah bagi umat-Nya dalam bisnis.”[33]

Yang mendasar dari prinsip-prinsip ini adalah Sepuluh Perintah Allah — yang menurut Burkett merupakan standar minimum yang membedakan umat Allah dari orang-orang di sekitar mereka. Maka ada “standar minimum lain yang membedakan pengikut Allah dari orang lain di dunia bisnis.”[34]

Dalam hal ini, Burkett mengembangkan “enam standar minimun bisnis yang alkitabiah.” Yaitu:

  • Mencerminkan Kristus dalam perilaku-perilaku bisnis.

  • Bertanggung jawab.

  • Menyediakan produk berkualitas dengan harga yang wajar.

  • Menghormati para kreditor.

  • Memperlakukan karyawan dengan adil.

  • Memperlakukan klien dengan adil.

Aturan ini tidak terdapat di Alkitab, tetapi merupakan prinsip-prinsip yang diyakini Larry Burkett dapat disimpulkan langsung dari aturan-aturan dalam Alkitab. Maksudnya adalah agar aturan ini dapat mencakup lebih banyak situasi aktual yang terjadi di dunia kerja, karena aturan ini tidak sesempit aturan-aturan spesifik.

Apakah Ini Membantu Wayne?

Dua "standar minimum" tentang "menyediakan produk berkualitas dengan harga yang wajar" dan "memperlakukan klien dengan adil" jelas relevan dengan masalah Wayne. Namun, meskipun mengenal prinsip-prinsip ini baik, hal ini sebenarnya tidak membuat Wayne lebih dekat kepada yang harus ia lakukan. Ia masih bergumul untuk menentukan dengan tepat apa yang dalam kasus ini bisa menjadi perlakuan yang "adil" dan proses apa yang bisa ia gunakan untuk menentukan apa yang adil itu? Ia bisa setuju dengan dua prinsip Burkett itu — tetapi hal ini tidak membantunya melangkah lebih jauh. Masalah seperti ini umum atau biasa terjadi dalam metode-metode yang berbasis perintah. Jika perintah itu spesifik, perintah itu tidak dapat mencakup berbagai situasi yang terjadi di dunia. Jika peritah itu umum, perintah itu tidak dapat memberikan solusi aktual bagi masalah-masalah yang dicakupnya.

Namun, buku itu memberi saran untuk membicarakan dengan teman tentang apa yang dianggap adil dalam situasi ini. Menurut Wayne saran ini merupakan hal yang baik untuk dilakukan. Ia suka dengan gagasan mengembangkan lingkungan yang lebih komunal untuk membantunya memperoleh perspektif tentang masalahnya. Melakukan hal ini berlawanan dengan sifat individualisme yang kuat yang kita semua hadapi, dan juga mengakui bahwa banyak tantangan etis yang rumit dan membutuhkan orang lain yang berpikiran tajam untuk memberikan perspektif dan dukungan.

Wayne kurang tertarik dengan yang dianggapnya sebagai pendekatan yang sangat preskriptif dalam menggunakan Alkitab. Pendekatan itu tampaknya mereduksi Kitab Suci menjadi serangkaian prinsip dan aturan yang mudah dipahami - seperti buku petunjuk tentang “cara melakukan sesuatu.” Meskipun menggembirakan melihat pendekatan Business by the Book menanggapi serius tantangan agar iman kita memengaruhi dunia bisnis secara praktis, yang disayangkan pendekatan itu dibangun di sekitar prinsip-prinsip yang dipilih secara terbatas berdasarkan perspektif tertentu Burkett. Oleh karena itu, seperti banyak usaha lain yang serupa yang meringkas pendekatan Alkitab tentang bisnis, pendekatan itu memberi wawasan yang berguna dalam beberapa hal, tetapi juga menjanjikan lebih dari yang dapat direalisasikannya.

Satu Prinsip atau Perintah?

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Wayne masih bergumul dengan masalahnya. Ia kembali ke rak bukunya untuk melihat apa lagi yang bisa membantunya. Buku John Maxwell, There’s No Such Thing as “Business” Ethics langsung menarik perhatiannya.

John Maxwell berpikir, kita telah membuat pengambilan-keputusan Kristen menjadi jauh lebih rumit. Ia percaya bahwa semua perintah moral Alkitab pada dasarnya dapat direduksi menjadi satu perintah yang menyeluruh saja. Menurut Maxwell, tidak ada yang namanya etika bisnis: hanya ada satu aturan dalam membuat keputusan.[1] Dan itu adalah “Aturan Emas” yang disampaikan Yesus dalam Kotbah di Bukit - “Perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan; karena itulah seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 7:12).

Pedoman ini (“Bagaimana saya ingin diperlakukan dalam situasi ini?”) harus mengatur semua pengambilan keputusan etis.[2] Sederhana tetapi tidak mudah adalah cara Maxwell menjelaskan aturan ini. Namun, ia mengakui bahwa untuk menjelaskan aturan ini diperlukan sejumlah prinsip lain seperti:

  • Memperlakukan orang lain lebih baik daripada mereka memperlakukan Anda.

  • Berjalanlah sejauh dua mil.

  • Menolong orang yang tidak dapat menolong Anda.

  • Melakukan yang benar ketika melakukan yang salah itu wajar.

  • Menepati janji sekalipun hal itu menyakitkan.

Meskipun ia tidak mengutip Alkitab secara eksplisit, pendekatan Maxwell jelas berasal dari Matius 7:12. [3] Selama dua abad terakhir, perkataan ini sudah dikenal sebagai Aturan Emas [4] dan Maxwell memerhatikan inti ajaran ini juga ada di dalam agama dan budaya lain. Jadi prinsip ini merupakan prinsip yang dapat dihargai orang Kristen maupun orang non-Kristen.

Beberapa prinsip-penjelas yang disebutkan Maxwell juga jelas didasarkan pada bagian-bagian lain pengajaran Yesus dalam Kotbah di Bukit. Contohnya, "Memperlakukan orang lain lebih baik daripada mereka memperlakukan Anda" tampaknya merupakan implikasi logis dari Matius 5:43-48, dan "Berjalanlah sejauh dua mil" jelas merujuk ke ayat Matius 5:41.

Satu hal yang membuat Wayne tertarik memakai Aturan Emas dalam pendekatan etika bisnis adalah karena pendekatan ini didasarkan pada ajaran Yesus. Mengingat kita sering bersalah karena menghindari Yesus dan etika-Nya, hal ini menyegarkan.

Bagaimana Hal Ini Membantu Wayne Menyelesaikan Masalahnya?

Aturan Emas tentu saja merupakan prinsip-penjelas yang sangat berguna bagi Wayne. Aturan ini membuatnya berpikir, "Bagaimana saya ingin diperlakukan jika saya berada dalam posisi klien saya?" Dan prinsip-prinsip terkait seperti "memperlakukan orang lain lebih baik daripada mereka memperlakukan Anda" dan "berjalanlah sejauh dua mil" benar-benar menantang Wayne untuk bertindak melampaui yang secara hukum diharapkan darinya. Tetapi pendekatan Maxwell masih kurang membantu Wayne dalam menentukan secara spesifik tentang langkah tanggung jawabnya.

Tak ada keraguan bahwa Aturan Emas adalah inti dari ajaran etika Yesus. Kesederhanaan meninggikan satu prinsip jelas menarik dan berguna dalam beberapa hal, tetapi juga menunjukkan sikap terlalu menyederhanakan dan bisa menyesatkan dalam hal lain. Kebutuhan Maxwell untuk melengkapi dengan aturan-aturan yang memenuhi syarat lainnya menunjukkan bahwa hal ini benar.

Beberapa asumsi mendasar Maxwell juga dipertanyakan, seperti keyakinannya bahwa perilaku etis itu menguntungkan (setidaknya dalam jangka panjang). Tak ada bukti yang meyakinkan bahwa ini benar. [5] Bahkan, seperti dikatakan Scott Rae dan Kenman Wong, jika hal itu selalu (kebanyakan) benar:

…tidak akan diperlukan buku-buku atau kursus-kursus tentang etika bisnis, karena hampir semua orang akan melakukan perilaku moral yang baik karena prospek imbalan finansial.[6]

Ada keterbatasan lain pada pendekatan Maxwell. Pendekatan ini berasumsi hanya ada dua pihak yang terlibat dalam keputusan (orang yang membuat keputusan dan orang yang dipengaruhi oleh keputusan itu). Selama keputusan itu menguntungkan kedua orang ini, menurut Aturan Emas itu yang terbaik. Wayne menyadari bahwa dalam situasi khususnya saat ini, hal itu sebagian besar benar. Namun, pikirannya menerawang kepada banyak keputusan lain yang harus ia buat, yang secara tidak langsung akan memengaruhi orang lain dan/atau juga lingkungannya.

Sebagai contoh, belum lama ini Wayne menjual kendaraan besar dengan penggerak empat roda. Ia merasa sudah menerapkan Aturan Emas pada kliennya (memperlakukannya dengan hormat, memberinya tawaran terbaik yang bisa ia berikan, mengungkapkan semua informasi yang sesuai, dll). Tetapi dalam penjualan itu, satu hal yang tidak ia pertimbangkan adalah masalah yang lebih luas tentang seberapa besar dampak kendaraan itu, dengan pemakaian bahan bakarnya yang tinggi, terhadap lingkungan.

Tiga Prinsip Penyeimbang

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Wayne hampir kehabisan buku. Namun, ketika ia melirik ke rak bukunya lagi, ia melihat buku Just Business tulisan Alexander Hill.[1] Hill, seorang profesor bisnis dan ekonomi, dalam buku ini mencoba menemukan jalan tengah antara pendekatan satu-aturan yang sederhana dan pendekatan dengan banyak aturan lain yang lebih rumit.

Poin utamanya adalah etika bisnis Kristen seharusnya tidak dibangun di atas aturan-aturan, tetapi di atas karakter Allah yang tidak berubah. Saat kita mempelajari dan mengamati karakter Allah, kita dapat belajar untuk meniru Allah. “Perilaku yang sesuai dengan karakter Allah itu etis — yang tidak sesuai berarti tidak etis.”[2]

Oleh karena itu, kita dipanggil untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang menolong kita meniru karakter Allah. Tidak banyak dari kita yang akan membantah hal itu, tetapi pertanyaan besarnya adalah… lalu seperti apakah Allah itu? Jawaban Hill adalah tiga karakteristik sifat Allah yang paling sering ditekankan dalam Alkitab, yaitu:

  • Kekudusan

  • Keadilan

  • Kasih

Secara lebih spesifik, ia mendefinisikan ciri-ciri sifat ini sebagai berikut:

Kekudusan

Mengejar kekudusan berarti memiliki fokus tujuan yang tak teralihkan untuk menjadikan Allah sebagai prioritas tertinggi. Ini berarti menganggap semua hal lainnya sebagai kepentingan yang lebih rendah — hal-hal seperti harta benda, tujuan karier, dan bahkan relasi-relasi pribadi. Mengejar kekudusan mencakup semangat, kemurnian, akuntabilitas, dan kerendahan hati.

Keadilan

“Keadilan membawa ketertiban pada relasi-relasi manusia dengan menetapkan seperangkat hak dan kewajiban timbal balik bagi orang-orang yang hidup dalam konteks komunitas.”[3] Dua hak pribadi yang mendasar adalah hak untuk diperlakukan secara bermartabat dan hak menjalankan kehendak bebas. Kewajiban atau tanggung jawab (yang sebenarnya merupakan sisi lain dari mata uang keadilan) menuntut kita memperlakukan orang lain dengan cara yang memberikan hak-hak ini kepada mereka. Hak dan kewajiban berada dalam ketegangan, menjadi penyeimbang yang diperlukan satu sama lain. Sebagai contoh, hak pekerja untuk mendapat upah yang layak berarti pemberi kerja memiliki kewajiban untuk membayar pekerja dengan adil. Dan ini juga mewajibkan pekerja untuk bekerja dengan rajin untuk mendapatkan upahnya. Keadilan berlaku di kedua sisi.

Kasih

Hill mengakui bahwa kasih pada umumnya dipandang sebagai kebajikan utama.[4] Tetapi kasih perlu dimoderasi oleh dua karakteristik lainnya. Kontribusi utama kasih pada gabungan kekudusan-keadilan-kasih adalah penekanannya pada relasi melalui empati, belas kasih, dan pengorbanan diri. Kasih menciptakan ikatan di antara manusia, dan sebaliknya, perusakan ikatan ini menimbulkan penderitaan.

Bangku Berkaki Tiga

Jadi, pandangan Hill adalah "tindakan bisnis itu etis jika mencerminkan karakter Allah yang kudus, adil, dan kasih."[5] (Tidak ada makna khusus dalam pengurutan ketiga karakteristik ini. Bahkan, ketiganya saling terkait sepenuhnya dengan satu sama lain). Gambaran yang digunakan Hill untuk menjelaskan hal ini adalah bangku berkaki tiga. Jika kita hendak menjalankan bisnis secara alkitabiah, ketiga (kaki) aspek itu harus diperhitungkan secara konsisten; jika tidak, kita akan memiliki bangku yang sangat tidak seimbang.

Sebagai contoh, jika kekudusan terlalu ditekankan dengan mengesampingkan kasih dan keadilan, maka hasilnya adalah legalisme, suka menghakimi, merasa benar sendiri, dan menarik diri dari masyarakat.

Jika keadilan mendominasi, maka hasil yang tidak menyenangkan, emosi yang dingin, dan hukuman adalah kemungkinan yang akan terjadi.

Jika kasih menjadi satu-satunya ukuran utama, segala sesuatu bisa dengan mudah tergelincir ke dalam sikap permisif dan pilih kasih, karena tidak ada kompas moral yang mengarahkan kita ke batas-batas yang diperlukan kasih.

Alexander Hill mengecam segala upaya mereduksi Kitab Suci menjadi kitab aturan yang dapat diterapkan pada situasi spesifik.[6] Ia juga sangat menyadari kerumitan tentang dunia bisnis. (Ini merupakan hal yang dihargai Wayne).

Meskipun pendekatan Hill dibangun di atas tiga prinsip (perintah-perintah umum yang disimpulkan dari sifat-sifat Allah), ia juga sering memikirkan konsekuensi-konsekuensi — khususnya dalam menentukan apakah keadilan telah ditegakkan.

Bagaimana Wayne Terbantu oleh Pendekatan Ini?

Wayne bergumul untuk bisa memahami dengan tepat seperti apa kekudusan itu dalam situasinya ini, dan ia mendapati prinsip keadilan dan kasih yang seimbang sangat menolong. Hak dan kewajiban tertentu apa yang ada dalam relasinya sebagai penjual dengan kliennya? Dan respons terhadap permintaan klien yang bagaimana yang adil bagi kedua pihak? Wayne memutuskan bahwa ia mungkin memiliki kewajiban untuk berkontribusi pada biaya perbaikan itu — meskipun ia berpikir klien itu juga memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi. Keadilan berlaku dua arah — bersikap adil terhadap klien maupun penjual.

Mengingat Wayne sejak awal sudah memberi harga yang sangat murah kepada kliennya untuk mobil itu — dengan marjin keuntungan yang kecil — ia merasa tidak adil jika diharapkan membayar seluruh biaya perbaikan. Namun, prinsip kasih membuatnya juga memikirkan dengan saksama pertanyaan, "Apa artinya mengasihi orang ini bagi saya?" Sekali lagi, meskipun tidak ada hasil jawaban yang pasti, Wayne terdorong untuk memikirkan situasi keuangan kliennya. Apa dampak yang akan ditimbulkan tagihan biaya perbaikan yang cukup besar bagi klien tertentu ini?

Beberapa Tanggapan Umum

Salah satu kekuatan besar pendekatan Hill adalah kejelasan yang diberikannya saat memikirkan masalah-masalah etis yang lebih kompleks tanpa terlalu menyederhanakannya. Bangku kekudusan-keadilan-kasih jauh lebih seimbang daripada satu-prinsip Aturan Emas, dan jauh lebih praktis daripada pendekatan multi-aturan yang sudah kita bahas sebelumnya.

Keterbatasan utama dari bangku berkaki tiga adalah kita masih dihadapkan pada tantangan untuk menentukan dengan tepat apa itu kudus, adil, dan kasih bagi pihak-pihak yang dipengaruhi. Dan apa yang Anda lakukan, misalnya, saat keadilan berbenturan dengan kasih? Mana yang diprioritaskan?

Meskipun demikian, Wayne mulai merasa mengalami kemajuan. Mencapai suatu keputusan jelas tidak selalu mudah, tetapi bangku berkaki tiga Hill khususnya telah memberinya sesuatu untuk dilakukan. Jelas bahwa pendekatan etika apa pun yang kita adopsi, mengenali dan menyeimbangkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang relevan adalah hal yang penting. Tetapi selain itu, kita juga harus berusaha memperhitungkan konsekuensi dari berbagai tindakan untuk mengetahui keputusan yang mana yang mendatangkan hasil yang paling mengasihi, adil, dan kudus.

Pendekatan Konsekuensi

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sampai saat ini, Wayne masih bertanya, "Apa aturan-aturan yang harus saya patuhi?" — dan mencari aturan-aturan atau prinsip-prinsip dari Alkitab.

Namun Wayne juga memakai cara lain dengan pendekatan yang mengevaluasi opsi mana yang akan mendatangkan hasil terbaik. Dengan kata lain, jika Wayne menelaah kemungkinan konsekuensi dari setiap respons dan membandingkan hasil-hasil yang mungkin itu, ia kemungkinan dapat menentukan berdasarkan hasil yang ideal. Di dalam pendekatan ini, Wayne berhenti mencari aturan-aturan yang menunjukkan apa yang harus dilakukan di setiap langkah, dan hanya akan melakukan apa saja yang diperlukan untuk mencapai hasil yang tepat.

Pendekatan yang memperhitungkan konsekuensi dan membandingkan hasilnya ini sering dikenal sebagai "konsekuensialisme" atau "etika teleologi" — dari kata Yunani telos, yang berarti "akhir." Tidak seperti pendekatan perintah (yang opsi terbaiknya ditentukan oleh apakah tindakan itu sesuai dengan aturan yang berlaku), pendekatan konsekuensi ditentukan oleh hasilnya. Hasil akhirlah yang menentukan tindakan apa yang paling bermoral.

Alkitab dan Konsekuensi

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Karena begitu banyak orang yang menganggap Alkitab sebagai buku aturan, dan memikirkan etika dalam arti Sepuluh Perintah Allah, mungkin mengejutkan mendapati betapa sering Kitab Suci sendiri mendorong pembacanya untuk memikirkan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan mereka dan membiarkan hal ini memengaruhi pengambilan keputusan mereka.

Kitab Amsal berulang kali melakukan hal ini. Kitab ini berisi banyak peringatan dan janji — pepatah-pepatah sarat makna yang memaparkan kemungkinan hasil dari tindakan tertentu. Sebagai contoh, Amsal 14:14 berkata, "Orang yang murtad hatinya akan kenyang dengan langkah-langkahnya, dan orang yang baik dengan apa yang ada padanya."[1]

Yesus juga memperingatkan para pendengar-Nya untuk menimbang dengan hati-hati konsekuensi dari setiap keputusan mereka. Bahkan, dalam satu hal, seluruh hidup dan pelayanan Yesus dapat dipandang sebagai contoh nyata tentang membuat keputusan untuk kebaikan yang lebih besar. Ucapan Bahagia-Nya menunjukkan aspek konsekuensi yang tersirat — jika kamu ingin "dipuaskan," maka haus dan laparlah akan kebenaran, dst. (Matius 5:6). Begitu pula dengan banyak pesan Kotbah di Bukit lainnya, seperti:
Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga. (Matius 5:16)
Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pengawal dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. (Matius 5:25)
Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. (Matius 6:3-4)
Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu. (Matius 6:15)

Mengukur Yang Baik

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Memikirkan konsekuensi seharusnya menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan kita. Namun, seperti ditemukan Wayne, konsekuensialisme menimbulkan empat pertanyaan pelik. Yaitu:

  1. Apa yang baik? (Bagaimana kita menentukan apa yang baik? Sebagai contoh, baik itu agaknya lebih dari sekadar membuat klien - atau Wayne - lebih baik secara finansial)

  2. Baik untuk siapa? (Siapa sebenarnya yang diuntungkan dari keputusan ini?)

  3. Dapatkah kebaikan dihitung? (Dapatkah kita memperkirakan sepenuhnya apa yang akan dihasilkan dan yang baik dalam situasi tertentu?)

  4. Baik dalam konteks apa? (Dapatkah yang baik di satu konteks buruk di konteks lain?)

Apa Yang Baik?
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Definisi kita tentang apa yang baik sangat penting. Pandangan konsekuensialis yang paling terkenal menentukan kebahagiaan atau kesenangan sebagai kebaikan tertinggi. Versi etika konsekuensialis ini disebut "Utilitarianisme." Apa pun yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi sebagian terbesar manusia adalah baik. Kebahagiaan dipandang sebagai tujuan hidup utama (dan dengan demikian implikasinya rasa sakit harus diminimalkan atau dihindari dalam segala situasi).

Tetapi di dalam Alkitab kebahagiaan tidak dipandang sebagai kebaikan tertinggi. Bahkan ketika kebahagiaan menjadi pusat perhatian dalam Alkitab, kebahagiaan itu cenderung didefinisikan-ulang secara sangat berbeda dari pemahaman budaya kita. Sebagai contoh, Yesus membuat kita berpikir terbalik dalam Ucapan Bahagia-Nya. Dia menyatakan bahwa situasi-situasi yang bisa membuat kita merasa dirugikan atau sedih justru dapat menjadi situasi yang membuat kita diberkati atau bahagia!

Jadi, bagaimana kita menentukan yang baik secara alkitabiah? Apa yang dianggap baik dalam Alkitab? Keadaan dunia sebelum Kejatuhan di Kejadian 3 dinyatakan “baik” dan “sangat baik” oleh Allah (Kejadian 1:4, 9, 12, 18, 21, 25, 32 dan 2:18-24). Keadaan ini dipulihkan dan diperluas ketika Kristus datang kembali dan memulai langit baru/bumi baru di Wahyu 21-22. Sejarah Israel; kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus; dan pemeliharaan Allah bagi komunitas Kristen semuanya merupakan tujuan utama pemulihan keadaan ini. Dan unsur-unsur keadaan ini dijelaskan di dalam banyak ayat Alkitab, seperti yang berikut ini:

Manusia hidup dalam relasi yang menyenangkan dengan Allah dan orang lain. (Kejadian 2:19-25)
Manusia melakukan pekerjaan yang menyenangkan dan menyediakan kebutuhan hidup bagi semua orang. (Kejadian 2:7-9)
Manusia memiliki kedudukan yang sama di dalam masyarakat tanpa diskriminasi ras, kesenjangan ekonomi atau gender. (Galatia 3:23)
Tidak ada sakit-penyakit. (Wahyu 21:4; 22:2)
Masyarakat hidup dalam damai dan sejahtera. (Mikha 4:3-4)

Meskipun kebahagiaan tampaknya jauh lebih memungkinkan di dunia seperti itu daripada di dunia yang rusak seperti yang kita jumpai di sekitar kita, tujuan utama Tuhan bukanlah membuat kita bahagia. Tujuan-Nya adalah membuat kita utuh seperti mula-mula kita diciptakan. Perjanjian Baru menunjukkan dengan jelas bahwa menerima penderitaan dan kesakitan sering menjadi jalan menuju keutuhan — bagi kita sendiri, maupun orang-orang yang ditolong melalui penderitaan kita. [1]

Pilihan Yesus untuk tunduk pada jalan Salib adalah teladan kita. Dia mengorbankan diri-Nya demi membawa pembebasan dan kehidupan bagi orang lain: "Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Matius 20:28). [2]

Baik untuk Siapa?
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Persoalan dalam etika konsekuensialis adalah menentukan konsekuensi siapa yang harus dioptimalkan.

Kepentingan Pribadi

Ada orang-orang yang memakai kepentingan pribadi sebagai tolok ukur. Mereka memakai pendekatan bahwa, jika suatu keputusan mendatangkan kebaikan bagi mereka, maka itu adalah pilihan terbaik. Aliran pemikiran ini dikenal sebagai “egoisme etis”.

Anda tidak terkesan dengan pemikiran ini? Ehm, sebelum Anda menganggapnya salah sama sekali, pikirkan lebih lanjut masalah Wayne. Kepentingan pribadi tidak selalu berarti bertindak dari perspektif yang sepenuhnya egois. Wayne bisa saja memilih memperbaiki kerusakan mobil kliennya karena kepentingan pribadi. Ia bisa saja memutuskan bahwa reputasi dan kapasitas jangka panjangnya untuk mendapatkan bisnis baru tergantung pada memenuhi ekspektasi-ekspektasi klien.

Jadi, yang tampak dari luar sebagai respons yang tanpa pamrih seringkali bisa jadi didorong oleh kepentingan pribadi. Dan ini tidak selalu buruk atau salah. Ini bahkan sering membawa hasil positif. Kita mungkin berkata, "Yang baik bagi saya seringkali akan baik bagi semua orang." Ekonom dan ahli filsafat Adam Smith (yang sering dikenal sebagai Bapak Kapitalisme Modern) berpendapat seperti ini ketika ia berbicara tentang orang-orang yang berkecimpung dalam bisnis:

Dengan mengejar kepentingannya sendiri, ia sering lebih efektif dalam memajukan masyarakat daripada ketika ia benar-benar berniat memajukannya. Saya tidak pernah melihat banyak kebaikan dilakukan oleh orang yang berpura-pura berdagang untuk kepentingan umum.[1]

Saat ini hal ini mungkin dianggap agak terlalu optimis dan naif. (Bahkan negara-negara yang paling kapitalis pun telah menambahkan banyak sekali undang-undang untuk melindungi pelanggan dan konsumen).

Kebaikan Yang Lebih Besar

Kelompok kedua yang lebih substansial mengatakan bahwa konsekuensi bisa menentukan keputusan etis kita dengan memakai kebaikan yang lebih besar sebagai tolok ukur. Kelompok ini memakai pendekatan bahwa keputusan terbaik adalah yang akan menghasilkan kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Seperti telah kita ketahui, Utilitarianisme berusaha memaksimalkan kebaikan (kebahagiaan) bagi sejumlah terbesar manusia. Suatu tindakan tidak baik jika membuat sedikit orang sangat bahagia tetapi tidak membawa manfaat apa-apa — atau bahkan memperburuk banyak hal — bagi banyak orang. Sebaliknya, suatu tindakan dinilai baik jika membuat banyak orang bahagia dengan tidak membahagiakan sedikit orang.

Namun, kita harus berhati-hati saat membuat keputusan yang didasarkan pada kebaikan mayoritas namun berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif atau membahayakan yang minoritas — apalagi jika yang minoritas itu kelompok yang terpinggirkan dan hampir tak punya kekuatan. Dengan ketentuan yang semacam “tujuan-membenarkan-cara”, segala kejahatan bisa ditoleransi.[2]

Alkitab secara konsisten memanggil umat Allah untuk membela dan melindungi orang miskin dan yang terpinggirkan. Sesungguhnya, para nabi secara teratur menantang umat Allah untuk memerhatikan orang yang paling lemah, bahkan menyatakan bahwa kesehatan masyarakat diukur dari cara mereka memperlakukan "yatim piatu, janda, dan orang asing" (tiga kelompok terpinggirkan yang signifikan).

Namun, janganlah juga kita beranggapan bahwa tujuan tidak pernah membenarkan cara. Ada pilihan-pilihan sulit yang harus dibuat ketika alternatifnya benar-benar tidak ada yang baik atau benar. Dalam kasus-kasus seperti itu, pembuat keputusan hanya dihadapkan pada pilihan yang buruk dengan level-level yang berbeda (relatif). Teori perang disebut "teori perang yang adil" adalah salah satu contoh cara para ahli etika berusaha memberi panduan dalam situasi semacam itu.[3] Suatu pilihan terkadang membawa penderitaan bagi orang lain. Namun, betapapun penderitaan itu tak terelakkan, pilihan itu harus dilakukan dengan belas kasih dan kerendahan hati yang tulus.

Apa Artinya Ini bagi Wayne?

Mencoba memikirkan konsekuensi dari keputusannya sebenarnya jauh lebih mudah bagi Wayne dalam situasi khusus ini daripada dalam banyak kasus lainnya. Ini karena, sebagaimana didapati Wayne, hanya ada dua pihak yang benar-benar akan dipengaruhi oleh keputusannya — dirinya dan kliennya. Tidak seperti banyak keputusan lain yang ia hadapi sebagai pedagang mobil yang melibatkan berbagai konsekuensi yang tak dapat dijelaskan terkait dampaknya pada masalah lingkungan, sosial, dan komunitas, pilihan ini agak lebih sederhana. Kebaikan apa yang akan dihasilkan dari keputusan untuk membayar, atau setidaknya berkontribusi dalam biaya perbaikan? Jawabannya adalah ia akan memiliki klien yang puas dan mungkin terhindar dari kesulitan ekonomi yang tidak perlu. Ini bisa menjadi kebaikan yang lebih besar daripada tidak mau membayar dan mendapat keuntungan pribadi sebagai hasilnya.

Dapatkah Kebaikan Dihitung?
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Konsekuensi bisa sulit diukur dan dihitung; bahkan kadang mustahil dilakukan. Dalam beberapa hal, kita mengetahui konsekuensi itu, tetapi tidak punya cara untuk mengukurnya. Apakah Anda akan lebih bahagia jika mendapat pekerjaan yang Anda sukai ataukah yang menghasilkan banyak uang? Dalam hal-hal lain, kita bahkan tidak mengetahui semua konsekuensi dari keputusan kita. Seringkali ada orang atau lingkungan terdampak yang tidak kita perhitungkan. Kadang bahkan tidak ada cara untuk mengetahui sebelumnya.

Dalam banyak hal, Alkitab membantu kita menyadari keterbatasan kita sendiri dan perspektif kita yang sangat terbatas. Sebaliknya, Allah itu mahatahu dan mahabijaksana. Maka ketika manusia bertanggung jawab atas tindakannya dan diharapkan memikirkan baik-baik konsekuensinya, diperlukan kerendahan hati dan ketergantungan pada satu-satunya Pribadi yang mengetahui segala sesuatu.

Kita sering benar-benar tidak memiliki cara untuk mengetahui konsekuensi yang akan dihasilkan tindakan kita, atau bahkan untuk menilai/mengukur yang baik. Karena itu, meskipun memikirkan konsekuensi merupakan hal yang penting dalam membuat keputusan, satu pendekatan ini saja tidak cukup dalam melakukan tindakan etis. Setidaknya, perintah dan konsekuensi perlu sama-sama dipertimbangkan. Perintah sering berfungsi mengarahkan kita kepada tindakan yang secara logis dapat diharapkan mendatangkan hasil yang baik, selain dari fakta bahwa tindakan itu sendiri pada dasarnya baik. Sebagai contoh, perintah "Jangan Berdusta" sangat mungkin menghasilkan konsekuensi yang lebih baik daripada sebaliknya, apalagi dalam situasi pelik yang sulit memprediksi konsekuensi dari berdusta, bahkan dusta "putih" yang niatnya baik. Pada saat yang sama, memikirkan konsekuensi sering membantu kita menentukan aturan mana yang berlaku dalam situasi yang mana. "Jangan Membunuh" berlaku dalam segala situasi karena konsekuensinya adalah kematian, yang tidak dapat dibatalkan oleh kekuatan manusia. Tetapi “Menghormati Hari Sabat” tidak berlaku dalam situasi yang menghalangi Anda menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat, karena konsekuensi dari kesakitan dan penderitaan bertentangan dengan pemulihan dunia kepada keadaan yang dimaksudkan Allah (Lukas 13:10-16, Yohanes 5:1-9).

Baik dalam Konteks Apa?
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Konteks etika itu penting. Kadang karena tindakan bisa diartikan berbeda di antara orang dari budaya yang berbeda. Kadang karena situasi orang berbeda-beda.

Salah satu contoh yang paling terkenal di Alkitab ditemukan dalam surat Paulus yang pertama kepada jemaat Korintus, pasal 8, ketika ia membahas keputusan-keputusan etis yang muncul tentang memakan makanan yang dipersembahkan kepada berhala. Masalah utamanya adalah, kata Paulus, perilaku kita akan memengaruhi "orang-orang percaya yang lemah." Dalam hal ini, Paulus lebih mengutamakan kasih dan kepentingan orang lain di atas kebebasannya sendiri untuk melakukan yang ia rasa pantas. Pertanyaannya bukan hanya, "Apakah itu benar?" tetapi juga, "Apa hasil yang akan ditimbulkannya?" Hal yang ia rasa bebas ia lakukan dalam satu situasi, tidak ia pilih untuk ia lakukan dalam situasi lain yang bisa menimbulkan kegusaran atau masalah. Paulus menentukan ketepatan atau kebijaksanaan tindakan itu berdasarkan konsekuensi dalam konteks tertentu ini.

Ini tidak sama dengan relativisme moral. Mengakui bahwa nilai-nilai kristiani perlu diterjemahkan secara kontekstual, karena apa yang baik dalam satu situasi belum tentu baik dalam situasi lain, sangat berbeda dengan relativisme total yang menjadi ciri budaya kita, di mana tidak ada standar kebenaran atau moralitas yang absolut. Sebagai contoh, perintah untuk jangan berdusta adalah standar absolut. Tetapi standar itu berlaku secara berbeda dalam konteks yang berbeda: "Apakah Anda sudah membayar untuk hal ini?" memerlukan proses penerapan prinsip yang berbeda dari, "Apakah kemeja ini terlihat bagus untuk saya?"

Semakin lama masyarakat tempat kita tinggal semakin multikultural. Kita bisa menghadapi banyak situasi di mana konteks menantang kita untuk mengubah tindakan kita. Sebagai contoh, jika Anda pemberi kerja, bagaimana Anda menentukan cuti berkabung ketika beberapa staf Anda berasal dari latar belakang etnis yang secara budaya sangat penting bagi mereka untuk mengambil cuti beberapa hari, beberapa kali dalam setahun, untuk menghadiri pemakaman kerabat dan teman?

Atau anggaplah Anda seorang penghasil tenda dan Anda memutuskan untuk membuat tenda di bagian dunia yang jauh lebih miskin karena biayanya jauh lebih murah. Bagaimana Anda menentukan bayaran yang tepat untuk para karyawan Anda?

Masalah konteks melampaui masalah lintas budaya. Masalah ini juga merupakan faktor yang menentukan apakah perlu memperlakukan orang secara berbeda karena situasi mereka. Sebagai contoh, seorang dokter mungkin mengenakan tarif yang berbeda berdasarkan pendapatan pasien. Seorang pedagang mobil mungkin mempertimbangkan situasi ekonomi seseorang saat menegosiasikan harga, seperti yang dilakukan Flow Automotive ketika mereka menyadari bahwa orang miskin cenderung membayar lebih mahal untuk mobilnya karena mereka cenderung kurang terlatih dalam bernegosiasi.

Bagaimana Masalah Kontekstual Memengaruhi Pengambilan Keputusan Wayne?

Ketika Wayne mulai memikirkan bagaimana situasi-situasi tertentu ini memengaruhi tindakan yang mungkin dilakukan, ia mendapati dirinya berusaha memahami dan mengantisipasi sejumlah hal.

Kita sudah menyebutkan pertanyaan tentang situasi keuangan kliennya. Jika Wayne menolak membayar biaya perbaikan, atau hanya berkontribusi sebagian, apa dampak finansial yang mungkin dialami klien itu dan keluarganya? Apakah hal itu mungkin akan membuat stres? Wayne menganggap hal ini perlu dipertimbangkan. Bahkan, baginya, hal ini merupakan bagian dari pertanyaan yang lebih luas tentang kasih dan keadilan.

Bagaimana jika Wayne tahu bahwa klien itu murah hati dan tidak itung-itungan dalam hal waktu dan uangnya sendiri — suka melayani orang lain dan sungguh-sungguh ingin membuat perbedaan di dunia? Jika demikian, Wayne mungkin akan merasa lebih mantap untuk berlaku murah hati padanya.

Pada saat yang sama, Wayne tahu ia juga harus mempertimbangkan kemampuan membayarnya sendiri, serta dampaknya bagi dirinya dan keluarganya jika pada akhirnya ia hanya mendapat sedikit atau sama sekali tidak mendapat keuntungan dari penjualan ini.

Ada sudut pandang lain. Haruskah Wayne memikirkan baik-baik preseden yang sedang ia ciptakan? Jika ia bersikap lunak, apakah klien-klien lainnya juga akan datang padanya untuk meminta bantuan? Wayne tersenyum masam memikirkan kemungkinan itu. Tetapi, bagi dirinya secara pribadi, itu bukan masalah besar. Faktor-faktor lain yang telah ia pertimbangkan, sejauh yang ia ketahui, jauh lebih penting. Ia tidak keberatan jika mendapat reputasi sebagai "orang yang lembek," selama ia puas dengan kesesuaian pilihannya.

Hal ini membuat Wayne berpikir tentang bagaimana karakternya dibentuk untuk membuat pilihan moral.

Jika Anda datang ke sini dari artikel Presentasi Etika Sistematis, klik di sini untuk kembali ke awal Presentasi Sistematis. Jika tidak, silakan lanjutkan membaca yang berikut ini.

Pendekatan Karakter

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dua pendekatan utama dalam pengambilan keputusan yang digunakan Wayne untuk menganalisis masalah penjualan mobilnya sejauh ini — pendekatan perintah dan konsekuensi — berkaitan dengan moralitas tindakan/pilihan itu sendiri. Namun, ada cara lain untuk memikirkan pilihan etis — yang tidak berfokus pada tindakan, tetapi pada orang yang membuat keputusan. Ini sering disebut etika "kebajikan" atau "karakter", karena perhatian utamanya pada karakter orang yang melakukan tindakan.

Alih-alih bertanya, "Apa yang benar?" atau "Apa yang akan mendatangkan hasil terbaik?" pendekatan kebajikan bertanya, "Akan menjadi orang seperti apakah saya?" Asumsinya, jika karakter Anda semakin dibentuk menuruti karakter Allah, Anda akan semakin terarah untuk melakukan hal yang benar/baik. Karena itu, pendekatan ini lebih merupakan etika tentang menjadi daripada melakukan.

Pendekatan ini juga mengakui adanya kekurangan dalam proses yang kita semua sadari. Mengetahui hal yang benar tidak menjamin hal yang benar itu akan dilakukan! Ini karena dibutuhkan karakter untuk melakukan hal yang benar.

Sebelumnya kita telah membahas bahwa memahami karakter Allah dapat memengaruhi cara kita dalam membuat keputusan. (Kita telah membahas khususnya tentang kasih, keadilan, dan kekudusan Allah). Tujuannya adalah agar kita dapat memakai karakteristik-karakteristik itu sebagai kisi-kisi dalam menentukan keputusan yang benar. Ini termasuk pendekatan perintah karena kita berusaha mengikuti karakter Allah, bukan membentuknya! Dalam pendekatan karakter, kita bertanya bagaimana tindakan kita akan membentuk atau memengaruhi karakter kita. Karena itu, mari kita ubah penekanannya secara halus. Mari kita lihat bagaimana karakter Allah membentuk karakter kita. Sebagai orang Kristen, tujuan kita adalah menjadi orang yang lebih kudus, adil, dan mengasihi, sehingga ciri-ciri ini tertanam dalam diri kita sebagai setelan bawaan. Sekali lagi, ini bukan lagi tentang karakter Allah. Sekarang penekanannya pada karakter kita.

Ada beberapa alasan mengapa hal ini sangat penting. Pertama, cara kita berbicara tentang masalah-masalah etis sejauh ini menunjukkan proses pengambilan keputusan yang agak ideal, di mana kita memiliki waktu dan juga kemampuan untuk berpikir logis dalam menghadapi masalah-masalah yang pelik dan membuat keputusan yang tepat. Dan kita kadang memang berlaku seperti itu. Tetapi sebagian besar keputusan kita dibuat dalam sepersekian detik dalam keadaan terburu-buru? Cara kita menyikapi keluhan atasan kita, menyelesaikan kesalahpahaman dengan klien, menasihati pelayan toko yang kurang berpengalaman, memotivasi tim yang kinerjanya buruk - tindakan-tindakan ini seringkali dilakukan tanpa banyak berpikir sama sekali. Pastinya akan jauh lebih efektif jika kita dapat bersandar pada sifat-sifat karakter atau kebajikan yang sudah tertanam dalam diri kita untuk membawa kita secara naluriah kepada keputusan dan tindakan yang benar.

Kedua, mungkinkah berbagai pilihan etis kita sebenarnya sudah ditentukan sebelum kita membuat keputusan? Dengan kata lain, karakter kita secara otomatis memengaruhi banyak hal yang akan kita putuskan. Bahkan ketika kita punya waktu untuk memikirkan keputusan dengan saksama, keputusan kita cenderung sangat dipengaruhi oleh kebiasaan dan karakter kita, baik atau buruk. Karena itu, keputusan-keputusan etis kita kebanyakan ditentukan oleh siapa kita (karakter dan nilai-nilai yang kita anut) daripada proses pengambilan keputusan yang kita gunakan. Iris Murdoch berkata, "Di saat-saat krusial ketika harus memilih, sebagian besar proses memilih sudah selesai."[1]

Ketiga, pendekatan berbasis karakter memudahkan kita untuk memikirkan peran komunitas dalam pembentukan dan keputusan etis. Meskipun kita sering menganggap diri kita sebagai orang yang bebas membuat keputusan pribadi, keputusan kita dapat dipengaruhi secara signifikan oleh komunitas kita. Seperti akan kita lihat, pendekatan berbasis karakter seringkali lebih efektif dalam memakai sumber-sumber etika yang dapat diberikan komunitas kita.

Karena alasan-alasan ini, sebagian orang percaya bahwa daripada berfokus pada pengambilan keputusan yang baik, lebih baik berkonsentrasi pada pengembangan karakter yang baik. Mereka berkata, jika kebajikan dan kebaikan berkembang dalam hidup kita, keputusan yang baik akan secara otomatis mengikuti.

Menentukan Apa Itu Kebajikan

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jika pengembangan karakter dan kebajikan sedemikian penting, maka ada beberapa pertanyaan kunci yang harus kita hadapi. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:

  • Bagaimana kita menentukan kebajikan?

  • Siapa sebenarnya yang menentukan kebajikan?

  • Bagaimana sebenarnya kebajikan itu berkembang?

Pertanyaan pertama mungkin yang paling mudah dijawab. Kamus Oxford mendefinisikan "kebajikan" sebagai "kualitas yang dianggap baik atau diinginkan secara moral." Setiap budaya sangat menghargai kualitas-kualitas tertentu. Dalam konteksnya, kualitas-kualitas ini dianggap kebajikan.[1]

Namun, pertanyaan kedua tentang siapa sebenarnya yang menentukan kualitas tertentu itu baik agak lebih sulit. Dari tahun ke tahun, sudah banyak ahli filsafat, teolog, dan pemikir yang mencoba mendaftarkan dan mendefinisikan kebajikan. Sebagai contoh, Aristoteles menekankan kebajikan Yunani klasik: keadilan, ketabahan, kebijaksanaan, dan pengendalian diri. Ambrosius (339-397), seorang pemimpin Kristen mula-mula, menyatakan hal-hal ini tersirat dalam Alkitab, tetapi ia juga menambahkan tiga kebajikan alkitabiah (atau “teologis”) spesifik lain — iman, pengharapan, dan kasih (1 Korintus 13:13). Sejak abad keenam, Paus Gregorius Agung membandingkan ketujuh kebajikan ini dengan sifat-sifat buruk yang sepadan — yang sekarang kita kenal sebagai “tujuh dosa maut.”[2] Baru akhir-akhir ini para teolog Protestan mulai serius meneliti kebajikan. Glen Stassen dan David Gushee berkata bahwa “kebajikan adalah ciri karakter yang memungkinkan kita berkontribusi (secara positif) pada komunitas.”

Jadi, apa artinya ini bagi kita sebagai pengikut Yesus? Siapa atau apa yang seharusnya menentukan apa itu kebajikan bagi kita? Jelaslah bahwa Alkitab adalah jawabannya, dan di dalam Kitab Suci, titik fokus dalam menentukan kebajikan-kebajikan Kristen adalah kehidupan dan pengajaran Yesus. Yesus adalah ungkapan karakter Allah yang paling nyata bagi kita. Jadi, jika kita ingin mengetahui kebajikan apa saja yang harus dikembangkan, mengamati kualitas-kualitas yang dicontohkan dan dibicarakan Yesus adalah titik awal terbaik kita. Kita setuju dengan Stassen dan Gushee yang berkata bahwa:

Alkitab tidak datar; Kristus adalah puncak dan pusatnya. Tidak ada masalah moral yang layak dibahas tanpa memikirkan makna Yesus Kristus sebagai bahan pertimbangan untuk masalah itu.

Bagian terbesar ajaran etika Yesus terdapat dalam Kotbah di Bukit. Inilah tempat yang baik untuk memulai jika kita ingin memikirkan kebajikan-kebajikan spesifik yang harus didambakan para pengikut Yesus. Secara lebih spesifik, di dalam Ucapan Bahagialah, Yesus menyoroti kebajikan-kebajikan utama — kualitas-kualitas dan perilaku-perilaku yang sangat Dia hargai itu. Miskin rohani, murah hati, haus dan lapar akan kebenaran, lemah lembut/rendah hati, pembawa damai, berbelas kasih (Matius 5:1-12) — adalah ciri-ciri karakter yang harus menjadi tujuan utama kita.

Di dalam Kotbah di Bukit, Yesus berulang kali menghubungkan tindakan kita secara langsung dengan karakter kita — dengan sikap hati dan motif mendasar kita. Perkataan-perkataan Yesus lainnya di kitab-kitab Injil menguatkan hubungan ini. Sebagai contoh, “Sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat: percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan…” (Markus 7:21-22).

Gereja mula-mula juga menyadari pentingnya meneladani Yesus. Tulisan-tulisan dalam surat rasul Paulus menekankan pentingnya pengembangan karakter. Sebagai contoh, ia menasihati jemaat di Galatia agar tidak memuaskan keinginan "daging", tetapi mempersilakan Roh Kudus menumbuhkan "buah" seperti kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Galatia 5:16-25). Kepada jemaat di Filipi, Paulus menulis, "Hendaklah kamu… tanpa mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri.... Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus" (Filipi 2:3-5).

Kristus adalah contoh dan teladan kita. Karakter-Nyalah yang harus kita kembangkan. Referensi-referensi ini menunjukkan penekanan yang sangat kuat di Perjanjian Baru untuk menumbuhkan karakter Yesus.

Bagaimana Karakter Memengaruhi Keputusan Wayne?

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Semua pembicaraan tentang kebajikan ini membuat Wayne agak bingung. Sulit untuk mengevaluasi bagaimana karakternya sendiri berkembang. Pada kenyataannya, karakter sejati mungkin lebih akurat diukur melalui pengamatan orang lain daripada analisis kita sendiri.

Namun Wayne merasakan reaksi yang signifikan di sepanjang proses pengambilan keputusannya. Alih-alih merasa mudah untuk menolak keluhan kliennya tentang mobil dan permintaan untuk memperbaiki, ia justru merasa iba pada klien itu. Wayne benar-benar ingin menyikapi dengan cara yang menunjukkan kasih dan kepedulian. Sesungguhnya, jika ia melihat ke belakang dan meninjau perkembangan karakter kristianinya yang lambat namun nyata sepanjang hidupnya, ia secara khusus menyadari (dan menghargai) pertumbuhannya dalam belas kasih, kebaikan, dan kemurahan hati.

Akibatnya, ia mendapati dirinya ingin menanggapi positif permintaan kliennya itu dengan cara yang kemungkinan tidak dilakukan banyak orang lain. Maka, ketika Wayne mulai menghitung konsekuensi, pertimbangannya lebih kepada seberapa besar yang mampu ia bayar untuk membantu daripada bagaimana ia dapat menolak permintaan klien itu. Tampaknya setelan bawaannya sudah ditentukan oleh nilai-nilai yang membentuk karakternya.

Bagaimana Karakter Bertumbuh dan Berkembang dalam Hidup Kita?

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kita semua mengenal orang-orang yang hidupnya memancarkan karakter. Cara mereka bekerja di dunia usaha menunjukkan integritas atau konsistensi dengan aspek-aspek kehidupan mereka yang lain. Namun, bagaimana sebenarnya persisnya mereka menjadi orang-orang berkarakter seperti itu?

Dalam budaya kita yang sangat individualistis, mudah untuk menganggap bahwa hal itu kemungkinan besar akibat dari komitmen yang kuat pada Kristus, kesalehan dan disiplin yang ketat, serta kerinduan untuk menumbuhkan karakter Yesus dalam hidupnya.

Namun, meskipun unsur-unsur ini jelas penting, dan Roh Kudus pasti mengubah kita dengan cara yang sangat pribadi, perubahan seperti itu jarang terjadi di luar konteks yang lebih luas. MacIntyre maupun Hauerwas (dua pendukung etika kebajikan baru-baru ini) menekankan peran komunitas yang sangat besar dalam membentuk dan mewujudkan hidup yang berkebajikan. Bahkan mereka mengatakan bahwa penyampaian cerita-cerita (narasi) di komunitas tertentu merupakan pembentuk utama karakter kelompok. Cerita melibatkan imajinasi kita dan membuat kita terlibat dengan cara-cara yang sering kali menyingkapkan diri. Cerita memiliki kekuatan untuk membantu mengembangkan karakter maupun komunitas.

Sebagai contoh, cerita yang paling berpengaruh dalam budaya Amerika selama bertahun-tahun adalah cerita tentang orang yang memimpin dirinya sendiri yang mampu melepaskan diri dari penindasan konformitas sosial. Dari Frank Sinatra yang menyanyikan lagu "My Way," ketenaran Babe Ruth, hingga film "Pirates of the Caribbean" (hanya satu contoh saja — karena sebagian besar film Hollywood adalah variasi-variasi dari cerita ini), cerita yang sangat berpengaruh adalah cerita tentang kemenangan kepribadian batin individu atas beban ekspektasi sosial yang menghancurkan. Membaca surat kabar dan menelusuri bagaimana peristiwa dan pemberitaan surat kabar tentang hal itu terkait dengan cerita yang berpengaruh ini, entah buruk atau baik, bisa jadi menarik.

Bagi orang Kristen jelas Alkitab merupakan narasi/cerita utama kita. Alkitab juga merupakan cerita kemenangan seorang individu — Yesus — atas penindasan masyarakat. Namun, Yesus berulang kali berkata bahwa Dia tidak bertindak dari dirinya sendiri. Sebaliknya, Dia berkata bahwa pimpinan-Nya datang dari luar, yaitu dari Allah (contohnya, Yohanes 12:49-50). Dan kita harus menjadi seperti Yesus (1 Yohanes 3:2). Cerita Kitab Suci mengingatkan kita tentang menjadi orang seperti apa kita diciptakan Allah serta bagaimana perspektif dan nilai-nilai Allah seharusnya membentuk kehidupan kita di dunia. Cerita ini membuat kita dapat menemukan diri kita sendiri, dan mengundang respons kita dengan implikasi-implikasi moral yang mendalam.

Bagi Hauerwas, Stassen, dan Gushee, cerita spesifik yang paling penting bagi orang Kristen adalah cerita tentang Yesus, yang karakter dan kebajikan-Nya harus kita teladani.

Tetapi cerita/narasi Injil tidak sampai kepada kita dengan fokus yang tajam. Tanpa kita sengaja, kita sering menyerapnya melalui sebuah filter — filter budaya dan komunitas iman kita. Cara kita menceritakan-lagi cerita ini — kebajikan apa yang kita tekankan, kegagalan apa yang kita soroti, dan bagaimana kita saling mendorong untuk memelihara kebiasaan-kebiasaan dan tindakan-tindakan yang digambarkannya — semuanya memiliki dampak signifikan pada cara kita bertumbuh dalam kebajikan.

Sesungguhnya, kita perlu betul-betul menyadari kecenderungan semua komunitas iman untuk membingkai-ulang Yesus dengan cara yang tidak terlalu menantang gaya hidup dan pandangan dunia kita. Menjadikan Yesus menurut gambaran kita sendiri adalah godaan yang kita semua hadapi. Gereja-gereja Barat saat ini hidup dalam masyarakat dengan kekayaan dan kemakmuran yang sangat meluas, dan dengan cerita kemenangan memimpin diri sendiri yang diterima dalam tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Bahaya yang kita hadapi adalah kita menyaring secara tidak sengaja dampak sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan yang sangat besar dari kehidupan dan pengajaran Yesus. Ketika hal itu terjadi, sebagaimana yang sering terjadi, yang tersisa dalam narasi komunitas iman hanyalah Yesus yang membatasi diri untuk menangani sejumlah kecil masalah moral pribadi saja.

Ini bukanlah Yesus yang ada dalam kitab-kitab Injil. Karena Yesus Kristus memberikan teladan dan mengajarkan etika kehidupan yang konsisten, bukan etika yang sangat terbatas dan dibatasi pada masalah-masalah perilaku seksual dan kejujuran pribadi saja — betapapun pentingnya hal itu. Etika Yesus mencakup jauh lebih dari itu.

Jadi, karakter ilahi tidak hanya berkembang sebagai hasil transformasi pribadi. Dalam konteks komunitaslah karakter itu terutama dirawat dan dikembangkan. Dan komunitas itu harus menemukan cara untuk menyingkapkan titik-titik buta yang tak terelakkan dari pandangannya pada Yesus. Seperti yang ditulis Benjamin Farley:

Perjanjian Baru, selaras dengan Alkitab Ibrani, menekankan konteks yang tak tergantikan dalam komunitas orang percaya, yang dalam hal ini adalah gereja, ekklesia. Di dalam konteks iman, pengharapan, dan kasih yang merawat inilah kehidupan Kristen, sebagai sebuah proses, berlangsung. Bukan persoalan pribadi saja, tetapi dihadapkan pada budaya asing dan bermusuhan itulah yang membentuk tindakan moral Kristen. [1]

Jika Anda datang ke sini dari artikel Presentasi Etika Sistematis, klik di sini untuk kembali ke awal Presentasi Sistematis. Jika tidak, silakan lanjutkan membaca yang berikut ini.

Mengembangkan Karakter Yesus di Dunia Kerja

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Etika kebajikan memiliki pelajaran-pelajaran penting untuk diajarkan pada kita:

  • Membuat keputusan etis di dunia kerja jauh lebih dari sekadar mengembangkan proses pengambilan keputusan yang baik. Bahkan jauh lebih dari sekadar menyetujui "Kode Etik." Menjadi seperti siapa kita itulah yang secara substansial membentuk pilihan-pilihan etis kita.

  • Kita tidak dapat mengembangkan karakter Allah sendirian. Kita membutuhkan orang lain. Ketika kita berkomitmen pada komunitas yang berusaha menceritakan kembali, memahami, menerima, dan menghidupi cerita Injil, kita jauh lebih mungkin menjadi orang yang berkebajikan. Dan dunia bisnis pastinya membutuhkan orang-orang yang berkarakter.

Komunitas seperti itu harus menemukan cara untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang karakter Yesus, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit dan tidak mengenakkan yang membantu kita menghadapi pandangan kita yang terbatas tentang kehidupan yang baik. Ketika hal ini terjadi, kita cenderung tidak akan meniru banyak contoh menyedihkan tentang orang Kristen yang menjalankan bisnis dengan cara yang sama sekali tidak Kristen.

Jika Anda datang ke sini dari artikel Presentasi Etika Sistematis, klik di sini untuk kembali ke awal Presentasi Sistematis. Jika tidak, silakan lanjutkan membaca yang berikut ini.

Menggabungkan Semuanya

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Perintah, Konsekuensi, Karakter – tiga pendekatan berbeda dalam membuat keputusan etis. Dan, seperti yang telah kita lihat, ada banyak variasi dalam aliran-aliran ini. Kebenarannya, dalam situasi nyata sehari-hari, banyak orang menggunakan kombinasi dari beberapa pendekatan. Contohnya, sulit menerapkan perintah atau aturan tertentu tanpa memikirkan juga konsekuensi dari tindakan-tindakan itu. Pada saat yang sama, ketika kita memikirkan dan membandingkan konsekuensi-konsekuensi yang berbeda, kita perlu mengidentifikasi aturan-aturan yang mengarahkan kepada hasil-hasil itu. Dan pada akhirnya, apa pun yang kita putuskan dalam teori itu, karakter dan keterbukaan terhadap pimpinan Roh Kuduslah yang sebenarnya seringkali menentukan bagaimana kita bertindak.

Jadi, dalam membuat keputusan moral, kita akan mendapati diri kita berada dalam tarian etis yang melibatkan interaksi-interaksi yang saling memengaruhi di antara berbagai pendekatan ini.

Rangkuman Ketiga Pendekatan

Deontologi

Teleologi

Kebajikan

Konsep Kunci

Perintah/Aturan

Konsekuensi/Hasil

Karakter

Pertanyaan Utama

Apa aturan yang berlaku?

Apa yang akan mendatangkan hasil terbaik?

Apakah saya akan menjadi orang baik?

Yang manakah dari pendekatan-pendekatan ini yang Anda sukai dalam pengambilan-keputusan Anda sendiri? Seringkali hal ini tergantung pada sifat situasi yang Anda hadapi. Sebagai contoh, apakah Anda sedang berusaha menyelesaikan persolan moral yang besar ataukah pilihan moral sehari-hari? Mari kita jelaskan maksudnya.

Persoalan Moral Yang Besar

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Terkadang persoalan moral yang besar membutuhkan dan memungkinkan pertimbangan yang matang dalam jangka waktu yang lama. Dalam kasus-kasus seperti itu, salah satu cara melakukan proses pengambilan keputusan ini bisa sebagai berikut:[1]

  1. Mengumpulkan semua fakta yang relevan.

  2. Memperjelas masalah-masalah etis utama.

  3. Mengdentifikasi aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang relevan untuk kasus itu.

  4. Merujuk ke sumber-sumber panduan yang penting — terutama Alkitab, dengan keterbukaan pada cara terbaik dalam membaca Alkitab untuk mengatasi situasi ini. Namun juga merujuk ke sumber-sumber relevan lainnya.

  5. Membuat daftar semua tindakan alternatif.

  6. Membandingkan alternatif-alternatif itu dengan prinsip-prinsip.

  7. Menghitung kemungkinan hasil dari setiap tindakan dan memikirkan konsekuensi-konsekuensi.

  8. Merenungkan keputusan Anda dalam doa di hadapan Tuhan.

  9. Membuat keputusan dan menindaklanjutinya.

Seperti yang dapat Anda lihat, menentukan arah/tindakan ketika dihadapkan pada keputusan moral yang besar membutuhkan banyak “darah, keringat, dan air mata” (usaha keras dan pengorbanan)! Terutama bagi organisasi. Tetapi dalam memutuskan persoalan sehari-hari yang kita hadapi sebagai individu, kehidupan yang berjalan cepat kemungkinan membuat kita lebih efisien.

Pilihan Moral Sehari-hari

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kita sudah menyatakan bahwa sebagian besar keputusan etis dalam kehidupan dan pekerjaan kita sehari-hari dibuat secara instan, seringkali di bawah tekanan dan tanpa banyak kesempatan untuk berpikir panjang. Keputusan-keputusan ini bersifat naluriah, hasil dari kebiasaan-kebiasaan seumur hidup dan juga dipengaruhi oleh budaya tempat kita bekerja, kelompok sebaya dan komunitas iman tempat kita berada. Keputusan-keputusan ini dipengaruhi oleh sejauh mana kebajikan dan karakter Kristen telah tertanam di dalam diri kita. Inilah pemuridan Kristen yang umum.

Tetapi, pentingnya “menjadi” sebagai dasar untuk kita “melakukan” tidak berarti kita tidak memerlukan penalaran moral. Dalam kehidupan yang baik, masih ada tempat untuk memahami aturan-aturan dan memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi – tetapi di sini, aturan dan konsekuensi berada di bawah kebajikan dan dipandang sebagai pelayan, bukan tuan. Sebagai contoh, orang yang memiliki kebajikan kejujuran pun harus memahami dan mematuhi Prinsip Akuntansi Yang Berlaku Umum (Standar Pelaporan Keuangan Internasional, di luar AS) agar dapat membuat laporan-laporan keuangan yang akurat. Istilah seperti "menurut pendapat kami" dan "tak dapat diperkirakan" memiliki definisi khusus yang harus diikuti. Tetapi orang yang jujur ​​selalu menggunakan aturan yang meningkatkan keakuratan laporan keuangan secara menyeluruh, dan tidak pernah mencari cara untuk mengaburkan kebenaran tanpa melanggar hukum.

Penekanan pada kebajikan tidak menghilangkan masalah moral. Bahkan, kebajikan yang saling bersaing bisa menarik kita ke arah yang berbeda-beda. Contohnya adalah ketegangan yang kadang timbul antara keadilan dan kedamaian, kesetiaan dan kebenaran, atau keberanian dan kehati-hatian.

Membuat keputusan moral yang baik dalam hal ini bukan tentang mencari satu jawaban yang benar (karena jawabannya kemungkinan tidak hanya satu), tetapi lebih tentang memperjuangkan respons-respons kristiani yang seimbang yang mengakui semua prioritas yang saling bersaing.

Kita tidak hanya dibiarkan berjuang sungguh-sungguh setiap waktu untuk mengenali dan menjalani respons-respons kristiani yang sempurna. Sesungguhnya, menyadari bahwa kita hidup di dunia yang telah jatuh berarti menyadari bahwa seringkali tidak ada respons kristiani yang sempurna — bahwa kadang semua tindakan mengandung konsekuensi negatif. Hanya oleh kasih karunia Allah kita dapat diampuni dan hidup merdeka sebagai orang Kristen. Tidak lagi sangat bergantung pada upaya melakukan hal yang benar untuk mendapat perkenan Allah, tetapi tetap berkomitmen untuk berusaha melakukan hal yang benar sebagaimana ditentukan oleh karakter Tuhan dan Juru Selamat kita, tukang kayu dari Nazaret, yang jejak langkah-Nya kita ikuti saat kita melakukan pekerjaan sehari-hari.

Klik di sini untuk kembali ke bagian awal artikel Etika Kerja

Klik di sini untuk membaca Presentasi Etika Sistematis

Klik di sini untuk membaca Daftar Pustaka