Bootstrap

Mengukur Yang Baik

Artikel / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Measuring the good

Memikirkan konsekuensi seharusnya menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan kita. Namun, seperti ditemukan Wayne, konsekuensialisme menimbulkan empat pertanyaan pelik. Yaitu:

  1. Apa yang baik? (Bagaimana kita menentukan apa yang baik? Sebagai contoh, baik itu agaknya lebih dari sekadar membuat klien - atau Wayne - lebih baik secara finansial)

  2. Baik untuk siapa? (Siapa sebenarnya yang diuntungkan dari keputusan ini?)

  3. Dapatkah kebaikan dihitung? (Dapatkah kita memperkirakan sepenuhnya apa yang akan dihasilkan dan yang baik dalam situasi tertentu?)

  4. Baik dalam konteks apa? (Dapatkah yang baik di satu konteks buruk di konteks lain?)

Apa Yang Baik?
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Definisi kita tentang apa yang baik sangat penting. Pandangan konsekuensialis yang paling terkenal menentukan kebahagiaan atau kesenangan sebagai kebaikan tertinggi. Versi etika konsekuensialis ini disebut "Utilitarianisme." Apa pun yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi sebagian terbesar manusia adalah baik. Kebahagiaan dipandang sebagai tujuan hidup utama (dan dengan demikian implikasinya rasa sakit harus diminimalkan atau dihindari dalam segala situasi).

Tetapi di dalam Alkitab kebahagiaan tidak dipandang sebagai kebaikan tertinggi. Bahkan ketika kebahagiaan menjadi pusat perhatian dalam Alkitab, kebahagiaan itu cenderung didefinisikan-ulang secara sangat berbeda dari pemahaman budaya kita. Sebagai contoh, Yesus membuat kita berpikir terbalik dalam Ucapan Bahagia-Nya. Dia menyatakan bahwa situasi-situasi yang bisa membuat kita merasa dirugikan atau sedih justru dapat menjadi situasi yang membuat kita diberkati atau bahagia!

Jadi, bagaimana kita menentukan yang baik secara alkitabiah? Apa yang dianggap baik dalam Alkitab? Keadaan dunia sebelum Kejatuhan di Kejadian 3 dinyatakan “baik” dan “sangat baik” oleh Allah (Kejadian 1:4, 9, 12, 18, 21, 25, 32 dan 2:18-24). Keadaan ini dipulihkan dan diperluas ketika Kristus datang kembali dan memulai langit baru/bumi baru di Wahyu 21-22. Sejarah Israel; kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus; dan pemeliharaan Allah bagi komunitas Kristen semuanya merupakan tujuan utama pemulihan keadaan ini. Dan unsur-unsur keadaan ini dijelaskan di dalam banyak ayat Alkitab, seperti yang berikut ini:

Manusia hidup dalam relasi yang menyenangkan dengan Allah dan orang lain. (Kejadian 2:19-25)
Manusia melakukan pekerjaan yang menyenangkan dan menyediakan kebutuhan hidup bagi semua orang. (Kejadian 2:7-9)
Manusia memiliki kedudukan yang sama di dalam masyarakat tanpa diskriminasi ras, kesenjangan ekonomi atau gender. (Galatia 3:23)
Tidak ada sakit-penyakit. (Wahyu 21:4; 22:2)
Masyarakat hidup dalam damai dan sejahtera. (Mikha 4:3-4)

Meskipun kebahagiaan tampaknya jauh lebih memungkinkan di dunia seperti itu daripada di dunia yang rusak seperti yang kita jumpai di sekitar kita, tujuan utama Tuhan bukanlah membuat kita bahagia. Tujuan-Nya adalah membuat kita utuh seperti mula-mula kita diciptakan. Perjanjian Baru menunjukkan dengan jelas bahwa menerima penderitaan dan kesakitan sering menjadi jalan menuju keutuhan — bagi kita sendiri, maupun orang-orang yang ditolong melalui penderitaan kita. [1]

Pilihan Yesus untuk tunduk pada jalan Salib adalah teladan kita. Dia mengorbankan diri-Nya demi membawa pembebasan dan kehidupan bagi orang lain: "Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Matius 20:28). [2]

Baik untuk Siapa?
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Persoalan dalam etika konsekuensialis adalah menentukan konsekuensi siapa yang harus dioptimalkan.

Kepentingan Pribadi

Ada orang-orang yang memakai kepentingan pribadi sebagai tolok ukur. Mereka memakai pendekatan bahwa, jika suatu keputusan mendatangkan kebaikan bagi mereka, maka itu adalah pilihan terbaik. Aliran pemikiran ini dikenal sebagai “egoisme etis”.

Anda tidak terkesan dengan pemikiran ini? Ehm, sebelum Anda menganggapnya salah sama sekali, pikirkan lebih lanjut masalah Wayne. Kepentingan pribadi tidak selalu berarti bertindak dari perspektif yang sepenuhnya egois. Wayne bisa saja memilih memperbaiki kerusakan mobil kliennya karena kepentingan pribadi. Ia bisa saja memutuskan bahwa reputasi dan kapasitas jangka panjangnya untuk mendapatkan bisnis baru tergantung pada memenuhi ekspektasi-ekspektasi klien.

Jadi, yang tampak dari luar sebagai respons yang tanpa pamrih seringkali bisa jadi didorong oleh kepentingan pribadi. Dan ini tidak selalu buruk atau salah. Ini bahkan sering membawa hasil positif. Kita mungkin berkata, "Yang baik bagi saya seringkali akan baik bagi semua orang." Ekonom dan ahli filsafat Adam Smith (yang sering dikenal sebagai Bapak Kapitalisme Modern) berpendapat seperti ini ketika ia berbicara tentang orang-orang yang berkecimpung dalam bisnis:

Dengan mengejar kepentingannya sendiri, ia sering lebih efektif dalam memajukan masyarakat daripada ketika ia benar-benar berniat memajukannya. Saya tidak pernah melihat banyak kebaikan dilakukan oleh orang yang berpura-pura berdagang untuk kepentingan umum.[1]

Saat ini hal ini mungkin dianggap agak terlalu optimis dan naif. (Bahkan negara-negara yang paling kapitalis pun telah menambahkan banyak sekali undang-undang untuk melindungi pelanggan dan konsumen).

Kebaikan Yang Lebih Besar

Kelompok kedua yang lebih substansial mengatakan bahwa konsekuensi bisa menentukan keputusan etis kita dengan memakai kebaikan yang lebih besar sebagai tolok ukur. Kelompok ini memakai pendekatan bahwa keputusan terbaik adalah yang akan menghasilkan kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Seperti telah kita ketahui, Utilitarianisme berusaha memaksimalkan kebaikan (kebahagiaan) bagi sejumlah terbesar manusia. Suatu tindakan tidak baik jika membuat sedikit orang sangat bahagia tetapi tidak membawa manfaat apa-apa — atau bahkan memperburuk banyak hal — bagi banyak orang. Sebaliknya, suatu tindakan dinilai baik jika membuat banyak orang bahagia dengan tidak membahagiakan sedikit orang.

Namun, kita harus berhati-hati saat membuat keputusan yang didasarkan pada kebaikan mayoritas namun berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif atau membahayakan yang minoritas — apalagi jika yang minoritas itu kelompok yang terpinggirkan dan hampir tak punya kekuatan. Dengan ketentuan yang semacam “tujuan-membenarkan-cara”, segala kejahatan bisa ditoleransi.[2]

Alkitab secara konsisten memanggil umat Allah untuk membela dan melindungi orang miskin dan yang terpinggirkan. Sesungguhnya, para nabi secara teratur menantang umat Allah untuk memerhatikan orang yang paling lemah, bahkan menyatakan bahwa kesehatan masyarakat diukur dari cara mereka memperlakukan "yatim piatu, janda, dan orang asing" (tiga kelompok terpinggirkan yang signifikan).

Namun, janganlah juga kita beranggapan bahwa tujuan tidak pernah membenarkan cara. Ada pilihan-pilihan sulit yang harus dibuat ketika alternatifnya benar-benar tidak ada yang baik atau benar. Dalam kasus-kasus seperti itu, pembuat keputusan hanya dihadapkan pada pilihan yang buruk dengan level-level yang berbeda (relatif). Teori perang disebut "teori perang yang adil" adalah salah satu contoh cara para ahli etika berusaha memberi panduan dalam situasi semacam itu.[3] Suatu pilihan terkadang membawa penderitaan bagi orang lain. Namun, betapapun penderitaan itu tak terelakkan, pilihan itu harus dilakukan dengan belas kasih dan kerendahan hati yang tulus.

Apa Artinya Ini bagi Wayne?

Mencoba memikirkan konsekuensi dari keputusannya sebenarnya jauh lebih mudah bagi Wayne dalam situasi khusus ini daripada dalam banyak kasus lainnya. Ini karena, sebagaimana didapati Wayne, hanya ada dua pihak yang benar-benar akan dipengaruhi oleh keputusannya — dirinya dan kliennya. Tidak seperti banyak keputusan lain yang ia hadapi sebagai pedagang mobil yang melibatkan berbagai konsekuensi yang tak dapat dijelaskan terkait dampaknya pada masalah lingkungan, sosial, dan komunitas, pilihan ini agak lebih sederhana. Kebaikan apa yang akan dihasilkan dari keputusan untuk membayar, atau setidaknya berkontribusi dalam biaya perbaikan? Jawabannya adalah ia akan memiliki klien yang puas dan mungkin terhindar dari kesulitan ekonomi yang tidak perlu. Ini bisa menjadi kebaikan yang lebih besar daripada tidak mau membayar dan mendapat keuntungan pribadi sebagai hasilnya.

Dapatkah Kebaikan Dihitung?
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Konsekuensi bisa sulit diukur dan dihitung; bahkan kadang mustahil dilakukan. Dalam beberapa hal, kita mengetahui konsekuensi itu, tetapi tidak punya cara untuk mengukurnya. Apakah Anda akan lebih bahagia jika mendapat pekerjaan yang Anda sukai ataukah yang menghasilkan banyak uang? Dalam hal-hal lain, kita bahkan tidak mengetahui semua konsekuensi dari keputusan kita. Seringkali ada orang atau lingkungan terdampak yang tidak kita perhitungkan. Kadang bahkan tidak ada cara untuk mengetahui sebelumnya.

Dalam banyak hal, Alkitab membantu kita menyadari keterbatasan kita sendiri dan perspektif kita yang sangat terbatas. Sebaliknya, Allah itu mahatahu dan mahabijaksana. Maka ketika manusia bertanggung jawab atas tindakannya dan diharapkan memikirkan baik-baik konsekuensinya, diperlukan kerendahan hati dan ketergantungan pada satu-satunya Pribadi yang mengetahui segala sesuatu.

Kita sering benar-benar tidak memiliki cara untuk mengetahui konsekuensi yang akan dihasilkan tindakan kita, atau bahkan untuk menilai/mengukur yang baik. Karena itu, meskipun memikirkan konsekuensi merupakan hal yang penting dalam membuat keputusan, satu pendekatan ini saja tidak cukup dalam melakukan tindakan etis. Setidaknya, perintah dan konsekuensi perlu sama-sama dipertimbangkan. Perintah sering berfungsi mengarahkan kita kepada tindakan yang secara logis dapat diharapkan mendatangkan hasil yang baik, selain dari fakta bahwa tindakan itu sendiri pada dasarnya baik. Sebagai contoh, perintah "Jangan Berdusta" sangat mungkin menghasilkan konsekuensi yang lebih baik daripada sebaliknya, apalagi dalam situasi pelik yang sulit memprediksi konsekuensi dari berdusta, bahkan dusta "putih" yang niatnya baik. Pada saat yang sama, memikirkan konsekuensi sering membantu kita menentukan aturan mana yang berlaku dalam situasi yang mana. "Jangan Membunuh" berlaku dalam segala situasi karena konsekuensinya adalah kematian, yang tidak dapat dibatalkan oleh kekuatan manusia. Tetapi “Menghormati Hari Sabat” tidak berlaku dalam situasi yang menghalangi Anda menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat, karena konsekuensi dari kesakitan dan penderitaan bertentangan dengan pemulihan dunia kepada keadaan yang dimaksudkan Allah (Lukas 13:10-16, Yohanes 5:1-9).

Baik dalam Konteks Apa?
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Konteks etika itu penting. Kadang karena tindakan bisa diartikan berbeda di antara orang dari budaya yang berbeda. Kadang karena situasi orang berbeda-beda.

Salah satu contoh yang paling terkenal di Alkitab ditemukan dalam surat Paulus yang pertama kepada jemaat Korintus, pasal 8, ketika ia membahas keputusan-keputusan etis yang muncul tentang memakan makanan yang dipersembahkan kepada berhala. Masalah utamanya adalah, kata Paulus, perilaku kita akan memengaruhi "orang-orang percaya yang lemah." Dalam hal ini, Paulus lebih mengutamakan kasih dan kepentingan orang lain di atas kebebasannya sendiri untuk melakukan yang ia rasa pantas. Pertanyaannya bukan hanya, "Apakah itu benar?" tetapi juga, "Apa hasil yang akan ditimbulkannya?" Hal yang ia rasa bebas ia lakukan dalam satu situasi, tidak ia pilih untuk ia lakukan dalam situasi lain yang bisa menimbulkan kegusaran atau masalah. Paulus menentukan ketepatan atau kebijaksanaan tindakan itu berdasarkan konsekuensi dalam konteks tertentu ini.

Ini tidak sama dengan relativisme moral. Mengakui bahwa nilai-nilai kristiani perlu diterjemahkan secara kontekstual, karena apa yang baik dalam satu situasi belum tentu baik dalam situasi lain, sangat berbeda dengan relativisme total yang menjadi ciri budaya kita, di mana tidak ada standar kebenaran atau moralitas yang absolut. Sebagai contoh, perintah untuk jangan berdusta adalah standar absolut. Tetapi standar itu berlaku secara berbeda dalam konteks yang berbeda: "Apakah Anda sudah membayar untuk hal ini?" memerlukan proses penerapan prinsip yang berbeda dari, "Apakah kemeja ini terlihat bagus untuk saya?"

Semakin lama masyarakat tempat kita tinggal semakin multikultural. Kita bisa menghadapi banyak situasi di mana konteks menantang kita untuk mengubah tindakan kita. Sebagai contoh, jika Anda pemberi kerja, bagaimana Anda menentukan cuti berkabung ketika beberapa staf Anda berasal dari latar belakang etnis yang secara budaya sangat penting bagi mereka untuk mengambil cuti beberapa hari, beberapa kali dalam setahun, untuk menghadiri pemakaman kerabat dan teman?

Atau anggaplah Anda seorang penghasil tenda dan Anda memutuskan untuk membuat tenda di bagian dunia yang jauh lebih miskin karena biayanya jauh lebih murah. Bagaimana Anda menentukan bayaran yang tepat untuk para karyawan Anda?

Masalah konteks melampaui masalah lintas budaya. Masalah ini juga merupakan faktor yang menentukan apakah perlu memperlakukan orang secara berbeda karena situasi mereka. Sebagai contoh, seorang dokter mungkin mengenakan tarif yang berbeda berdasarkan pendapatan pasien. Seorang pedagang mobil mungkin mempertimbangkan situasi ekonomi seseorang saat menegosiasikan harga, seperti yang dilakukan Flow Automotive ketika mereka menyadari bahwa orang miskin cenderung membayar lebih mahal untuk mobilnya karena mereka cenderung kurang terlatih dalam bernegosiasi.

Bagaimana Masalah Kontekstual Memengaruhi Pengambilan Keputusan Wayne?

Ketika Wayne mulai memikirkan bagaimana situasi-situasi tertentu ini memengaruhi tindakan yang mungkin dilakukan, ia mendapati dirinya berusaha memahami dan mengantisipasi sejumlah hal.

Kita sudah menyebutkan pertanyaan tentang situasi keuangan kliennya. Jika Wayne menolak membayar biaya perbaikan, atau hanya berkontribusi sebagian, apa dampak finansial yang mungkin dialami klien itu dan keluarganya? Apakah hal itu mungkin akan membuat stres? Wayne menganggap hal ini perlu dipertimbangkan. Bahkan, baginya, hal ini merupakan bagian dari pertanyaan yang lebih luas tentang kasih dan keadilan.

Bagaimana jika Wayne tahu bahwa klien itu murah hati dan tidak itung-itungan dalam hal waktu dan uangnya sendiri — suka melayani orang lain dan sungguh-sungguh ingin membuat perbedaan di dunia? Jika demikian, Wayne mungkin akan merasa lebih mantap untuk berlaku murah hati padanya.

Pada saat yang sama, Wayne tahu ia juga harus mempertimbangkan kemampuan membayarnya sendiri, serta dampaknya bagi dirinya dan keluarganya jika pada akhirnya ia hanya mendapat sedikit atau sama sekali tidak mendapat keuntungan dari penjualan ini.

Ada sudut pandang lain. Haruskah Wayne memikirkan baik-baik preseden yang sedang ia ciptakan? Jika ia bersikap lunak, apakah klien-klien lainnya juga akan datang padanya untuk meminta bantuan? Wayne tersenyum masam memikirkan kemungkinan itu. Tetapi, bagi dirinya secara pribadi, itu bukan masalah besar. Faktor-faktor lain yang telah ia pertimbangkan, sejauh yang ia ketahui, jauh lebih penting. Ia tidak keberatan jika mendapat reputasi sebagai "orang yang lembek," selama ia puas dengan kesesuaian pilihannya.

Hal ini membuat Wayne berpikir tentang bagaimana karakternya dibentuk untuk membuat pilihan moral.

Jika Anda datang ke sini dari artikel Presentasi Etika Sistematis, klik di sini untuk kembali ke awal Presentasi Sistematis. Jika tidak, silakan lanjutkan membaca yang berikut ini.