Bootstrap

Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Merupakan Solusi

Artikel / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Pexels photo 9816

Kita telah melihat bahwa persaingan itu esensial tetapi juga dapat melukai orang. Alkitab mengakui kedua fakta ini. Alkitab menerima—dan di beberapa tempat menghargai—persaingan. Namun, Alkitab mengecam bahaya yang ditimbulkan satu sama lain ketika orang saling bersaing tanpa kasih, dan memerintahkan kita untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri (Markus 12:31). Bagaimana kita dapat menyelaraskan hal yang tampaknya bertentangan ini? Dengan melakukan persaingan sebagai bentuk kerja sama. Bahkan saat kita bersaing dengan orang lain, kita harus bekerja sama dengan mereka dan masyarakat dalam kasih dengan memerhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka dan tujuan-tujuan Allah. Pada bagian ini kita akan membahas bahwa berpartisipasi dalam persaingan ekonomi dapat menjadi bentuk kerja sama, dan karenanya dapat menjadi cara untuk mengasihi sesama.

Kita mulai dengan mengakui bahwa ekonomi bukan hanya akibat dari keterbatasan kita, tetapi juga hasil dari relasionalitas kita. Sebagaimana dinyatakan dalam tafsiran Proyek Teologi Kerja tentang kitab Kejadian, kita diciptakan sebagai makhluk relasional menurut gambar Allah kita yang relasional. Kita adalah makhluk yang saling bergantung dan bekerja sama dalam hampir segala hal, termasuk di dunia kerja. “Ekonomi” di satu sisi hanyalah aspek sosial dan budaya – aspek relasional dan koperatif kerja.

Kepelbagaian kebutuhan, preferensi, dan situasi kita menciptakan peluang untuk saling mengasihi melalui transaksi ekonomi. Hal-hal yang kita hasilkan atau layanan yang kita sediakan memberikan pilihan kepada orang lain. Orang yang satu mungkin lebih suka mengasihi dan memuliakan Allah serta mengasihi sesama dengan menyajikan makanan untuk orang lain, dan sebagai balasannya ia menerima sarana untuk mendengarkan musik di perangkat seluler. Orang yang lain mungkin lebih suka mengasihi dan memuliakan Allah serta mengasihi sesama dengan mengoperasikan perangkat komputer yang menyiarkan musik ke perangkat seluler, dan sebagai balasannya ia menerima makanan siap saji. Jadi, Jane sabagai pelayan restoran mencari uang dengan menyajikan makanan dan membelanjakannya untuk mengunduh lagu dari perusahaan Mary, sementara Mary yang ahli IT mencari uang dengan mengoperasikan komputer dan membelanjakannya untuk memesan makanan di restoran Jane. Dengan kata lain, kita bersaing bukan hanya karena kita ingin melakukan penjualan, tetapi karena kita juga ingin menyediakan hal yang baik untuk konsumen.

Aspek relasional kerja merupakan alasan yang lebih dalam dari keadaan "tidak baik" Adam yang seorang diri saja (Kejadian 2:18). Hawa dibutuhkan bukan hanya untuk memberi keturunan, tetapi sebagai "penolong" Adam, mitra kerja samanya dalam pekerjaan mengembangkan dan mengurus dunia. Satu orang saja tidak dapat bekerja sama, dan karenanya tidak dapat mencerminkan kemuliaan Allah Tritunggal, yang pribadi-pribadi-Nya bekerja dalam kerjasama yang kekal. Seperti dikatakan John Bolt:

“Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.” Agar kita dapat memahaminya dengan benar, kita harus menyingkirkan sejenak pandangan modern tentang “companionate marriage” (pernikahan yang didasari persahabatan dan kesetaraan). Intinya bukan bahwa Adam itu kesepian, tetapi bahwa ada yang tidak lengkap pada dirinya sebagai manusia. Jika manusia adalah gambar Allah sesuai rancangan Sang Pencipta, maka “laki-laki” perlu dilengkapi dengan “perempuan.” Di sini pada hakikatnya kita menemukan dasar dari seluruh tatanan sosial.[1]

Banyak orang secara bersama-sama – komunitas manusia – dapat melakukan pekerjaan mengelola dan memelihara ciptaan, sehingga dapat menunjukkan kasih yang relasional yaitu Allah.

Itulah sebabnya kerja sama ada di pusat kehendak Allah dalam pekerjaan kita. Perlu dicatat bahwa di samping persaingan, kerja sama merupakan tema yang konsisten dalam tafsiran Proyek Teologi Kerja. Banyak sekali penerapan masa kini yang dianjurkan dalam tafsiran ini untuk membangun kerja sama yang lebih baik di tempat kerja. Inilah perhatian yang didukung secara luas di dalam Alkitab (Mazmur 133:1; Amsal 26:21; Pengkhotbah 4:9-12; Filipi 2:1-5; 2 Timotius 2:24).

Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Melayani Konsumen

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Apa artinya bekerja sama? Bekerja sama dapat diartikan sebagai menyelaraskan aktivitas kita dengan satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. Definisi sederhana ini membuat kita memikirkan apakah hal-hal tertentu yang tidak tampak bekerja sama, seperti persaingan, sebenarnya merupakan bentuk-bentuk kerja sama.

Tafsiran Proyek Teologi Kerja tentang kitab Amsal menyatakan bahwa bisnis pada dasarnya adalah sebuah bentuk kerja sama. Bagian itu menunjukkan hubungan yang wajar antara kerja sama dan persaingan dengan ketepatan yang bermanfaat:

Kekuasaan ekonomi pasar yang hampir universal tak pelak adalah karena manfaat persaingan. Meskipun memiliki aspek-aspek persaingan yang signifikan, bisnis, politik, dan bentuk-bentuk persaingan lainnya pada dasarnya adalah bentuk-bentuk kerja sama. Masyarakat mendukung persaingan agar semua pihak dapat berkembang.

Pernyataan bahwa bisnis pada dasarnya adalah bentuk kerja sama mungkin terasa tak masuk akal bagi banyak orang. Namun, tidak ada barang atau jasa yang dapat sampai ke tangan konsumen tanpa banyak orang yang bekerja sama. Di dalam setiap perusahaan, para rekan kerja harus bekerja sama. Kerja sama juga terjadi di antara perusahaan-perusahaan. Ada lebih dari satu, dan kadang sangat banyak, perusahaan yang bekerja sama dalam menghasilkan barang atau jasa tertentu. Pembeli (konsumen/ pelanggan) harus bekerja sama dengan penjual (perusahaan) dalam aktivitas perdagangan untuk mendapatkan barang dan jasa itu.

Kerja sama adalah realita dasar aktivitas ekonomi. Persaingan adalah efek tidak langsung dari kerja sama ini. Ketika para konsumen memiliki banyak pilihan tentang perusahaan yang akan bekerja sama dengan mereka sebagai pembeli barang dan jasa, perusahaan-perusahaan itu harus bersaing dengan satu sama lain untuk melihat siapa yang dapat bekerja sama lebih efektif dalam memberikan nilai/manfaat kepada konsumen.

Meski kedengarannya aneh, saling bersaing secara etis – dengan motivasi yang benar dan perilaku yang adil – benar-benar dapat menjadi bentuk kerja sama. Jika Honda dan Ford masing-masing bersaing untuk membuat dan menjual mobil-mobil yang paling baik melayani konsumen, para konsumen akan mendapat manfaat dari mobil, harga, dan layanan yang lebih baik. Hal ini memenuhi rancangan Allah tentang kerja itu sendiri. Seperti dikatakan Dorothy Sayers, “Tuntutan pertama yang diminta agamanya dari seorang tukang kayu adalah agar ia membuat meja-meja yang bagus.”[1]

Terkadang pembuatan produk yang baik dibantu oleh kerja sama yang disengaja, seperti standar keselamatan dan teknik/rekayasa (contohnya: peringkat dan ukuran ban). Terkadang ini bisa berarti membeli suku cadang dari jaringan pemasok lain atau saling melakukan servis/perawatan kendaraan satu sama lain. Kerja sama tidak boleh dilakukan untuk merugikan konsumen, seperti bersekongkol dalam menentukan harga atau melemahkan peraturan lingkungan. Persaingan tidak boleh bertujuan menjatuhkan perusahaan lain (seperti memasang iklan palsu) sehingga mengurangi akses konsumen untuk mendapatkan opsi-opsi yang berkualitas. Di pasar yang etis, perusahaan-perusahaan bersaing dalam kendali kasih kepada konsumen dan saling menghormati.

Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Melayani Masyarakat

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pasar yang terstruktur-rapi dan dibentuk oleh persaingan yang etis juga dapat mengurangi konflik ekonomi dengan mendorong penciptaan nilai – artinya, aktivitas kerja dan transaksi ekonomi yang dilakukan untuk saling menguntungkan, bukan untuk menguntungkan yang satu dengan mengorbankan yang lain. Bekerja dapat menciptakan nilai dengan mengolah lagi bahan baku ciptaan Allah, dan transaksi ekonomi dapat menciptakan nilai dengan memindahkan sumber daya dari orang yang kurang membutuhkan barang atau jasa tertentu kepada yang lebih membutuhkannya. Dengan menciptakan nilai, orang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi mereka bukan dengan mengambil nilai orang lain tetapi dengan meningkatkan seluruh jumlah nilai di dunia.

Sebagai contoh, pabrik baja mengubah bijih besi menjadi balok-balok baja. Hal ini menguntungkan para penambang bijih besi (dengan memberi mereka penghasilan) dan penduduk kota (dengan memungkinkan pembangunan gedung-gedung apartemen) serta pemilik dan pekerja pabrik. Hal ini bukan sekadar mengambil uang dari penduduk kota dan memberikannya kepada penambang bijih besi serta pemilik dan pekerja pabrik, tetapi membuat semua pihak menjadi lebih baik. Bekerja menciptakan nilai karena produk yang dihasilkan, balok-balok baja, lebih bermanfaat (memiliki nilai lebih besar) daripada bijih besi. Transaksi ekonomi menciptakan nilai karena penduduk kota lebih membutuhkan (atau menghargai) balok-balok baja daripada uang yang mereka bayarkan, sementara para penambang dan pengusaha pabrik lebih membutuhkan (atau menghargai) uang daripada bijih besi yang mereka gunakan. Semua pihak menjadi lebih baik setelah pembuatan dan penjualan balok-balok itu daripada sebelumnya. Dengan cara ini, para penjual menopang diri sendiri dan keluarga mereka bukan dengan mengorbankan konsumen tetapi justru dengan melayani konsumen.[1] Hal ini terjadi meskipun perusahaan selalu dalam persaingan tertentu dengan konsumen dalam hal harga. Artinya, produk itu menciptakan nilai, tetapi masih ada suatu ketegangan terkait harga, yang artinya berapa banyak nilai yang bertambah pada penjual dan berapa banyak pula pada pembeli. Ketegangan antara kepentingan penjual dan kepentingan pembeli tak pernah bisa dihilangkan sepenuhnya, sehingga godaan untuk menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain akan selalu ada. Dengan memberikan banyak pilihan kepada setiap pihak, persaingan yang etis menciptakan peluang dan dukungan seluas-luasnya untuk mengejar penciptaan nilai dan bukan sekadar transfer kekayaan.

Pendekatan ekonomi yang sehat secara etis mengakui bahwa kerja sama adalah realitas dasar, dan persaingan yang etis melayani tujuan-tujuan kerja sama. Memang benar, ketika tingkat persaingan meningkat, hal itu dapat memunculkan perubahan lingkungan sosial yang cepat, dislokasi ekonomi, migrasi, dan lembaga-lembaga yang tidak permanen. Dalam setiap ekonomi, harus ada penyediaan bagi orang-orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dengan bersaing. Semua ini tidak membuktikan bahwa persaingan tidak dapat melayani kebutuhan kerja sama sosial. Sebaliknya justru lingkungan yang sangat kompetitif seringkali dapat melayani kepentingan umum dan memfasilitasi kerja sama sosial lebih baik daripada alternatif-alternatif yang ada. Orang yang kehilangan pekerjaan ketika perusahaannya bangkrut berada dalam kondisi yang relatif baik jika ada banyak perusahaan pesaing untuk ia bisa mencari pekerjaan baru, tetapi keadaannya tidak akan sebaik itu jika hanya sedikit atau tidak ada pesaing lain dalam industri itu.

Mari kita tinjau lebih spesifik bagaimana partisipasi kita dalam persaingan ekonomi dapat selaras dengan definisi kita tentang kerja sama. Definisi itu memerlukan koordinasi “untuk mencapai tujuan bersama.” Jika persaingan merupakan bentuk kerja sama, ini menunjukkan adanya kepentingan umum atau kebaikan bersama yang dikejar semua perusahaan saat mereka bersaing.[2] Tujuan bersama yang tepat dari persaingan adalah tujuan utama yang diidentifikasi Kitab Suci untuk pekerjaan dan transaksi kita – yaitu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga dan komunitas kita, dan untuk mendorong kesejahteraan umum dunia kita. Pada kenyataannya persaingan tidak selalu terarah kepada tujuan ini, karena banyak orang dan perusahaan tidak mengenalinya sebagai tujuan. Namun, persaingan pada kenyataannya berorientasi pada kepentingan umum ketika orang dan organisasi mengenali bahwa tujuan mereka adalah untuk melayani konsumen dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Ini menjadi tantangan bagi beberapa kalangan yang menganggap tujuan utama atau bahkan tujuan satu-satunya dalam bisnis adalah menghasilkan uang bagi pemegang saham; padahal tak ada alasan untuk menganggap bisnis tidak dapat bersaing dalam melayani konsumen dan sekaligus memberi keuntungan bagi pemegang saham, dan keduanya seringkali bisa berjalan seiring.

Selama para pesaing tidak dimotivasi oleh kasih kepada Allah dan sesama (atau etika lainnya yang dianut) untuk melayani kepentingan umum, masyarakat perlu membuat hukum dan peraturan untuk melindungi kepentingan umum. Di dunia yang telah jatuh, hal seperti ini tidak dapat dihindari. Namun, peraturan adalah pengganti kasih yang buruk. Masyarakat akan jauh lebih dilayani dengan baik jika sebagian besar atau seluruh warganya berkomitmen untuk bekerja, dan bahkan bersaing, dengan didasari kasih untuk melayani kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan diri sendiri saja. Inilah salah satu tujuan teologi kerja, membuat orang bekerja dan bersaing dengan cara yang melayani Allah dan sesama, bukan diri sendiri saja.

Gambaran Paulus tentang atletik sangat kaya dalam hal ini. Para atlet sering berbicara tentang persaingan ketat yang "mendorong munculnya kemampuan terbaik." Di dalam olahraga, mematuhi aturan dan melakukan yang terbaik untuk mengalahkan tim lain secara adil dan benar dapat menjadi cara bekerja sama dengan tim lain untuk memberikan hasil yang diinginkan kedua belah pihak – yaitu permainan yang bagus dan menyenangkan di mana kedua tim bermain sebaik mungkin dan tim yang lebih baik akan menang. Keunggulan dan pencapaian didorong dan dihargai. Demikian pula, berusaha keras mengalahkan perusahaan pesaing dengan melayani konsumen lebih baik dapat menjadi cara bekerja sama dengan pesaing untuk memberikan hasil yang diinginkan kedua belah pihak – pasar yang efisien yang menyediakan barang dan jasa terbaik sekaligus memberi keuntungan kepada investor.

Persaingan yang etis mungkin tampaknya tidak melibatkan koordinasi, yang menurut definisi kita merupakan kualitas kerja sama. Memang, koordinasi secara langsung dan eksplisit antar para pesaing untuk mereduksi persaingan biasanya tidak sah dan tidak etis karena melibatkan kolusi terhadap konsumen. Namun, koordinasi di antara para pesaing terjadi di tingkat sosial yang lebih tinggi dan dapat melayani kepentingan umum. Contohnya yang nyata adalah organisasi-organisasi perdagangan, publisitas dan lobi industri secara keseluruhan, pengamanan jaringan pemasok, penetapan standar industri, lembaga-lembaga pelatihan dan (di negara-negara yang diizinkan secara hukum) perundingan bersama. Bentuk-bentuk kerja sama yang nyata ini menentukan adanya norma-norma bersama dan, di atas semuanya, mengakui kesamaan hakikat semua manusia di antara perusahaan-perusahaan yang bersaing.

Hal ini, pada gilirannya, mengantar ke tingkat kerja sama sosial yang lebih tinggi. Tujuan terpenting dari sistem ekonomi – terutama dalam fungsi penetapan harga pasar – adalah memfasilitasi koordinasi besar-besaran di antara para pelaku ekonomi yang bersaing. Pembeli berusaha membeli barang yang lebih baik dengan harga yang lebih rendah; penjual berusaha memproduksi dan menjual barang dengan harga yang lebih menguntungkan. Jika sistem ekonomi dan ekosistem lembaga sosial yang lebih luas berfungsi sebagaimana mestinya, harga akan naik dan turun untuk memungkinkan pemasok mendapat permintaan dan sebaliknya. Hal ini akan mengalokasikan barang dan jasa yang ada secara lebih efektif dibandingkan sistem lainnya, dan—barangkali yang lebih penting—memberikan insentif paling efektif untuk pengarahan investasi barang dan jasa di masa mendatang.

Fungsi koordinasi sosial dari transaksi ekonomi ini, yang dibangun dengan persaingan yang etis sebagai bentuk kerja sama, menjadi semakin penting di era globalisasi. Transaksi pasar adalah satu-satunya metode yang telah ditemukan yang mampu mengkoordinir secara efektif tindakan sejumlah besar orang dan organisasi yang sangat beragam kepada tujuan bersama yang menguntungkan semua pihak. Kita akan selalu membutuhkan lembaga pemerintah untuk mencapai kepentingan politik yang tidak dapat dicapai oleh sistem ekonomi sendiri. Sebaliknya, kita akan selalu membutuhkan pasar untuk mencapai kepentingan ekonomi yang tidak dapat dicapai oleh sistem politik sendiri.

Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Melayani Para Pesaing

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Anehnya, persaingan yang ketat justru membantu, bukan menjatuhkan, para pesaing itu sendiri. Jika Honda memberikan nilai lebih kepada konsumen, hal itu akan memacu Ford untuk meningkatkan diri, begitu juga sebaliknya. Hal ini mengingatkan kita pada pepatah, "Besi menajamkan besi, dan orang menajamkan sesamanya” (Amsal 27:17). Tekanan keras dan bertubi-tubi dari orang lain seringkali menjadi cara untuk membuat kita menjadi yang terbaik. Dengan demikian, menjadi pesaing yang tangguh dapat menjadi cara untuk mengasihi para pesaing maupun masyarakat. Negara-negara yang memberangus persaingan dengan memilih perusahaan "juara nasional" dalam industri tertentu pada akhirnya akan mendapati perusahaan tidak dapat berkembang dan hanya menempatkannya pada posisi berpuas diri, kualitas yang sedang-sedang saja, dan akhirnya gagal.

Bukankah masih ada kemungkinan para pesaing akan saling membahayakan dengan bersaing? Jika Ford berhasil membuat kendaraan yang diinginkan konsumen dan menjualnya dengan harga lebih murah dari Honda, bukankah para karyawan Honda bisa kehilangan pekerjaan dan pemegang saham kehilangan investasinya?

Belum tentu. Michael Porter, profesor di Sekolah Bisnis Harvard menegaskan bahwa persaingan di sini bukan berarti bersaing untuk "menjadi yang terbaik" atau "menjadi nomor satu" seperti dalam persaingan “zero-sum” (dengan hasil nol) yang berfokus untuk mengalahkan pesaing – sehingga kemenangan perusahaan yang satu akan menyebabkan kekalahan perusahaan yang lain. Sebaliknya, persaingan berarti bersaing untuk “menjadi unik” untuk menciptakan nilai bagi konsumen dengan cara yang tidak dilakukan pesaing. Nilai ini dapat diciptakan dengan berbagai cara untuk beragam konsumen, sehingga selalu masih ada tempat di pasar yang bersaing untuk berbagai perusahaan berkembang selama mereka bersaing untuk menjadi unik sebagai pencipta nilai dan bukan hanya berusaha melayani konsumen dengan cara (terbaik) yang sama.

Keberhasilan Ford tidak otomatis membuat Honda gulung tikar. Honda justru akan terpacu untuk mencari cara alternatif dalam melayani konsumen, cara yang akan memenuhi kebutuhan yang tidak dilakukan oleh Ford. Ford mungkin mengalahkan Honda di pasar truk, misalnya, tetapi Honda dapat merespons dengan berfokus di pasar lain, seperti pasar mobil ekonomis. Bahkan jika di pasar mobil ekonomis Ford mengalahkan Honda dengan membuat satu jenis mobil ekonomis, Honda dapat menemukan jenis mobil ekonomis lain yang tidak dibuat (atau tidak sebaik yang dibuat) Ford. Honda hanya akan gulung tikar jika tidak bisa menemukan peluang alternatif untuk melayani konsumen secara berkelanjutan—yang dalam hal ini, mempertahankan Honda tetap beroperasi ketika gagal melayani konsumen bukanlah opsi yang dapat dibenarkan atau lebih baik secara moral.

Dalam sebuah wawancara di Sekolah Bisnis Harvard, Porter diminta merangkum "kesalahan-kesalahan strategi yang paling umum." Dan ia menjawab:

Kesalahan terbesar dari semua kesalahan adalah bersaing untuk menjadi yang terbaik, menempuh jalan yang sama seperti yang dilakukan orang lain dan berpikir bahwa entah bagaimana Anda dapat mencapai hasil yang lebih baik. Perlombaan seperti ini sulit dimenangkan. Banyak sekali manajer yang mencampuradukkan efektivitas operasional dengan strategi.
Kesalahan umum lainnya adalah mencampuradukkan pemasaran dengan strategi. Wajar jika strategi muncul dari berfokus pada konsumen dan kebutuhan-kebutuhannya. Maka dari itu, di banyak perusahaan, strategi dibangun di sekitar proposisi/penawaran nilai, yang merupakan sisi permintaan dari persamaan itu. Tetapi... ini juga tentang sisi persediaan, konfigurasi unik dari aktivitas-aktivitas yang memberikan nilai. Strategi menghubungkan pilihan-pilihan di sisi permintaan dengan pilihan-pilihan unik di dalam rantai nilai (sisi persediaan). Anda tidak bisa memiliki keunggulan dalam bersaing tanpa keduanya.[1]

Dengan kata lain, tujuannya bukanlah meyakinkan konsumen bahwa Anda memberikan nilai, tetapi benar-benar memberikannya. Bukan mengalahkan pesaing dalam memberikan nilai, tetapi memberikannya secara unik, melalui kesesuaian yang nyata antara kemampuan (unik) Anda sendiri dengan kebutuhan konsumen.

Dalam tulisan yang sudah digunakan secara luas, Joan Magretta merangkum gagasan utama Porter:

Persaingan untuk menjadi unik mencerminkan pola pikir dan cara berpikir yang berbeda tentang sifat persaingan. Di sini, perusahaan-perusahaan mengejar cara-cara bersaing yang berbeda yang bertujuan melayani berbagai macam kebutuhan dan konsumen. Fokusnya, dengan kata lain, adalah menciptakan nilai lebih bagi konsumen yang dipilih, bukan meniru dan menyamai pesaing….
Bersaing untuk menjadi unik tidak seperti berperang karena keberhasilan satu perusahaan tidak perlu membuat pesaingnya gagal. Tidak juga seperti pertandingan olahraga karena setiap perusahaan dapat memilih untuk menciptakan permainannya sendiri. Analogi yang lebih tepat… mungkin adalah seni pertunjukan. Ada banyak penyanyi dan pelakon yang bagus – masing-masing menonjol dan sukses dengan caranya sendiri. Masing-masing menemukan dan membentuk penontonnya sendiri. Semakin banyak pemain yang bagus, semakin besar jumlah penonton dan semakin berkembang kesenian itu. Penciptaan nilai yang seperti inilah esensi dari penciptaan nilai yang hasilnya positif….
Tentu saja tidak semua perusahaan akan berhasil. Persaingan akan menyingkirkan perusahaan-perusahaan yang kinerjanya kurang baik. Tetapi, perusahaan-perusahaan yang berkinerja baik bisa memperoleh hasil yang berkelanjutan karena mereka menciptakan nilai lebih.[2]

Semua ini sejalan dengan gagasan “persaingan sebagai bentuk kerja sama”. Gagasan ini mengenali fungsi persaingan dalam menghasilkan dan mempromosikan kebaikan bersama. Dan secara spesifik menolak pemikiran bahwa tujuan dari aktivitas persaingan adalah menjatuhkan atau mengalahkan pesaing. Para pesaing berusaha menciptakan nilai bagi para konsumen, memperkaya diri dengan memperkaya orang lain, dan memacu para pesaing untuk melakukan hal yang sama.

Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Kadang Membutuhkan Pengorbanan

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sejauh ini, kita telah menjelaskan kerja sama dan persaingan dalam rancangan Allah yang semula – seperti apa kedua hal itu jika kita mencerminkan dengan benar gambar Allah Tritunggal yang adalah kasih. Memiliki pemahaman yang berasal dari Allah sendiri dan dari rancangan-Nya yang semula tentang hakikat diri kita sangatlah penting jika kita ingin membangun pandangan kita berdasarkan standar yang benar.

Tetapi bagi banyak orang, segala pembicaraan tentang rancangan Allah yang sempurna bagi dunia terasa abstrak dan tidak relevan dengan kehidupan nyata. Apa pun yang mungkin kita spekulasikan tentang persaingan di dunia yang tidak jatuh dalam dosa, pada kenyataannya dunia telah jatuh dalam dosa. Itulah realitas kita sekarang, dan kita sering lebih merasakan kehancuran saat ini daripada keterkaitan kita dengan hakikat diri awal kita – atau kemuliaan yang akan datang yang Allah sediakan bagi kita di dalam Kristus.

Di zaman yang jahat ini, persaingan ekonomi pada praktiknya tidak pernah benar-benar etis dan sering dilakukan dengan cara-cara yang tidak etis. Sebagai partisipan di pasar-pasar ekonomi yang bersaing, tanggung jawab kita setiap hari adalah memastikan bahwa kita terlibat dalam persaingan yang etis dan mendorong persaingan yang etis pada orang lain, yang dimotivasi oleh kasih kepada semua manusia.

Beban etika bisa menjadi sangat berat. Kita mungkin berjuang untuk bersaing secara etis, tetapi para pesaing kita mungkin tidak. Meskipun para pesaing tidak menjatuhkan kita dengan cara curang yang tidak akan kita lakukan, mengasihi pesaing – melakukan persaingan sebagai bentuk kerja sama – sulit dilakukan. Diperlukan usaha yang keras dan kesediaan mengorbankan kepentingan diri kita jauh di luar batas minimum perilaku yang biasanya diharapkan dari para pesaing di bidang ekonomi. Kita mungkin harus membayar harga yang mahal untuk memutuskan terlibat dalam persaingan yang etis. Atau kita mungkin mendapati bahwa persaingan tidak etis orang lain mengeksploitasi kita sampai kita tidak bisa menopang diri sendiri dan orang-orang yang bergantung pada kita.

Itu sebabnya Salib sangat penting dalam cara kita bersaing. Salib adalah satu-satunya jalan kembali kepada kasih suci Allah Tritunggal. Gambar tentang kasih suci itu sedang dipulihkan di dalam Kristus yang rela mati agar Allah dapat menebus kita, dan kita harus meniru Kristus sebagai cara dipersatukan dengan-Nya, agar gambar Allah itu dapat dipulihkan di dalam kita juga. Kita harus memikul salib kita dan mati setiap hari untuk mengikut Kristus (Matius 16:24-28).

Mati terhadap diri sendiri, sesuai teladan Salib, adalah inti dari etika Kristen. John Calvin menyebut penyangkalan diri ini sebagai “inti seluruh kehidupan Kristen.”[1] Terlibat dalam persaingan ekonomi dengan tujuan memberi manfaat kepada konsumen dan masyarakat, dan bahkan para pesaing kita, membawa kita kepada cara hidup ekonomi yang berpusat pada penyangkalan diri seperti Kristus.

Mati terhadap diri sendiri ini, tentu saja, sangat bertentangan dengan keinginan sifat dasar kita yang telah jatuh dalam dosa. Kekuatan kita sendiri tidak akan mampu membuat kita sesuai dengan teladan salib Kristus. Kuasa Roh Kuduslah yang memampukan kita untuk hidup menurut teladan Kristus.

Hal ini dimulai dengan reformasi keberdosaan kita sendiri. Kejahatan tidak hanya ada “di luar sana” di antara para pesaing ekonomi kita, tetapi juga “di dalam sini” di hati kita sendiri. Akibat kejatuhan, kita bisa membenci para pesaing kita dan ingin membenarkan tindakan memajukan diri sendiri dengan mengorbankan mereka. Ketika kita berusaha melayani orang lain dengan mengorbankan diri sendiri, seperti yang dilakukan Kristus, kita terus-menerus akan mengalami ketegangan dalam memahami diri kita sebagai agen kasih suci Allah, membawa kasih suci itu kepada dunia melalui kasih kita kepada orang lain, menjadi orang berdosa yang diampuni oleh karena anugerah, serta mengingat dengan rendah hati bahwa sebenarnya Allah-lah yang memenangkan semua pertempuran penting atas kejahatan, bukan kita.

Namun kejahatan tentu saja juga ada “di luar sana”; dan Perjanjian Baru menegaskan keberadaan kuasa jahat itu di dunia. Dalam hal persaingan ekonomi, kejatuhan sangat membatasi kedalaman dan keluasan kerja sama sosial yang bisa kita harapkan dari dunia. Ketika kita mempertahankan standar persaingan sebagai bentuk kerja sama dengan cara-cara yang kreatif dan penuh kasih, seperti kesediaan kita untuk mengorbankan keuntungan kita sendiri demi kepentingan itu, kita memberi tantangan kepada ideologi-ideologi ekonomi duniawi. Persaingan sebagai bentuk kerja sama merupakan cara yang realistis bagi masyarakat pluralis untuk mengarahkan aktivitas ekonomi perorangan dan perusahaan pada kebaikan bersama dan tujuan-tujuan lain yang sehat secara etika. Hal ini akan menantang orang-orang yang menyanjung persaingan pasar maupun yang menyangkal bahwa terlibat dalam persaingan yang etis itu mungkin.

Kita telah menekankan bahwa Salib memulihkan gambar Allah dan rancangan awal hakikat diri kita. Tetapi Salib juga mengarahkan kita ke depan dan ke belakang. Salib tidak hanya memulihkan ciptaan karena menekankan mati terhadap diri sendiri sebagai cara hidup. Salib dan kuasa kebangkitan dari Roh Kudus yang mentransformasi kita seperti itu juga memungkinkan kita untuk terlibat dalam tindakan-tindakan pengorbanan diri dan untuk hidup hari ini dengan cara yang menantikan secara aktif penyempurnaan kerajaan Allah yang akan datang. Sebagai contoh, kita bisa memilih untuk menolong rekan kerja kita berhasil dalam proyek yang menguntungkan konsumen kita, meskipun kita tahu hal itu akan membuat rekan kerja itu dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi dari kita. Kita bisa memilih untuk menentang, atau bahkan mengungkapkan ke dunia luar, tindakan-tindakan organisasi kita yang mengeksploitasi orang lain, meskipun kita tahu kita bisa kehilangan pekerjaan sebagai akibatnya. Kita bisa memilih untuk mengkampanyekan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk mengendalikan persaingan yang tidak adil, meskipun menghabiskan waktu untuk itu tidak akan memberi manfaat langsung apa-apa pada kita.

Salib tidak hanya berlaku untuk tindakan-tindakan individu, tetapi juga tindakan suku-suku dan bangsa-bangsa. Wahyu 21-22 menggambarkan umat Allah yang memasuki Yerusalem Baru sebagai "bangsa-bangsa," bukan hanya sebagai sekumpulan besar orang yang tidak saling terhubung dan tidak memiliki identitas. Struktur-struktur budaya yang telah menjadi bagian, dan dalam hal tertentu bahkan berasal, dari Kejatuhan (Kejadian 10-11) juga akan ditebus, bukan hanya individu perorangan saja. "Sekumpulan besar orang" sebagai bangsa-bangsa itu berkumpul untuk berjalan dalam terang Allah (Wahyu 21:24), membawa kemuliaan dan hormat dengan penuh khidmat di hadapan-Nya sebagai persembahan dan pelayanan mereka kepada-Nya (Wahyu 21:26) dan menerima kuasa penyembuhan dari pohon kehidupan (Wahyu 22:2). Bahkan berbagai jabatan politik bangsa-bangsa (Wahyu 21:24) dan beragam bahasa (Wahyu 13:7) tetap ada. Dan "mereka akan menjadi umat-Nya [laoi itu bentuk jamak] dan Allah sendiri akan ada di tengah-tengah mereka sebagai Allah mereka" (Wahyu 21:3). Sebutan yang sebelumnya khusus untuk Israel (Kejadian 17:7-8, Yeremia 32:38, Yehezkiel 37:27) kini berlaku bagi semua bangsa.

Pentakosta mengarahkan hidup kita yang sekarang ini kepada realitas masa mendatang yang struktur-struktur budayanya akan ditebus. Yesus mengutus umat-Nya dengan kuasa Roh untuk “menjadikan semua bangsa murid-Nya” (Matius 28:18-19). Untuk mencapai tujuan ini, pada hari Pentakosta Dia mencurahkan Roh Kudus kepada umat-Nya untuk memberi kuasa kepada orang-orang dari berbagai suku bangsa untuk mengikut Dia dan menyelaraskan hidup dengan Salib, bukan dengan menghapus keberagaman budaya mereka tetapi dengan memakai budaya mereka yang beragam sebagai sarana pemuridan (Kisah Para Rasul 2:5-13). Pentakosta membuat pemuridan terjadi di tengah struktur budaya yang telah jatuh, dengan memakai struktur-struktur itu sebagai sarana untuk melakukan transformasi Injil oleh Roh.

Dallas Willard, yang banyak menulis tentang mengapa gereja harus memakai struktur-struktur budaya dengan cara seperti ini, merangkum gagasan itu dengan kalimat yang luar biasa ini: “Pemuridan bukan untuk gereja; gereja untuk pemuridan, dan pemuridan untuk dunia.”[2]

Semua ini tidak berarti bahwa gereja harus mengembangkan agenda budaya yang terpisah dari pemuridan kepada Kristus. Pemuridan kepada Kristus adalah satu-satunya tujuan, dan segala agenda budaya yang berdiri sendiri atau terpisah dari pemuridan adalah berhala. Selain itu, kerendahan hati tentang keberadaan kita sebagai makhluk yang terbatas – dan berdosa – selalu dibutuhkan. Peran gereja bukanlah untuk menyebarluaskan yang dianggapnya sebagai seperangkat aturan sosial-ekonomi ilahi yang harus ditaati seluruh umat manusia, melainkan untuk memperlengkapi umat Allah dalam belajar bekerja dan bersaing dengan cara-cara yang melayani sesama.

Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Memerlukan Formasi

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Salah satu cara menyimpulkan perintah praktis tentang persaingan yang etis adalah seperti ini: Sedapat mungkin biarkan tekanan persaingan mendorong Anda untuk memberikan nilai yang lebih baik kepada konsumen, bukan untuk unggul dengan merugikan konsumen atau pesaing. Di dunia yang telah jatuh, melakukan hal ini sulit dan menyakitkan. Mekanisme pasar tidak menjamin hal itu akan terjadi, hanya memberi peluang saja. Mengasihi sesama secara nyata tergantung pada kita. Namun, hal itu dapat dilakukan, dan banyak orang di sekitar kita sedang melakukannya, dan pun kita harus melakukannya lebih lagi.

Di level pribadi, perubahan yang mendasar adalah pada sikap. Apakah saya memandang pesaing saya sebagai sesama? Bagaimana saya dapat memiliki itikad baik terhadap pesaing saya? Paulus berkata, sebagaimana kita pernah memandang Allah dengan kebencian tetapi sekarang kita mendekati-Nya dengan kasih, kita pun memerlukan perubahan sikap seperti itu terhadap orang lain (2 Korintus 5:16).

Salah satu hal praktis terpenting yang dapat kita lakukan adalah berdoa secara teratur bagi para pesaing kita dan bagi situasi persaingan kita. Sangat kecil kemungkinan kita akan menemukan cara yang lebih efektif untuk menundukkan kesombongan, iri hati, dan keserakahan selain meminta Allah memberikan kebaikan kepada orang-orang yang menjadi pesaing kita. Kita dapat mendoakan secara langsung, dengan membawa dan menyebutkan nama-nama pesaing kita ke hadapan Allah untuk memohonkan kebaikan bagi mereka. Kita juga dapat memasukkannya dalam doa-doa kita yang memberkati pekerjaan kita sendiri, dengan memohon agar Allah memakai pelayanan kita kepada konsumen untuk mendorong para pesaing kita meningkatkan diri atau menemukan cara-cara pelayanan yang baru dan berbeda. Kita dapat meminta Allah menciptakan lingkungan yang sehat dan membangun di tengah persaingan sektor ekonomi kita.

Langkah alami berikutnya dari dialog internal ini adalah meminta pertolongan Allah untuk mengendalikan dialog eksternal kita dan "menjinakkan lidah" ​​(Yakobus 3:8). Bagaimana kita menggambarkan pesaing kita saat kita membicarakan mereka dengan rekan-rekan kerja dan orang lain? Sebagai penghalang kesuksesan kita, atau lebih buruk lagi sebagai musuh yang harus dikalahkan? Para pesaing ekonomi harus menahan keinginan untuk menjelek-jelekkan tim lawan, seperti halnya para atlet dan penggemar. Meskipun perintah Allah untuk mengasihi musuh itu menyiratkan bahwa kita dapat memiliki musuh, tidak ada kebutuhan umum untuk melihat pesaing ekonomi sebagai musuh (meskipun mereka mungkin demikian dalam hal tertentu). Bagaimanapun, kita tidak boleh berbicara tentang pesaing kita dengan cara yang merendahkan martabat mereka atau menyiratkan kita ingin mereka terluka. Sebaliknya, kita dapat menggambarkan mereka sebagai tolok ukur untuk menilai keberhasilan kita sendiri, barometer tentang hal-hal yang melayani konsumen dengan baik atau tidak, dan sumber disiplin dan akuntabilitas yang menjaga kita tetap fokus pada misi kita.

Di level yang lebih dalam, bagaimana kita menggambarkan tujuan pekerjaan dan organisasi kita? Ketika kita menggambarkan tujuan kita, apakah kita menggambarkan kepentingan umum atau kebaikan bersama yang membuat persaingan dapat menyelaraskan tindakan kita dengan tindakan pesaing kita? Atau apakah kita hanya berbicara tentang bagaimana kita melayani kepentingan diri sendiri?

Hal ini dengan sendirinya mengantar kepada langkah ketiga yang sangat penting. Apakah tindakan-tindakan kita sesuai dengan perkataan-perkataan ini? Apakah kita benar-benar fokus pada memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga dan komunitas kita, serta mendorong kesejahteraan sesama dan dunia kita? Apakah organisasi kita berusaha untuk berhasil dengan menciptakan nilai bagi konsumen, dan membedakan diri dari pesaing melalui nilai unik yang diciptakan? Apakah melayani konsumen merupakan tujuan utama pekerjaan kita? Apakah meningkatkan nilai yang kita sampaikan kepada konsumen merupakan inti dari strategi persaingan kita? Semakin banyak yang kita lakukan, semakin kita mengarah kepada tujuan bersama yang kita harap dapat membuat pasar menyelaraskan aktivitas kita dengan para pesaing kita.

Dan tentu saja sangat penting bagi kita untuk menjaga kejujuran diri dan perusahaan kita. Godaan untuk memajukan diri sendiri dengan menghalangi pekerjaan pesaing kita, bukan melayani konsumen dengan baik, selalu muncul. Itu sebabnya Kitab Suci sangat sering dan sedemikian keras mengecam pencurian, penipuan, dan eksploitasi.

Gagasan persaingan sebagai bentuk kerja sama tercermin dalam beberapa tafsiran Proyek Teologi Kerja (contohnya Matius 5:7 dan Roma 12:1-3), dan ini menjadi pemahaman yang bermanfaat tentang langkah-langkah spesifik yang bisa kita ambil untuk mengikuti jalan itu. Tafsiran kitab Amsal menyoroti masalah yang terjadi pada orang-orang yang kalah dalam persaingan:

Hukuman yang tepat untuk kegagalan dalam persaingan bukanlah dihancurkan atau dijebloskan ke jurang kemiskinan, tetapi diarahkan atau dialihkan ke pekerjaan yang lebih produktif. Perusahaan-perusahaan bisa bangkrut, tetapi pesaing mereka yang sukses tidak menjadi monopoli. … Karir bisa naik turun, tetapi hukuman yang tepat untuk kegagalan bukanlah "Anda tidak akan pernah bekerja di kota ini lagi" melainkan, "Bantuan apa yang Anda butuhkan untuk menemukan hal yang lebih cocok dengan bakat Anda?" Individu dan organisasi yang paling bijak belajar terlibat dalam persaingan dengan cara yang memanfaatkan sebaik-baiknya partisipasi setiap pemain dan menawarkan “pendaratan yang lembut” bagi yang kalah dalam kontes hari ini, tetapi mungkin saja memberikan kontribusi yang berharga esok.

Tafsiran Lukas 6:27-36 menunjukkan hal serupa: "Di level korporat, itu berarti tidak menghancurkan pesaing, pemasok, atau pelanggan, apalagi dengan tindakan yang tidak adil atau tidak produktif seperti tuntutan hukum yang sembrono, monopoli, desas-desus yang tidak benar, manipulasi saham, dan sejenisnya."

Tafsiran Filipi 1:27-2:11 menawarkan dua cara nyata untuk menjauhi kesombongan dalam situasi persaingan:

Seperti telah kita lihat, ambisi — bahkan persaingan — tidak selalu buruk… tetapi, mementingkan agenda sendiri secara tidak adil itulah hal yang buruk. Hal itu memaksa Anda mengadopsi penilaian yang tidak akurat dan berlebihan terhadap diri sendiri ("kesombongan"), yang menempatkan Anda di dunia fantasi yang semakin jauh yang membuat Anda tidak efektif dalam pekerjaan maupun keyakinan. Ada dua penawarnya. Pertama, pastikan bahwa keberhasilan Anda bergantung dan berkontribusi pada keberhasilan orang lain. Ini biasanya berarti bertindak dalam kerja sama tim yang tulus dengan orang lain di tempat kerja. Kedua, teruslah mencari umpan balik yang akurat tentang diri Anda dan kinerja Anda. Anda mungkin mendapati kinerja Anda sangat baik, tetapi jika Anda mendapatkannya dari sumber yang akurat, itu bukan kesombongan. Tindakan sederhana mau menerima umpan balik dari orang lain ini adalah bentuk kerendahan hati, karena Anda menundukkan citra diri Anda pada citra mereka tentang Anda. Tentu saja, ini hanya berlaku jika Anda menemukan sumber umpan balik yang akurat.

Komunitas iman Kristen juga dapat berperan sebagai tempat transformasi rohani yang unik dan sebagai komunitas yang menyatukan orang-orang dari berbagai kelompok budaya – bahkan para pesaing ekonomi. Gereja dapat membingkai ulang pemahaman kita tentang persaingan dengan menjunjung tinggi persaingan yang etis, atau persaingan sebagai bentuk kerja sama, dan menentang pemahaman-pemahaman stereotip yang memutlakkan persaingan sampai meniadakan kerja sama. Mereka dapat mengadakan diskusi-diskusi khusus berdasarkan bidang pekerjaan tentang seperti apa persaingan yang etis itu, dan bagaimana hal itu dapat diperkenalkan di setiap bidang usaha.

Kita juga perlu memandang melampaui ranah pribadi dan gereja ke ranah publik. Kita harus menentang bentuk-bentuk persaingan tidak adil yang mungkin telah dilembagakan di lingkungan kita, dan mencari cara-cara untuk memperluas kesempatan bagi orang-orang yang dirugikan dalam persaingan, seperti orang miskin, penyandang disabilitas, dan kelompok yang terpinggirkan. Ini bisa menjadi sangat menantang jika status quo yang ingin kita ubah justru menguntungkan kita. Namun, perspektif alkitabiah tentang persaingan mendesak kita untuk mereformasi sistem yang tidak adil, sekalipun hal itu memperbesar tekanan persaingan pada diri kita sendiri. (Akan sangat membantu jika kita mau mengingat betapa kita justru sering mendapat manfaat dengan berada di bawah tekanan persaingan).