Bootstrap

Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Kadang Membutuhkan Pengorbanan

Artikel / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Pexels photo 112990

Sejauh ini, kita telah menjelaskan kerja sama dan persaingan dalam rancangan Allah yang semula – seperti apa kedua hal itu jika kita mencerminkan dengan benar gambar Allah Tritunggal yang adalah kasih. Memiliki pemahaman yang berasal dari Allah sendiri dan dari rancangan-Nya yang semula tentang hakikat diri kita sangatlah penting jika kita ingin membangun pandangan kita berdasarkan standar yang benar.

Tetapi bagi banyak orang, segala pembicaraan tentang rancangan Allah yang sempurna bagi dunia terasa abstrak dan tidak relevan dengan kehidupan nyata. Apa pun yang mungkin kita spekulasikan tentang persaingan di dunia yang tidak jatuh dalam dosa, pada kenyataannya dunia telah jatuh dalam dosa. Itulah realitas kita sekarang, dan kita sering lebih merasakan kehancuran saat ini daripada keterkaitan kita dengan hakikat diri awal kita – atau kemuliaan yang akan datang yang Allah sediakan bagi kita di dalam Kristus.

Di zaman yang jahat ini, persaingan ekonomi pada praktiknya tidak pernah benar-benar etis dan sering dilakukan dengan cara-cara yang tidak etis. Sebagai partisipan di pasar-pasar ekonomi yang bersaing, tanggung jawab kita setiap hari adalah memastikan bahwa kita terlibat dalam persaingan yang etis dan mendorong persaingan yang etis pada orang lain, yang dimotivasi oleh kasih kepada semua manusia.

Beban etika bisa menjadi sangat berat. Kita mungkin berjuang untuk bersaing secara etis, tetapi para pesaing kita mungkin tidak. Meskipun para pesaing tidak menjatuhkan kita dengan cara curang yang tidak akan kita lakukan, mengasihi pesaing – melakukan persaingan sebagai bentuk kerja sama – sulit dilakukan. Diperlukan usaha yang keras dan kesediaan mengorbankan kepentingan diri kita jauh di luar batas minimum perilaku yang biasanya diharapkan dari para pesaing di bidang ekonomi. Kita mungkin harus membayar harga yang mahal untuk memutuskan terlibat dalam persaingan yang etis. Atau kita mungkin mendapati bahwa persaingan tidak etis orang lain mengeksploitasi kita sampai kita tidak bisa menopang diri sendiri dan orang-orang yang bergantung pada kita.

Itu sebabnya Salib sangat penting dalam cara kita bersaing. Salib adalah satu-satunya jalan kembali kepada kasih suci Allah Tritunggal. Gambar tentang kasih suci itu sedang dipulihkan di dalam Kristus yang rela mati agar Allah dapat menebus kita, dan kita harus meniru Kristus sebagai cara dipersatukan dengan-Nya, agar gambar Allah itu dapat dipulihkan di dalam kita juga. Kita harus memikul salib kita dan mati setiap hari untuk mengikut Kristus (Matius 16:24-28).

Mati terhadap diri sendiri, sesuai teladan Salib, adalah inti dari etika Kristen. John Calvin menyebut penyangkalan diri ini sebagai “inti seluruh kehidupan Kristen.”[1] Terlibat dalam persaingan ekonomi dengan tujuan memberi manfaat kepada konsumen dan masyarakat, dan bahkan para pesaing kita, membawa kita kepada cara hidup ekonomi yang berpusat pada penyangkalan diri seperti Kristus.

Mati terhadap diri sendiri ini, tentu saja, sangat bertentangan dengan keinginan sifat dasar kita yang telah jatuh dalam dosa. Kekuatan kita sendiri tidak akan mampu membuat kita sesuai dengan teladan salib Kristus. Kuasa Roh Kuduslah yang memampukan kita untuk hidup menurut teladan Kristus.

Hal ini dimulai dengan reformasi keberdosaan kita sendiri. Kejahatan tidak hanya ada “di luar sana” di antara para pesaing ekonomi kita, tetapi juga “di dalam sini” di hati kita sendiri. Akibat kejatuhan, kita bisa membenci para pesaing kita dan ingin membenarkan tindakan memajukan diri sendiri dengan mengorbankan mereka. Ketika kita berusaha melayani orang lain dengan mengorbankan diri sendiri, seperti yang dilakukan Kristus, kita terus-menerus akan mengalami ketegangan dalam memahami diri kita sebagai agen kasih suci Allah, membawa kasih suci itu kepada dunia melalui kasih kita kepada orang lain, menjadi orang berdosa yang diampuni oleh karena anugerah, serta mengingat dengan rendah hati bahwa sebenarnya Allah-lah yang memenangkan semua pertempuran penting atas kejahatan, bukan kita.

Namun kejahatan tentu saja juga ada “di luar sana”; dan Perjanjian Baru menegaskan keberadaan kuasa jahat itu di dunia. Dalam hal persaingan ekonomi, kejatuhan sangat membatasi kedalaman dan keluasan kerja sama sosial yang bisa kita harapkan dari dunia. Ketika kita mempertahankan standar persaingan sebagai bentuk kerja sama dengan cara-cara yang kreatif dan penuh kasih, seperti kesediaan kita untuk mengorbankan keuntungan kita sendiri demi kepentingan itu, kita memberi tantangan kepada ideologi-ideologi ekonomi duniawi. Persaingan sebagai bentuk kerja sama merupakan cara yang realistis bagi masyarakat pluralis untuk mengarahkan aktivitas ekonomi perorangan dan perusahaan pada kebaikan bersama dan tujuan-tujuan lain yang sehat secara etika. Hal ini akan menantang orang-orang yang menyanjung persaingan pasar maupun yang menyangkal bahwa terlibat dalam persaingan yang etis itu mungkin.

Kita telah menekankan bahwa Salib memulihkan gambar Allah dan rancangan awal hakikat diri kita. Tetapi Salib juga mengarahkan kita ke depan dan ke belakang. Salib tidak hanya memulihkan ciptaan karena menekankan mati terhadap diri sendiri sebagai cara hidup. Salib dan kuasa kebangkitan dari Roh Kudus yang mentransformasi kita seperti itu juga memungkinkan kita untuk terlibat dalam tindakan-tindakan pengorbanan diri dan untuk hidup hari ini dengan cara yang menantikan secara aktif penyempurnaan kerajaan Allah yang akan datang. Sebagai contoh, kita bisa memilih untuk menolong rekan kerja kita berhasil dalam proyek yang menguntungkan konsumen kita, meskipun kita tahu hal itu akan membuat rekan kerja itu dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi dari kita. Kita bisa memilih untuk menentang, atau bahkan mengungkapkan ke dunia luar, tindakan-tindakan organisasi kita yang mengeksploitasi orang lain, meskipun kita tahu kita bisa kehilangan pekerjaan sebagai akibatnya. Kita bisa memilih untuk mengkampanyekan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk mengendalikan persaingan yang tidak adil, meskipun menghabiskan waktu untuk itu tidak akan memberi manfaat langsung apa-apa pada kita.

Salib tidak hanya berlaku untuk tindakan-tindakan individu, tetapi juga tindakan suku-suku dan bangsa-bangsa. Wahyu 21-22 menggambarkan umat Allah yang memasuki Yerusalem Baru sebagai "bangsa-bangsa," bukan hanya sebagai sekumpulan besar orang yang tidak saling terhubung dan tidak memiliki identitas. Struktur-struktur budaya yang telah menjadi bagian, dan dalam hal tertentu bahkan berasal, dari Kejatuhan (Kejadian 10-11) juga akan ditebus, bukan hanya individu perorangan saja. "Sekumpulan besar orang" sebagai bangsa-bangsa itu berkumpul untuk berjalan dalam terang Allah (Wahyu 21:24), membawa kemuliaan dan hormat dengan penuh khidmat di hadapan-Nya sebagai persembahan dan pelayanan mereka kepada-Nya (Wahyu 21:26) dan menerima kuasa penyembuhan dari pohon kehidupan (Wahyu 22:2). Bahkan berbagai jabatan politik bangsa-bangsa (Wahyu 21:24) dan beragam bahasa (Wahyu 13:7) tetap ada. Dan "mereka akan menjadi umat-Nya [laoi itu bentuk jamak] dan Allah sendiri akan ada di tengah-tengah mereka sebagai Allah mereka" (Wahyu 21:3). Sebutan yang sebelumnya khusus untuk Israel (Kejadian 17:7-8, Yeremia 32:38, Yehezkiel 37:27) kini berlaku bagi semua bangsa.

Pentakosta mengarahkan hidup kita yang sekarang ini kepada realitas masa mendatang yang struktur-struktur budayanya akan ditebus. Yesus mengutus umat-Nya dengan kuasa Roh untuk “menjadikan semua bangsa murid-Nya” (Matius 28:18-19). Untuk mencapai tujuan ini, pada hari Pentakosta Dia mencurahkan Roh Kudus kepada umat-Nya untuk memberi kuasa kepada orang-orang dari berbagai suku bangsa untuk mengikut Dia dan menyelaraskan hidup dengan Salib, bukan dengan menghapus keberagaman budaya mereka tetapi dengan memakai budaya mereka yang beragam sebagai sarana pemuridan (Kisah Para Rasul 2:5-13). Pentakosta membuat pemuridan terjadi di tengah struktur budaya yang telah jatuh, dengan memakai struktur-struktur itu sebagai sarana untuk melakukan transformasi Injil oleh Roh.

Dallas Willard, yang banyak menulis tentang mengapa gereja harus memakai struktur-struktur budaya dengan cara seperti ini, merangkum gagasan itu dengan kalimat yang luar biasa ini: “Pemuridan bukan untuk gereja; gereja untuk pemuridan, dan pemuridan untuk dunia.”[2]

Semua ini tidak berarti bahwa gereja harus mengembangkan agenda budaya yang terpisah dari pemuridan kepada Kristus. Pemuridan kepada Kristus adalah satu-satunya tujuan, dan segala agenda budaya yang berdiri sendiri atau terpisah dari pemuridan adalah berhala. Selain itu, kerendahan hati tentang keberadaan kita sebagai makhluk yang terbatas – dan berdosa – selalu dibutuhkan. Peran gereja bukanlah untuk menyebarluaskan yang dianggapnya sebagai seperangkat aturan sosial-ekonomi ilahi yang harus ditaati seluruh umat manusia, melainkan untuk memperlengkapi umat Allah dalam belajar bekerja dan bersaing dengan cara-cara yang melayani sesama.