Bootstrap

Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Memerlukan Formasi

Artikel / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Img 7746 edit

Salah satu cara menyimpulkan perintah praktis tentang persaingan yang etis adalah seperti ini: Sedapat mungkin biarkan tekanan persaingan mendorong Anda untuk memberikan nilai yang lebih baik kepada konsumen, bukan untuk unggul dengan merugikan konsumen atau pesaing. Di dunia yang telah jatuh, melakukan hal ini sulit dan menyakitkan. Mekanisme pasar tidak menjamin hal itu akan terjadi, hanya memberi peluang saja. Mengasihi sesama secara nyata tergantung pada kita. Namun, hal itu dapat dilakukan, dan banyak orang di sekitar kita sedang melakukannya, dan pun kita harus melakukannya lebih lagi.

Di level pribadi, perubahan yang mendasar adalah pada sikap. Apakah saya memandang pesaing saya sebagai sesama? Bagaimana saya dapat memiliki itikad baik terhadap pesaing saya? Paulus berkata, sebagaimana kita pernah memandang Allah dengan kebencian tetapi sekarang kita mendekati-Nya dengan kasih, kita pun memerlukan perubahan sikap seperti itu terhadap orang lain (2 Korintus 5:16).

Salah satu hal praktis terpenting yang dapat kita lakukan adalah berdoa secara teratur bagi para pesaing kita dan bagi situasi persaingan kita. Sangat kecil kemungkinan kita akan menemukan cara yang lebih efektif untuk menundukkan kesombongan, iri hati, dan keserakahan selain meminta Allah memberikan kebaikan kepada orang-orang yang menjadi pesaing kita. Kita dapat mendoakan secara langsung, dengan membawa dan menyebutkan nama-nama pesaing kita ke hadapan Allah untuk memohonkan kebaikan bagi mereka. Kita juga dapat memasukkannya dalam doa-doa kita yang memberkati pekerjaan kita sendiri, dengan memohon agar Allah memakai pelayanan kita kepada konsumen untuk mendorong para pesaing kita meningkatkan diri atau menemukan cara-cara pelayanan yang baru dan berbeda. Kita dapat meminta Allah menciptakan lingkungan yang sehat dan membangun di tengah persaingan sektor ekonomi kita.

Langkah alami berikutnya dari dialog internal ini adalah meminta pertolongan Allah untuk mengendalikan dialog eksternal kita dan "menjinakkan lidah" ​​(Yakobus 3:8). Bagaimana kita menggambarkan pesaing kita saat kita membicarakan mereka dengan rekan-rekan kerja dan orang lain? Sebagai penghalang kesuksesan kita, atau lebih buruk lagi sebagai musuh yang harus dikalahkan? Para pesaing ekonomi harus menahan keinginan untuk menjelek-jelekkan tim lawan, seperti halnya para atlet dan penggemar. Meskipun perintah Allah untuk mengasihi musuh itu menyiratkan bahwa kita dapat memiliki musuh, tidak ada kebutuhan umum untuk melihat pesaing ekonomi sebagai musuh (meskipun mereka mungkin demikian dalam hal tertentu). Bagaimanapun, kita tidak boleh berbicara tentang pesaing kita dengan cara yang merendahkan martabat mereka atau menyiratkan kita ingin mereka terluka. Sebaliknya, kita dapat menggambarkan mereka sebagai tolok ukur untuk menilai keberhasilan kita sendiri, barometer tentang hal-hal yang melayani konsumen dengan baik atau tidak, dan sumber disiplin dan akuntabilitas yang menjaga kita tetap fokus pada misi kita.

Di level yang lebih dalam, bagaimana kita menggambarkan tujuan pekerjaan dan organisasi kita? Ketika kita menggambarkan tujuan kita, apakah kita menggambarkan kepentingan umum atau kebaikan bersama yang membuat persaingan dapat menyelaraskan tindakan kita dengan tindakan pesaing kita? Atau apakah kita hanya berbicara tentang bagaimana kita melayani kepentingan diri sendiri?

Hal ini dengan sendirinya mengantar kepada langkah ketiga yang sangat penting. Apakah tindakan-tindakan kita sesuai dengan perkataan-perkataan ini? Apakah kita benar-benar fokus pada memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga dan komunitas kita, serta mendorong kesejahteraan sesama dan dunia kita? Apakah organisasi kita berusaha untuk berhasil dengan menciptakan nilai bagi konsumen, dan membedakan diri dari pesaing melalui nilai unik yang diciptakan? Apakah melayani konsumen merupakan tujuan utama pekerjaan kita? Apakah meningkatkan nilai yang kita sampaikan kepada konsumen merupakan inti dari strategi persaingan kita? Semakin banyak yang kita lakukan, semakin kita mengarah kepada tujuan bersama yang kita harap dapat membuat pasar menyelaraskan aktivitas kita dengan para pesaing kita.

Dan tentu saja sangat penting bagi kita untuk menjaga kejujuran diri dan perusahaan kita. Godaan untuk memajukan diri sendiri dengan menghalangi pekerjaan pesaing kita, bukan melayani konsumen dengan baik, selalu muncul. Itu sebabnya Kitab Suci sangat sering dan sedemikian keras mengecam pencurian, penipuan, dan eksploitasi.

Gagasan persaingan sebagai bentuk kerja sama tercermin dalam beberapa tafsiran Proyek Teologi Kerja (contohnya Matius 5:7 dan Roma 12:1-3), dan ini menjadi pemahaman yang bermanfaat tentang langkah-langkah spesifik yang bisa kita ambil untuk mengikuti jalan itu. Tafsiran kitab Amsal menyoroti masalah yang terjadi pada orang-orang yang kalah dalam persaingan:

Hukuman yang tepat untuk kegagalan dalam persaingan bukanlah dihancurkan atau dijebloskan ke jurang kemiskinan, tetapi diarahkan atau dialihkan ke pekerjaan yang lebih produktif. Perusahaan-perusahaan bisa bangkrut, tetapi pesaing mereka yang sukses tidak menjadi monopoli. … Karir bisa naik turun, tetapi hukuman yang tepat untuk kegagalan bukanlah "Anda tidak akan pernah bekerja di kota ini lagi" melainkan, "Bantuan apa yang Anda butuhkan untuk menemukan hal yang lebih cocok dengan bakat Anda?" Individu dan organisasi yang paling bijak belajar terlibat dalam persaingan dengan cara yang memanfaatkan sebaik-baiknya partisipasi setiap pemain dan menawarkan “pendaratan yang lembut” bagi yang kalah dalam kontes hari ini, tetapi mungkin saja memberikan kontribusi yang berharga esok.

Tafsiran Lukas 6:27-36 menunjukkan hal serupa: "Di level korporat, itu berarti tidak menghancurkan pesaing, pemasok, atau pelanggan, apalagi dengan tindakan yang tidak adil atau tidak produktif seperti tuntutan hukum yang sembrono, monopoli, desas-desus yang tidak benar, manipulasi saham, dan sejenisnya."

Tafsiran Filipi 1:27-2:11 menawarkan dua cara nyata untuk menjauhi kesombongan dalam situasi persaingan:

Seperti telah kita lihat, ambisi — bahkan persaingan — tidak selalu buruk… tetapi, mementingkan agenda sendiri secara tidak adil itulah hal yang buruk. Hal itu memaksa Anda mengadopsi penilaian yang tidak akurat dan berlebihan terhadap diri sendiri ("kesombongan"), yang menempatkan Anda di dunia fantasi yang semakin jauh yang membuat Anda tidak efektif dalam pekerjaan maupun keyakinan. Ada dua penawarnya. Pertama, pastikan bahwa keberhasilan Anda bergantung dan berkontribusi pada keberhasilan orang lain. Ini biasanya berarti bertindak dalam kerja sama tim yang tulus dengan orang lain di tempat kerja. Kedua, teruslah mencari umpan balik yang akurat tentang diri Anda dan kinerja Anda. Anda mungkin mendapati kinerja Anda sangat baik, tetapi jika Anda mendapatkannya dari sumber yang akurat, itu bukan kesombongan. Tindakan sederhana mau menerima umpan balik dari orang lain ini adalah bentuk kerendahan hati, karena Anda menundukkan citra diri Anda pada citra mereka tentang Anda. Tentu saja, ini hanya berlaku jika Anda menemukan sumber umpan balik yang akurat.

Komunitas iman Kristen juga dapat berperan sebagai tempat transformasi rohani yang unik dan sebagai komunitas yang menyatukan orang-orang dari berbagai kelompok budaya – bahkan para pesaing ekonomi. Gereja dapat membingkai ulang pemahaman kita tentang persaingan dengan menjunjung tinggi persaingan yang etis, atau persaingan sebagai bentuk kerja sama, dan menentang pemahaman-pemahaman stereotip yang memutlakkan persaingan sampai meniadakan kerja sama. Mereka dapat mengadakan diskusi-diskusi khusus berdasarkan bidang pekerjaan tentang seperti apa persaingan yang etis itu, dan bagaimana hal itu dapat diperkenalkan di setiap bidang usaha.

Kita juga perlu memandang melampaui ranah pribadi dan gereja ke ranah publik. Kita harus menentang bentuk-bentuk persaingan tidak adil yang mungkin telah dilembagakan di lingkungan kita, dan mencari cara-cara untuk memperluas kesempatan bagi orang-orang yang dirugikan dalam persaingan, seperti orang miskin, penyandang disabilitas, dan kelompok yang terpinggirkan. Ini bisa menjadi sangat menantang jika status quo yang ingin kita ubah justru menguntungkan kita. Namun, perspektif alkitabiah tentang persaingan mendesak kita untuk mereformasi sistem yang tidak adil, sekalipun hal itu memperbesar tekanan persaingan pada diri kita sendiri. (Akan sangat membantu jika kita mau mengingat betapa kita justru sering mendapat manfaat dengan berada di bawah tekanan persaingan).